PART 37 - SUATU SAAT NANTI

1061 Kata
Daniel mengendarai mobilnya menembus kemacetan kota Jakarta. Kanan-kiri dipadati kendaraan yang saling menunggu giliran. Suara klakson saling bersahut-sahutan, meminta pengendara lain cepat minggir. "Huff macet," Daniel menyandarkan punggungnya yang lelah, lalu melirik arlojinya. Waktu menunjukan pukul 3 sore. "Sampai rumah jam berapa nih?" keluh Daniel setelah 2 jam terjebak macet. Jam pagi, dan jam sore selalu menjadi titik macetnya Jakarta. Karena disitulah para pekerja, dan anak sekolah berkumpul di satu jalan. Jadi jangan terkejut, jika di waktu-waktu tersebut seringkali membuat kita terlambat. Dengan keadaan Jakarta, kota metropolitan yang megah namun macet, kita harus menyiapkan waktu lebih pagi untuk berangkat kerja ataupun sekolah jika tidak ingin terlambat. Daniel merutuk sebal, mobilnya daritadi hanya bergerak sedikit. Rasanya Daniel ingin mengeluh saja. Sungguh ia sangat lelah, ditambah lagi pikirannya yang mumet. Chika, Davina, mamanya, kisah percintaannya. Ah, entahlah, memikirkan mereka saja rasanya pikiran Daniel mau pecah. Tuk tuk tuk Daniel menoleh ke samping terlihat seorang anak kecil laki-laki berdiri di kaca mobilnya. Daniel menurunkan kaca mobil menatap seorang anak lelaki berpenampilan lusuh, bajunya robek-robek, dan kulitnya kusam terbakar matahari tengah membawa dua keranjang asongan. "Kenapa dek?" "Bapak mau beli dagangan saya gak?" Hati Daniel terenyuh. Menatap anak itu dari atas sampai bawah. Daniel menurunkan kaca mobilnya sampai bawah, lalu mengintip ke bawah. Menatap kaki anak itu. Ternyata anak itu tidak pakai alas kaki. Terlihat kakinya penuh luka-luka. "Kaki kamu ga kepanasan?" "Engga pak, saya udah biasa." "Tunggu-" Anak itu menunggu apa yang Daniel lakukan. Daniel merogoh dompetnya, mengeluarkan tiga uang merah, lalu menyodorkannya pada anak itu, "Nih kamu ambil, beli baju sama sandal biar kaki kamu ga luka." Anak itu menggeleng, menolak kebaikan yang Daniel berikan. "Ga pak, ga usah." "Kenapa ga usah?" "Saya menghargai kebaikan yang bapak berikan. Tapi meskipun saya miskin, saya bisa berusaha sendiri kok pak. Bapak ga usah ngasih saya uang sebanyak itu, cukup beli dagangan saya aja pak." "Kenapa begitu? Uang ini bahkan lebih besar nilainya dari semua dagangan kamu." "Bapak beli dagangan saya lebih mulia untuk saya pak, meskipun seribu atau dua ribu. Setidaknya saya mendapatkan uang dengan kaki saya sendiri, tanpa meminta-minta atau karena dikasihani orang lain." Daniel tersentak, dan menurunkan uangnya. Ia jadi merasa malu. Ada dua hal yang Daniel pelajari dari orang miskin. Hati yang lapang, dan bahu yang kuat. Beberapa anak dilahirkan beruntung dengan kehidupan bercukupan, tapi beberapa anak dilahirkan beruntung dengan bahu yang kuat, perut yang lapar, dan kesabaran yang luar biasa. "Baiklah, kamu ambil 300 nya, saya beli semua dagangan kamu, bagaimana?" Anak itu menggeleng lagi. "Kenapa ga mau?" "Orang kaya tidak seharusnya menghambur-hamburkan uangnya." Jawaban anak itu membuat Daniel terkejut, namun ia tidak menyerah. Niatnya tulus untuk membantu. "Saya tidak menghambur-hamburkan uang ko, saya hanya ingin membantu kamu." "Bapak beli yang sewajarnya saja. Semua harganya cuma 100 ribu kok pak, 200 nya bapak simpan aja." Daniel mengangguk senyum, lalu menurunkan uang 200-nya dan meletakannya di dashboardnya. "Ini," Daniel menyodorkan uang merah itu. Anak itu mengangguk, dan tersenyum cerah seperti hari ini adalah hari terbaiknya. Karena dagangannya habis. Dengan semangat anak laki-laki itu membungkus semua dagangannya ke dalam kantong plastik. Kegiatan anak itu tak luput dari penglihatan Daniel. Betapa lihainya anak itu memasukan semua barang dagangan ke kantong plastik kecil. Dan yang ia tak mengerti, kenapa anak itu bisa seceria itu. Padahal 100 ribu tidak berarti apa-apa baginya. Jika ia diposisi anak itu, mungkin ia tidak akan kuat. Berjalan dari pagi sampai malam, menawarkan asongan. Benar kata orang. Orang yang terlahir kaya dan orang yang terlahir miskin punya mental yang berbeda. Daniel tersenyum melihat kegigihan anak itu. "Nama kamu siapa?" "Adi," jawab anak itu masih sibuk membungkus makanan ringan. "Adi umurnya berapa?" "10 tahun." "Kenapa Adi ga sekolah?" "Adi ga bisa sekolah. Kalau Adi sekolah yang nyari uang siapa?" Hati Daniel merasa nyeri mendengarnya. "Kenapa kamu yang kerja, ayah sama ibu kamu kemana?" "Ayah meninggal, ibu stroke cuma bisa tiduran aja. Terus Adi punya adik-adik kecil yang butuh biaya." "Adi punya adik berapa?" "Tiga," jawab Adi singkat. Kini bungkusan plastiknya sudah 10. Masih ada satu keranjang lagi yang belum dibungkus, maklum ia tidak punya uang untuk membeli plastik besar. Hanya plastik kecil-kecil yang mampu ia beli. Daniel menahan dirinya untuk tak menangis. "Adi anak pertama?" Adi mengangguk, "Iya." "Adik-adik Adi umurnya berapa aja?" "Adik pertama 8 tahun, adik kedua 7 tahun, yang paling kecil masih bayi." Daniel mengelus d*danya yang sesak. Segitu beratnya hidup anak kecil itu. "Kalau adik-adik kamu butuh biaya, kenapa kamu menolak 300 ribunya?" "Kalau Adi terus dikasih uang karena dikasihani, nanti Adi keenakan, terus malas kerja." Daniel mengangguk mengerti, "Ooh begitu. Sebenernya saya ikhlas kok ngasih kamu uang 300. Ga ada maksud Riya, atau apapun. Barangkali uang itu bisa untuk pengobatan ibu kamu." Adi terdiam. "Bagaimana?" tawar Daniel tidak menyerah. Adi selesai membungkus 25 kantong plastik kecil, lalu menyodorkannya pada Daniel, "Ini pak." "Baiklah." Daniel meletakan semua kantong plastiknya di sebelah kursi. "Bagaimana? Kamu mau, kan? Kalau kamu ga mau menerima ini karena sungkan. Gapapa. Anggap aja uang yang saya kasih untuk membantu pengobatan ibu kamu." Adi terdiam menunduk. "Kenapa kamu diam aja? Ucapan saya bikin kamu tersinggung ya?" Adi menggeleng, "Engga ... bapak baik banget sama saya," ucap Adi menghapus air matanya yang mengalir. "Kenapa gitu?" "Bapak baik banget sama orang kecil seperti saya. Saya jadi ga enak." "Bukan saya yang baik, kamu yang baik. Disaat anak-anak seumuran kamu berlomba-lomba jadi juara di sekolah, kamu rela jadi tulang punggung." Daniel mengambil uang 200 nya yang ia letakkan di dashboard, lalu menyodorkannya pada anak itu, "Ini kamu ambil ... demi ibu kamu." Air mata anak itu mengalir deras, berulang kali tangan musuhnya menghapus air mata yang tak mau berhenti. Dengan ragu-ragu anak itu mengambil uang 200 ribu. Tangisnya pecah. "Makasih udah bantu saya, hiks ..." Daniel mengelus-elus rambut lusuh anak itu, "Iya sama-sama, salam buat ibu di rumah ya." Tin! Suara klakson di belakang memekakkan telinga, menyuruh mobil Daniel cepat maju. Daniel melihat jalanan di depannya sudah mulai longgar. "Yasudah saya jalan dulu ya." "Pak ..." ucap anak itu lirih sebelum Danil pergi. "Iya?" "Bisakah kita bertemu lagi?" Daniel tersenyum, "Tentu saja ... jika kita ditakdirkan bertemu maka bisa bertemu lagi." "Saya harap Tuhan mentakdirkan kita kembali bertemu." Daniel tersenyum, "Iya." "Jika saya sukses nanti, bapak adalah orang pertama yang saya cari. Saya akan mengembalikan uang yang pernah bapak kasih buat saya." Ucapan polos dari anak itu membuat Daniel tersentuh, "Baiklah. Suatu saat nanti kita akan bertemu lagi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN