PART 67 - KAMPUNG SEBELAH

1036 Kata
"Udah?" tanya Dion yang berdiri di samping pintu, setelah Chika keluar dari kamar. Selesai makan ia mengantar Chika meminta ehm- pembalut. Yang sebenarnya Dion sendiri bingung, kenapa ia harus ikut ya? Terus menunggu Chika memakai pembalut sampai selesai. Tadi sih katanya Chika malu meminta pada cewek lain, jadi Chika meminta bantuan Dion untuk meminta pembalut pada cewek lain. Dan Dion dengan polosnya angguk-angguk aja. Daripada bocor. Chika yang berdiri di ambang pintu, mengangguk, "Udah kak, udah aku pake juga." Dion menggaruk rambutnya, "Oh gitu ya-" jawab Dion malu-malu, "Tapi ehm Chik, bisa ga, gausah dibilang udah pake juga, aku jadi malu dengernya. Emangnya gapapa ya cowok harus tau soal ini juga?" Chika berpikir sebentar, "Emm ga tau juga kak. Emang kenapa?" "Aku- ngerasa … malu aja gitu." "Malu?" "Iya, aku sebagai cowo tadi malu mintain pem-" Dion menarik nafas panjang, berbicara pembalut aja dia malu. Apalagi saat ia meminta dan menanyakan pada semua cewek disini. Butuh mental yang kuat. Apalagi tatapan aneh dari para cewek. "Balut …" lanjut Dion pelan. "Oh itu, abisnya aku malu buat minta langsung sama cewek-cewek disini. Pada sombong-sombong." Dion mengernyitkan dahi, "Sombong-sombong? Masa sih?" "Yaa gitu deh." "Yaudah, berarti tugas aku udah selesai, ya? Aku pergi dulu lanjutin kerjaan lain," ucap Dion beranjak pergi, namun baru beberapa langkah Chika memegang tangannya. Membuat langkah Dion terhenti. "Kenapa?" tanya Dion menoleh, menatap gadis yang memakai kupluk biru itu "Kak, kayaknya ga mungkin kalau aku minta pemb*lut terus selama seminggu. Kakak mau ga anterin aku ke warung deket-deket sini?" ***** Mario duduk di sofa, sambil bertopang dagu. Memandang malas dua insan yang sedang mesra-mesraan di atas bangsal. Bukan mesra-mesraan, tapi si Bryan yang cari kesempatan, bermanja-manja dengan Sena. Minta disuapi. Dan si Sena dengan polosnya mau aja. Ingin rasanya Mario menendang pria itu jauh-jauh, tapi sayangnya lagi sakit. Yang ada ia kena omelan Sena. Tau, kan Sena kalau ngomel bagaimana? Tambah imut. Tidak. Ia akan dicerca ribuan khotbah dari Sena seharian penuh. "Gimana? Enak ga?" tanya Sena menyuapi Bryan dengan telaten. Bryan tersenyum, mengangguk pelan. Meskipun lehernya sakit di gips, "Enak kok." "Idih, manja bener bayi Dugong," sindir Mario. Bryan yang disindir seperti itu diam saja. Mau protes tapi lagi sakit. Mau diam, tapi kuping panas. "Mario, diem ah." "Selama suara masih ada di tenggorokan, gas terussss. Pantang mundur sebelum tersindir." "Mario!" protes Sena menatap Mario tajam. "Maaf ya Bryan, Mario emang gitu orangnya suka-" ucap Sena merasa tidak enak. "Bener," potong Mario. "Mario!" "Gapapa kok Sena, aku udah biasa," balas Bryan mengeluarkan senyum termanisnya. "Udah biasa dihakimi," jawab Mario asal. "Bryan, maaf ya Sena jadi ga enak. Mario ga bermaksud ngomong gitu kok. Beneran. Jangan tersinggung ya-" "Gapapa kok Sena, aku baik-baik aja," ucap Bryan pura-pura senyum, tapi dalam hatinya jangan ditanya. Seberapa menumpuknya ia menahan kesal. "Beuuh, bisa aja modusnya buaya rawa." "Mario! Ngomong sekali lagi. Sena marah dua hari beneran!" "Kok cuma dua hari?" tanya Mario bingung, "Ga mau sebulan aja?" "Soalnya kalo marah lewat dari tiga hari dosa." Mario yang mendengar jawaban polos itu tertawa ngakak, "Hahaha anjir." Sena dan Bryan saling bertatapan bingung. "Loh kenapa?" tanya Sena polos. "Mau marah tapi ga mau dosa gitu ya. Hahaha. Harus kurang dari tiga hari. Wkwkwk." Sena mengernyitkan dahi, menatap Mario yang tertawa kejang, "Emang ada yang lucu ya?" "Wkwkwk. Orang mah marah-marah aja. Ini ditentuin berapa harinya wkwkwk," Mario mengusap matanya yang berair, kebanyakan ketawa. Sumpah ya, ibunya Sena waktu hamil ngidam apa ya, punya anak polosnya macam buku gambar. ***** "Makasih pak," ucap Dion pada salah satu pengurus pondok. Ia meminjam sepeda ontel pada pengurus pondok. Setelah ia berbincang-bincang sebentar pada pak Mukhlis- sang pengurus pondok. Katanya tidak ada warung di dekat-dekat sini. Jadi harus keluar kampung dulu menuju kampung seberang. Agak ribet memang, tapi mau bagaimana lagi. Anggap saja ini pengalaman. "Iya dek sama-sama. Jangan sungkan, kalau butuh sesuatu." Dion tersenyum, "Makasih pak." "Oya dek, saat mengendarai sepeda hati-hati ya. Soalnya jalanan disini licin dan berlumpur, terus banyak batu-batunya. Kalau ga hati-hati bisa jatuh," ucap pria paruh baya berkumis tebal itu mengingatkan. "Akan saya ingat pak." Pak Mukhlis tersenyum, "Oke, nduk. Saya permisi dulu ya- ada perlu." Dion menundukkan badannya sedikit, "Makasih banyak pak Mukhlis." "Iya sama-sama," jawab pak Mukhlis lalu beranjak pergi. Dion naik ke atas sepeda ontel milik pak Mukhlis. Sepeda tua, yang katanya sudah dimiliki pak Mukhlis dari zaman 70'an. Jadi bisa ditebak, kan pak Mukhlis udah setua apa. Meskipun ada beberapa bagian sepeda yang karatan, namun masih bisa dipakai. "Yuk naik," ajak Dion. Chika tersenyum senang, "Yuk." Chika duduk di belakang Dion. Menghadap ke depan. Ia tak berani duduk miring, jika jalanannya geradakan seperti ini. Saat Dion ingin menjalankan sepedanya, panggilan dari jauh membuatnya berhenti. "Yon!" "Yop!" jawab Dion menoleh ke belakang. Terlihat Glenn berdiri di depan pagar. "Lu mau kemana?!" tanya Glenn mengeraskan suara. "Ke warung sebentar," jawab Dion sedikit keras. "Warung?" gumam Glenn pelan, lalu berlari sedikit menghampiri Dion dan Chika. "Berdua doang?" tanya Glenn penasaran. "Ya iyalah Malih, masa bertiga." "Lu mau ke warung mana? Emang ada warung disini?" "Ga ada. Adanya di kampung sebelah." "Buset, jauh bener ... lu mau beli apaan emang di warung?" "Adalah, sesuatu. Lu mau nitip gak? Atau anak-anak lain ada yang mau nitip? Biar sekali jalan aja." "Itu aja dah gue titip. Rokok," jawab Glenn. "Hemm, terus?" tanya Dion. "Rokok, sama kopi dah. Sama obat-obatan. Tapi kalau ada pasar disana, sekalian aja lu ke pasar belanja buat bahan-bahan? Takutnya bahan-bahan yang kita bawa dari Jakarta ga cukup. Masih ada, kan dana BEM buat anggaran belanja?" "Ada. Yaudah. Nanti gue ke pasar. Tapi kayaknya gue bakalan lama. Lu wakilin bagiin bansos, keberatan gak? Kalau keberatan tunggu gue balik aja." "Selow ... gampang itu mah. Biar gue sama anak-anak yang bagiin bansos. Lu ke pasar aja. Daripada lama. Besok, kan kita masih ada kegiatan lain." Chika diam saja memperhatikan perbincangan mereka. Dion mengangguk setuju, "Oh oke thanks ya. Tolong kordinir ya Glenn." "Oke," Glenn menaikan jempolnya. "Gue jalan dulu, bye." "Oke bye ... hati-hati lu ama Chika di jalan." "Iya," balas Dion singkat lalu mengayuh sepedanya. Glenn memperhatikan sepeda mereka yang kian menjauh dari pondok. Glenn mengembuskan nafas berat, menatap keduanya, "Andai aja lu tau Yon," ucap Glenn ambigu, menyiratkan suatu pesan misteri yang Dion tak ketahui.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN