Klien Pertama.

1129 Kata
Pria itu gugup, ini baru pertama kalinya dia melakukan hal menyimpang dari jalan lurus yang selama ini jadi prinsipnya. Dia mengemudi menuju hotel yang jadi tempat bertemu dengan gadis ‘ayam kampus’ itu. “Aku sudah gila!” hembusnya. Tapi ini sudah terlanjur, bukan masalah uang 5 juta yang sudah dia kirim sebagai p********n, tapi dia juga penasaran bagaimana sebenarnya fenomena ayam kampus yang tempo hari sempat jadi keributan itu. Maka Darren pun lalu menjalankan mobilnya lebih cepat, tak sabar untuk segera menemui gadis itu, kali ini dengan tujuan yang berbeda. Dia memakai masker dan topi untuk menutupi wajahnya, untuk berjaga-jaga mana tahu nanti bertemu dengan orang yang mengenalinya. Tapi ketika hendak turun dari mobil, dia berpikir lagi. “Aku baru di kota ini, mana ada yang mengenali aku!” gumamnya, memakai masker dan topi malah membuatnya seperti buronan. Darren turun dari mobil, hanya saja kali ini dia memakai kacamata baca dengan bingkai tebal yang kebetulan ada di dasbor. “P-Permisi!” ucap Darren, sesaat dia mengumpat karena suaranya jadi gugup. Gadis cantik yang berdiri di balik meja resepsionis itu bengong menatapnya. “I-iya, ada yang bisa saya bantu, Tuan–eh, Mas?” sahutnya sama gugupnya, terpesona dengan ketampanan Darren. Darren berdeham sebentar. “Aku sudah reservasi kamar nomor 304!” katanya singkat. Alis bersulam di hadapannya itu sontak naik, gadis itu segera mengangguk dan berbalik mengambil kartu akses dari lemari. “Ini kuncinya, silakan!” katanya seraya tersenyum manis. Darren menerimanya segera, mengabaikan tatapan genit gadis itu kemudian pergi. Gadis itu masih asik melihat sosok tinggi tegap Darren yang bergerak menjauh lalu masuk ke dalam lift. “Ganteng, tapi sayang suka jajan!” celetuk temannya yang baru saja datang. Gadis itu menoleh, “Aku nggak keberatan jadi ayam kampus kalau yang booking setampan dia!” kekehnya, tapi sebentar lalu dia memekik kaget karena keningnya disentil temannya itu. “Nggak usah ngadi-ngadi! Kerja begini saja yang bener udah, halal berkah nggak dosa. Malah nyeleneh begitu pikirannya!” tegur temannya gemas. Gadis itu nyengir sambil merangkul temannya dan merengek manja untuk menenangkannya. Sementara Darren sudah sampai di kamar tujuannya, dia segera masuk dan memeriksa ruangan. Dia mendapati ada suguhan minuman selamat datang di meja kecil, dengan kertas kecil yang bertuliskan pesan dari Mami itu. “Selamat menikmati!” ucap Darren membaca pesan itu sambil tersenyum sinis. Sambil meraih gelas minuman berwarna kuning keemasan itu, Darren memeriksa kamar itu untuk memastikan tak ada benda mencurigakan, macam kamera pengawas. Dia mematikan lampu dan melihat sekeliling, jika dia melihat ada titik merah menyala, secepatnya dia akan pergi dari situ. “Aman!” gumamnya. Darren meneguk minuman itu. Sampanye bukan hal baru untuknya, jadi seharusnya itu bukan apa-apa dan tubuhnya akan baik-baik saja. Segelas minuman tidak akan membuatnya mabuk. Di luar hotel, Alexa baru saja tiba di sana dengan diantar oleh Putri. Gadis itu terlihat gugup dan gelisah. “Tenang saja, yang perlu lakukan hanya memuaskan dia. Kalau klien kita puas, bayarannya juga pasti lebih tinggi!” kata Putri tak lagi ragu memberitahukan semua itu pada Alexa. Alexa terdiam, selain dia gelisah dan bingung mencari cara supaya lolos dari sini, dia juga kesal karena ternyata mucikari mereka tak bisa ditemui secara langsung. Semua transaksi dan arahan klien dilakukan melalui sambungan telepon dan chatting, Putri bahkan mengaku belum pernah bertemu muka dengan Mami itu. “Kamu yakin dia nggak sembarangan ngasih klien?” tanyanya agak takut, bagaimana jika laki-laki itu maniak?! Putri tersenyum, “Tenang saja, ada yang mengawasi kita entah dari mana. Kalau misal ada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, mereka pasti bertindak. Mami juga pasti nggak mau anak-anaknya jadi korban kekerasan seksual dan semacamnya!” tegasnya. Alexa meringis, berpikir justru mereka diawasi untuk memastikan anak buahnya bekerja dengan baik dan memuaskan, dan tidak mencoba untuk kabur. Dia ingat dan pernah membaca berita mengenai mucikari yang memaksa dan memeras anak buahnya untuk melayani sembarang pria karena sudah berhutang banyak padanya. “Ini, minum dulu biar nggak tegang!” kata Putri menyodorkan sebotol air mineral yang dia bawa di tas. Tanpa curiga, Alexa pun segera meneguknya hingga habis setengah botol. Dia yang sedang merasa tegang dan gelisah tak memperhatikan bagaimana raut wajah Putri yang menatapnya. “Sudah. Kalau begitu dia ada di kamar mana?” ujar Alexa. “Alexa!” “Hah?” Reflek Alexa menoleh, namun sedetik kemudian dia terbelalak menyadari sesuatu. Tapi Putri malah terkekeh. “Hebat! Sudah hafal nama samarannya, ya!” katanya sambil mengacungkan jempolnya. Alexa yang sempat terkejut dan panik karena berpikir lain, akhirnya tersenyum seraya menghela nafas lega diam-diam. “Eh, i-iya. Kamu bilang harus cepat beradaptasi, ‘kan?” tukasnya. Putri mengiyakan, dia segera meminta Alexa untuk menuju ke kamar klien itu berada. “Jangan sampai dia menunggu lama, nanti bonusnya ilang!” katanya. Alexa mengiyakan, dia lalu keluar dari mobil dan berjalan memasuki lobi. Sekuriti yang dilewatinya hanya tersenyum dengan ekspresi yang menjijikan, jelas dia juga hidung belang hanya saja kurang mampu untuk bisa membooking wanita penghibur di hotel mewah begini. “Sialan!” gerutu Alexa. Alexa sendiri kurang nyaman karena bajunya terlalu pendek, roknya yang sepaha itu bahkan bisa diterbangkan angin dengan mudah dan memperlihatkan bagian intimnya. Maka, dia bergegas masuk ke lift untuk naik menuju ke kamar nomor 304 yang dikatakan Mami itu. Dengan tegang dia melihat angka itu silih berganti, hingga akhirnya terdengar suara denting lift yang berhenti di lantai tujuannya. Sebentar dia menghela nafas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya keluar dari lift. “Oke, cari cara untuk lolos. Buat dia mabuk dan tak sadarkan diri lalu kabur!” gumamnya. Sambil berjalan mencari nomor kamar 304 itu, Alexa merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tiba-tiba saja dia merasa gelisah dan kepanasan, nafasnya mulai memburu seiring dengan rasa geli di area sensitifnya. “Serangan panik kah?” gumamnya mencoba untuk tetap berpikir tenang. Alexa berjalan dengan tidak nyaman, miliknya di bawah sana mendadak terasa geli dan berdenyut dengan nikmat. Ketika akhirnya dia sampai di kamar 304, dia segera mengetuk pintu. “Oke, habis ini langsung pulang!” desahnya. Lama menunggu, Alexa mulai tak tahan. Dia segera membuka pintu yang ternyata tidak terkunci, sepertinya klien itu memang sudah menunggunya di dalam. Tapi ketika dia melangkah masuk, seseorang menariknya dan mendorongnya ke dinding. Tanpa aba-aba langsung mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Alexa terkejut namun dia tak kuasa melawan , dia berusaha mendorong pria itu namun kalah tenaga. Dia berusaha meraih daun pintu dengan panik namun lelaki itu membantingnya hingga tertutup rapat dan terkunci. “Lepas!” rintihnya memohon. Lelaki itu melepaskannya, namun Alexa tak mampu melihat dengan jelas karena tiba-tiba pusing melanda dibarengi dengan gairah yang perlahan naik membakar tubuhnya. Alexa terengah, dia tahu ini efek dari obat perangsang dan jelas siapa pelakunya. “Alexa …," bisik lelaki itu seraya kembali memeluknya. Alexa ingin menolak namun tubuhnya lemas, ciuman di leher membuatnya mendesah. “Ahhh ….“
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN