Darren tak meninggalkan Alexa begitu saja, dia meletakkan memo kecil di dekat tas gadis itu berisikan nomor teleponnya.
“Tapi buat apa juga? Toh, dia ‘kan juga menjajakan diri malam itu!” desah Darren sambil menyugar rambut dengan kasar.
Saat ini dia sudah di duduk di meja kerjanya di ruangan dosen, lebih pagi dari biasanya bahkan belum ada satu orang pun yang ada di sana kecuali janitor.
“Pak Darren? Wah, tumben sekali pagi begini sudah standby!” sapa Pak Budi, janitor kampus yang berniat membersihkan ruangan.
Darren tersenyum tipis. “Iya, Pak!” jawabnya singkat, enggan bicara panjang lebar.
“Mau saya buatkan kopi? Sudah sarapan? Di depan sana ada kedai nasi uduk kalau masih pagi begini, Pak. Mau saya belikan?” celoteh Pak Budi riang.
Darren merasa tidak enak untuk menolak, dia tahu Pak Budi orangnya selalu baik sama semua orang dan gesit. Lihat saja, sedikit saja Darren mengangguk mengiyakan, dia sudah secepat kilat pergi dari ruangan itu untuk membeli uduk.
“Ya sudahlah, aku juga lagi malas keluar!” hembus Darren seraya menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya.
Pikirannya lalu melayang pada kejadian tadi malam, dia tak bisa melupakan aroma tubuh gadis itu. Lembut dan menenangkan, mengingatkannya pada Ae-ri.
“Ada yang mirip tapi jelas bukan kamu!” desahnya.
“Alexa, namanya Alexa!” gumam Darren, dia ingat sempat menanyakan nama gadis itu meski mereka sama-sama dalam keadaan setengah sadar.
“Sayang aku nggak bisa jelas melihat wajahnya!”
Lampu kamar yang temaram memang sengaja di setting sedemikian rupa, karena tak jarang para pelaku transaksi semacam itu hanya fokus pada untuk memuaskan diri saja dan si penjual jasa tak ingin identitas aslinya terlihat jelas di hadapan orang lain.
“Miris, bagaimana kalau justru dia memang anak kampus sini dan mengenaliku!” gumam Darren mulai cemas, perilakunya semalam sungguh liar dan …
… penuh gairah!
“Astaga, aku jadi kepikiran!” keluhnya.
Darren coba mengalihkan pikirannya ke hal lain, bayangan erotis dan ingatan tentang tubuh halus dan lembut itu membuat miliknya kembali ereksi.
“Sial!” gerutunya.
Masih ada banyak hal yang dia kerjakan, dan itu bisa sedikit membuyarkan gairahnya. Darren menyalakan laptop dan mulai bekerja memeriksa materi untuk hari ini.
“Pak Darren!”
Darren menghela nafas lega karena akhirnya Pak Budi datang membawa pesanannya, baru sadar ternyata perutnya keroncongan minta jatah. Nasi uduk sambal yang dibawa Pak Budi terasa nikmat dan habis dalam sekejap mata.
“Ini teh hangatnya, Pak. Jangan dulu minum kopi, masih terlalu pagi!” kata Pak Budi tersenyum lebar sambil menyodorkan segelas air teh hangat ke atas meja.
Darren merasa suasana hatinya menjadi lebih baik sekarang, dia tersenyum dan berterima kasih pada Pak Budi.
“Makasih, Pak!” katanya sambil memberikan uang selembar 50 ribuan.
Pak Budi menerimanya dengan wajah sumringah. “Alhamdulillah penglaris!” katanya riang.
Darren mengangkat alisnya. “Penglaris?” ulangnya tertawa kecil.
Pak Budi pun terkekeh. “Itu nasi uduk jualan istri saya, baru pertama kali buka kedai hari ini!” ujarnya tersipu.
Darren pun sontak tertawa, “Nasi uduknya mantap, Pak. Semoga makin laris manis, ya. Besok-besok bawakan saja lagi kalau saya sudah datang ke sini!” katanya.
Pak Budi tersenyum dan mengangguk senang mendengarnya.
“Ngomong-ngomong, Bapak sejak kapan kerja di sini?” tanya Darren.
“Sudah lama, ada 5 tahun!” jawab Pak Budi sambil membereskan bekas makan Darren.
“Oh, sudah lama juga, ya. Lalu, soal gosip itu, Bapak tau juga, dong!” tambah Darren lagi, penasaran.
Pak Budi memasang wajah kesal untuk pertanyaan itu. “Ya, sedikit banyak justru Bapak tahu siapa-siapa saja yang pelakunya!” ujarnya merengut.
“Wah!” Darren langsung antusias mendengarnya, “jadi beneran ada?” tanyanya.
Pak Budi mengangguk, “Iya, yah … mau gimana lagi, Pak. Banyak dari mereka melakukan itu karena terpaksa, jadi bukan karena semata-mata nakal saja. Ya, mungkin ada juga yang niatnya beda, karena ingin tampil hedon dan hebring kayak anak orang kaya lain. Tuntutan gaya hidup sebagai mahasiswa juga nggak bisa dilawan dengan jiwa sederhana saja, banyak yang nggak kuat godaan dan akhirnya terjerumus!”
Darren cukup terkejut mendengar penuturan Pak Budi, tak menyangka jika ternyata fenomena ayam kampus itu bukan gosip semata.
“Bapak nggak berani menghakimi atau menyalahkan mereka, tapi meski bagaimanapun tentunya perilaku mereka itu tidak untuk dicontoh dan dibenarkan. Termasuk para p****************g yang menyewa jasa mereka, miris jadinya saya!”
Darren menelan saliva, merasa tersindir untuk kalimat terakhir.
Ketika itu terdengar celotehan riang para dosen wanita dari luar ruangan, Pak Budi pun langsung permisi dari situ.
“Padahal saya mau minta tolong ditemenin, Pak!” gurau Darren menahan senyum.
Pak Budi terkekeh, dia tahu saat ini Darren sedang digilai para gadis dan wanita di kampus ini termasuk para dosen itu.
“Kuat-kuatin saja, Pak Darren. Toh kalau nggak diacuhkan nanti mingkem sendiri!” kekeh Pak Budi seraya berlalu.
Darren mendengus pelan menanggapinya. Tak lama kemudian 3 orang dosen wanita itu datang dan langsung heboh memuji Darren yang datang lebih pagi hari ini.
“Eh, permisi, saya ada kelas pagi!” ujar Darren sambil cepat membereskan tas kerja dan bukunya, lalu beranjak pergi dari situ.
“Lho, Pak Darren kok buru-buru? Masih pagi, lho, ini! Pak!”
“Permisi!” tukasnya mengangguk berpamitan.
Darren bergegas keluar, namun karena dia terlalu buru-buru, dia tak memperhatikan langkahnya begitu di luar pintu, dan …
'BRAK!'
“Aduh!”
Buku-buku berjatuhan di lantai, bersamaan dengan melayangnya tubuh seorang perempuan. Darren sigap menangkapnya dan menahannya supaya tidak jatuh, dan posisi mereka berakhir dengan Darren berdiri memegang pinggang ramping yang hampir terhempas ke lantai.
“Eh!”
Darren terpana melihat wajah cantik polos tanpa riasan di hadapannya, mata coklat terang itu mengerjap menatapnya dari balik kacamata tebal.
“P-Pak Darren, maaf!”
Suara itu …
“Ah, ya!” Darren tersadar, dia buru-buru melepaskan tangannya, tapi sebelum itu dia memastikan jika gadis itu sudah berdiri dengan aman.
“Maaf, Pak. Saya meleng jalannya!” ujar Alexa, yang saat ini sudah berpenampilan sebagai Zahwa.
“Y-ya, nggak apa-apa. Saya juga lagi nggak fokus tadi!” jawab Darren, dia spontan ikut berjongkok manakala melihat Alexa memunguti buku-bukunya.
“Nggak ada yang luka, ‘kan?” tanya Darren sambil membantu membereskan buku.
“Nggak ada, kaget saja tadi!” sahut Alexa dengan wajah tertunduk.
Mereka lalu kembali berdiri bersamaan sambil memegang buku bawaan masing-masing.
“Kamu Zahwa, ‘kan? Yang waktu itu katanya kena lempar bola?” ujar Darren.
Alexa menoleh sebentar, namun ketika mata mereka beradu, gadis itu kembali menunduk dan menganggukan kepala menjawabnya.
“Kamu masuk di kelas saya? Mau ke kelas bareng?” kata Darren lagi.
Alexa termangu sejenak, tapi mana bisa dia menolak ajakan dosennya itu.
“Iya, kebetulan saya baru datang!” sahut Alexa seraya mendorong sudut kacamatanya yang melorot di hidungnya.
Darren terpana sebentar, dia lalu menggeleng seraya melangkah cepat menuju kelas. Alexa pun terkejut dan segera mengikutinya.