PART 142 - KEBETULAN

1024 Kata
Dion tersenyum tipis, mengelus-elus pipi Sena yang seperti bakpao. Kemudian mendaratkan bibirnya di bibir ranum gadis itu. ***** "Astaga skripsi!" Chika tiba-tiba terduduk, dan menepuk dahinya, "Kok gue bisa lupa sih." "Hari ini kan mau sidang." Chika melirik jam weker di sebelah nakas, "Lima menit lagi?!" Tanpa ba-bi-bu Chika menyingkirkan selimutnya, dan turun dari ranjang. Lari terbirit-b***t menuju kamar mandi. ***** "Diooonn." "Astaga." Hampir saja bubur di panci yang Dion pegang tumpah. "Senaaaa," ucap Dion memperingatkan, "Jangan ngagetin." Sena memeluk Dion dari belakang. Merasakan kehangatan di balik pundak lebar itu, "Aaah hangatnya." Dion tersenyum tipis, "Baiklah, karena kamu yang melakukannya. Maka aku biarkan." "Boleh sampai lama?" "Boleh." "Kalau Dion udah izinin, Sena bisa apa, hehehe." "Harusnya aku yang ngomong gitu," jawab Dion terkekeh. "Ngomong apa?" "Kalau kamu udah mau, aku bisa apa." "Dion lucu, Sena suka," Sena mengeratkan pelukannya. Menyandarkan pipinya di punggung Dion, "Dion masak apa?" "Bubur," jawab Dion mengaduk-aduk bubur sampai mengental. "Aaaa kok bubur lagi? Sena, kan mau nasi goreng. Kalau Dion masak bubur terus, Sena kapan makan nasi gorengnya?" "Nanti, kalau Sena udah sembuh." "Yaaaah," Sena mengerucutkan bibirnya, cemberut. "Bubur juga enak kok, sayang …" "Apapun masakan yang Dion buat selalu enak di lidah Sena. Tapi, kan Sena pengennya nasi goreng …" "Nanti Dion bikinin kalau keadaan Sena udah mendingan." ****** "Glenn dari kemarin kok ga keliatan ya? Dion juga kemana?" Dimas menghembuskan asap rokoknya, lalu menjawab pertanyaan Jerry, anggota BEM fakultas. Yang seumuran dengannya, "Ga tau." Dimas, Jerry, Nanda, Dan Bemby berkumpul di markas mereka. Biasa ruang bawah tanah. Perkumpulan anak-anak hedon dan juga anggota BEM. Mereka berempat duduk di sofa yang berbentuk huruf U. Bentuk sofanya seperti ini I___I. Dimas duduk di sofa kecil sebelah kiri, Jerry dan Nanda di sofa panjang, dan Bemby di sofa kecil sebelah kanan. Tiada hari tanpa asap rokok. Dan itu yang membuat Dion tidak betah untuk nongkrong di sini. Menghirup asap, dan bau alkohol. Dion tidak suka rokok. Tidak suka alkohol. Dan juga tidak suka diskotik yang penuh hingar-bingar perempuan-perempuan berpakaian minim. Tidak aneh kan yah? Dion seperti jarum di antara jerami. Di saat disekelilingnya suka itu, Dion malah tidak sama sekali. Disaat pergaulan bebas merajalela ke anak-anak muda metropolitan. Dion malah menarik diri. Tidak ingin terjerumus. Karena jika terjerumus, akan susah untuk berhenti. Berteman boleh dengan siapapun. Tapi jangan lupa untuk pintar menjaga diri. Kenakalan terjadi bukan karena lingkungan. Tapi kitanya sendiri yang membuka peluang. Kita tidak bisa mengendalikan lingkungan yang kita hadapi, tapi kita bisa mengendalikan diri kita sendiri. Jangan mencoba-coba untuk nakal, hanya karena ingin tahu. Kamu bisa melihat kenakalan di sekitar kamu, tanpa perlu mencobanya. Dan kenakalan, tidak untuk ditiru. "Beberapa hari ini gue liat, lu ga sama Glenn? Biasanya berdua mulu," Nanda meneguk alkoholnya. Entah sudah botol ke berapa. Yang pasti kaleng soda, botol alkohol, dan puntung rokok bertebaran dimana-mana. Dimas tidak menjawab. Ia melempar ke lantai puntung rokok yang telah habis, kemudian menginjaknya. Dan membuka kaleng bir yang bertengger di atas meja. "Dion juga ga keliatan," jawab Bemby yang sibuk minum soda. "Kalo Dion mah ga usah ditanya. Dia mana suka ke tempat beginian, kalo ada keperluan doang paling," jawab Jerry. "Masuk akal," jawab Nanda. "Lu lagi marahan sama Glenn?" tanya Jerry asal tebak. "Gue lagi ga mau bahas itu." "Oh, yaudah kalo ga mau bahas. Dion gimana?" tanya Jerry penasaran. "Ga tau. Ambil cuti kali ga keliatan soalnya," jawab Dimas seadanya. "Bukan ambil cuti, tapi Dion dapet pelanggaran." Jawaban Bemby membuat Dimas terkejut. Ia menurunkan alkoholnya. Menatap Bemby teman sekelas Dion, yang juga sama-sama anak kedokteran. "Ha? Kenapa?" tanya Dimas yang penasaran. "Dia ninggalin praktek-nya pak Bambang. Terus ga balik-balik lagi ke kampus, jadinya kena tegur direktur karena aduannya pak Bambang. Ah kalian bukan anak kedokteran sih, jadi ga tau seberapa killernya pak Bambang. Kalau udah marah ga main-main." "Terus nasib kuliahnya Dion gimana?" ucap Jerry. Tapi Bemby hanya mengendikan bahu, "Ga tau, kayaknya di skor, atau ga boleh ikut mata kuliah pak Bambang lagi." "Kalau ga boleh ikut, itu mah parah banget," ucap Nanda menimpali. "Mungkin diperberat aja sama pak Bambang," jawab Bemby. "Tapi lu serius Dion di skor?" tanya Dimas yang masih belum puas. "Ya ga tau, tapi feeling gue gitu, soalnya sebelum Dion ga masuk, dia ada kasus sama pak Bambang. Kemungkinan dia ga masuk karena dihukum," jawab Bemby. "Anjirr, kok gue jadi kepikiran," jawab Nanda. Biarpun Dimas ikut membantu Chika dalam menyingkirkan Sena. Ia juga sama seperti Nanda, kepikiran nasib Dion. ***** Chika berlari terburu-buru di sepanjang koridor, sambil menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan. Saking terburu-burunya ia sampai lupa menyisir rambut, atau berdandan cetar seperti biasa. "Aduhh, gimana sih lu Chik. Kok bisa telat gini." Chika berjalan cepat, setengah berlari sampai akhirnya saat ia ingin membelok ke tikungan. "Ett.." "Ett ett." Sontak dua insan yang hampir bertabrakan mengerem langkahnya. "Hah, untung ga ketabrak," ujar Mario bernafas lega, "Kalau ketabrak, kan rezeki. Eh rezeki bukan ya? Astaghfirullah Mario otakmu." "Apaan sih lu?" "Busett galak amat, macan kumbang." Chika memutar bola mata, malas, "Minggir," ucapnya menerobos baju Mario. Ia tidak ada waktu lagi meladeni Mario. "Emang ya kalo rezeki ga kemana. Pagi-pagi gini disuguhkan yang bening-bening." "Eh bukan pagi deh. Pagi menjelang siang." ***** "Kok ekspresinya gitu?" tanya Dion menatap Sena yang daritadi hanya memainkan bubur saja. Tidak memakannya. "Ga suka ya?" tanya Dion lembut. "Sena selalu suka masakan yang Dion buat. Tapi Sena lagi ga pengen bubur," jawab Sena lemas. "Terus Sena pengennya apa?" "Nasi goreng … Sena maunya nasi goreng." Dion tertawa kecil, "Nanti aku bikinin. Abisin dulu buburnya, abis itu minum obat." "Sena ga nafsu makan." "Kalau kamu mau makan, aku akan nurutin apa yang kamu minta. Itu kalau kamu mau makan buburnya sekaligus minum obat ya. Kalau engga ya enggak." Sena mendadak ceria, "Serius?" Dion mengangguk, "Iya." "Asyiiiiik. Kalau gitu Sena mau sekolah." Dion tersenyum, "Kamu ga pernah nyerah ya minta sekolah terus." "Abisnya Sena pengen. Sena pengen pinter kayak Dion sama guru." "Kalau kamu udah sehat. Aku akan cari sekolah yang baru." "Asyiiiiik!" Sena bersorak gembira, "Sena sekolah lagi." "Sena bakalan punya temen baru!" Sena bertepuk tangan ceria. Lalu memakan buburnya dengan lahap, sampai celemotan. Dion hanya bisa menggeleng, melihat tingkah Sena yang polos dan menggemaskan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN