Hingga akhirnya keteguhannya kalah, Darren tak bisa lagi membendung hasratnya. Maka dia pun mengiyakan arahan admin untuk memilih gadis mana yang akan jadi teman tidurnya malam ini.
“Sekali saja, sekali ini saja!” gumamnya sambil menekan salah satu foto dengan nama … Alexa.
“Nanti malam pukul 10, di hotel Paradise No. 304,” eja Darren membaca balasan pesan dari admin itu.
Tercengang, Darren masih tak percaya ketika dia mentransfer sejumlah uang senilai 5jt ke rekening bank yang dicantumkan oleh admin itu.
“Aku pasti sudah gila!” desahnya seraya meremas rambutnya dengan frustasi.
Tapi sudah terlanjur basah, mandi sekalian. Darren bertekad ini adalah yang pertama dan terakhir kalinya dia ‘jajan’. Lalu, untuk sedikit menenangkan dirinya yang dipenuhi perasaan tak karuan, Darren berniat untuk pergi ke RS terlebih dahulu.
“Papa!” seru Youra riang begitu melihat ayahnya muncul di ambang pintu.
Darren tersenyum, dia segera memeluk putri kecilnya itu dengan erat.
“Kamu kok sendirian? Nenek kemana?” tanya Darren ketika tak mendapati adanya Widi di sana.
“Nenek lagi beli makan dulu, sebentar lagi juga balik, Pah. Sekalian aku titip beli coklat!” kekeh Youra tersenyum ceria.
Darren tersenyum mengiyakan. “Padahal Papa juga bawa oleh-oleh, lho!” katanya seraya menunjukkan kantong kertas berisi mainan pop-it elektrik.
Youra seketika terperangah senang karenanya. “Wah, makasih banyak. Papa baik, deh!” serunya antusias.
Darren tertawa, hatinya ikut menghangat setiap kali melihat tawa riang Youra. Dalam hati dia merasa sedih akan keadaan putrinya yang harus bergantung pada obat dan tak bisa jauh dari Rumah Sakit.
Sedang Youra asik bermain pop-it itu, Widi akhirnya kembali. Dia tampak terkejut ketika melihat adanya Darren di sana.
“Tumben jam segini sudah ke sini, nggak ada kelas?” tanya Widi sambil meletakkan sebuah map hijau berlogo rumah sakit itu.
Darren meliriknya, dia lalu menatap wajah Widi yang tampak sembab meski wanita itu tersenyum. Widi pun kelihatannya memang ada sesuatu yang ingin dia bicarakan namun tidak mungkin mengatakannya ketika Youra masih bangun begini.
“Youra, waktunya kamu tidur dulu, Nak. Ini sudah malam, mainnya besok lagi, ya!” bujuk Widi seraya mengelus rambut Youra dengan sayang.
“Yah, Nenek. Aku ‘kan baru main ini!” rengek Youra dengan wajah cemberut.
Meski begitu dia bukan anak dengan emosi yang meledak-ledak atau tantrum ketika ada sesuatu yang tak sesuai dengan keinginannya, dia menyerahkan mainan itu ke tangan Widi meski dengan wajah muram.
Darren terkekeh, “Maaf, Papa membawanya malam begini, tadinya mau ke sini agak sorean supaya kamu bisa main sepuasnya, tapi ada kendala di kampus jadinya telat!” terangnya. Dalam hati mengumpat karena yang dimaksud ‘kendala’ disini adalah dia malah tergoda memesan ‘ayam’ untuk makan malam.
Youra kembali tersenyum seraya memeluk Darren. “Nggak apa-apa, ‘kan bisa main lagi besok. Aku harus tidur dan istirahat supaya cepet sembuh, iya ‘kan, Nek?” katanya kembali ceria seraya menoleh pada Widi.
Widi pun mengangguk mengiyakan. “Iya, tadi sudah minum obat ‘kan? Harusnya kamu sudah ngantuk dan tidur sekarang. Tuh ‘kan!” ujarnya tersenyum geli ketika Youra menguap lebar.
Youra mengangguk sambil menggosok matanya. “Ya sudah aku tidur dulu, ya, Pah. Papa kalau mau pulang nggak apa-apa, aku tahu Papa lagi banyak kerjaan ‘kan!” ucapnya dengan suara khas anak kecil yang lucu.
Namun itu justru terdengar miris bagi Darren dan Widi, dan mereka hanya bisa tersenyum diam sambil sama-sama menemani Youra sampai tertidur pulas. Barulah ketika Widi memastikan jika Youra sudah benar-benar lelap, Darren menanyakan isi dari map itu.
“Apa kata dokter?” tanyanya dengan hati cemas.
Widi menghela nafas dalam-dalam dengan raut wajah sedih. “Sepertinya akan lebih baik jika Youra dirawat di rumah saja, situasi rumah sakit justru membuatnya merasa terkekang karena terikat dengan jadwal pemeriksaan setiap waktu!” tukasnya.
“Tapi bagaimana menurut dokter sendiri?” kata Darren lagi, diambilnya mao hijau berisi hasil pemeriksaan Youra itu lalu membacanya.
Tak berapa lama Darren menarik nafas berat lalu menoleh menatap sendu pada wajah mungil Youra yang sedang terlelap tidur.
“Ya, mungkin itu lebih baik!” hembusnya pelan, “aku akan mencari kerja di rumah saja, agar bisa menjaga dia sepenuhnya!” lanjutnya.
Widi mengerutkan kening menatapnya. “Itu tidak perlu, Mama masih bisa merawatnya, Nak. Kamu tidak usah berhenti bekerja, bukankah kamu baru saja mendapatkan pekerjaan ini? Sayang kalau ditinggalkan!” katanya.
Darren termenung mendengarnya.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Widi, bisa bekerja di bawah naungan keluarga Ryuzaki terbilang sulit dan jadi target pencapaian orang-orang saat ini. Bisa dibilang dia juga bangga karena akhirnya diterima mengajar di sana , dengan kata lain dia dianggap cakap dan layak menjadi bagian dari salah satu universitas bergengsi itu.
“Mama benar, tapi aku sungguh bingung. Mama juga pasti lelah merawat dan menjaga Youra sendirian di rumah!” hembusnya pelan.
Widi mengerling sambil tiba-tiba tersenyum, dia hendak bicara namun gelagatnya terbaca oleh Darren. Pria itu pun langsung merasa jengah dan menggeleng seraya mengangkat kedua tangannya.
“No-no! Jangan bahas kesitu lagi!” sergahnya malas.
Widi berdecak, “Apa salahnya, sih, Darren? Kamu juga masih membutuhkan kehangatan seorang wanita, Mama yakin itu!” ujarnya.
Darren mengernyit dengan wajah memerah. “Serius Mama membahas soal itu denganku?!” ketusnya tak percaya.
Widi memberinya tatapan datar. “Ck! Sudahlah terserah kamu kalau begitu! Mama bicara begini juga untuk kebaikan kamu dan Youra–”
“Mah!” tukas Darren memotong kalimat. “Mama pikir gampang mencari pengganti Ae-ri? Mana ada wanita yang secara tulus menerima duda beranak satu!” sergahnya mulai kesal dengan tingkah ibunya itu.
“Mama tidak meminta kamu menggantikan Ae-ri, Mama hanya ingin ada yang mengisi posisi kosong di dalam keluarga kecil kamu, karena kalian berdua masih membutuhkan perhatian. Coba pikir bagaimana seandainya Mama pergi duluan, siapa yang akan merawat dan mengurusmu dan Youra, Darren!”
Darren tidak suka jika sudah menyerempet membicarakan kematian, dia mendengus gusar.
“Kami bisa mengurus diri sendiri, toh Youra juga pasti akan mengerti dan dia akan jadi anak yang mandiri!”
Widi mencebik, “Kamu ngomong gitu dengan hanya memikirkan diri sendiri, kamu nggak mikir bagaimana Youra nanti tumbuh tampaknya dia tak terusik atau merasa gentar dengan sikap perlawanan dari Darren.
“Ya, apa salahnya mencari dulu. Mama yakin kamu bisa menemukan sosok wanita yang tak hanya menyayangi kamu tapi juga menyayangi Youra!” katanya.
Darren ingin membantah lagi namun Widi langsung meletakkan telunjuk di bibir lalu melirik pada Youra, memberi isyarat agar dia tidak berisik. Darren pun hanya bisa mendengus kesal jadinya melihat Widi terkekeh pelan mengejeknya.
“Ya sudahlah, aku pergi dulu, Ma!” kata Darren seraya berpamitan mencium tangan Widi.
“Iya, ada kencan kah?” ujar Widi nyengir.
Darren hanya mendelik menjawabnya.
“Hati-hati di jalan, jangan terlalu banyak pikiran, Nak!” ucap Widi tak urung dia tersenyum iba menatap Darren.
Darren juga akhirnya tersenyum seraya mengangguk. “Makasih banyak, Mama selalu ada untuk aku dan Youra. Kami bisa apa kalau–ah sudahlah, aku pergi dulu!” katanya menggeleng.
Widi terkekeh, dia mengangguk melihat Darren keluar dari kamar itu. Sejurus kemudian dia menghela nafas panjang dengan raut sendu terlihat di wajahnya.