PART 69 - AKTING SEORANG TEMAN

1076 Kata
"Sena, Sena tungguin." Mario mengejar Sena dari belakang. Setelah keluar dari kamar- euh, Mario tidak ingin menyebutkan nama lelaki itu. Gara-gara lelaki itu Sena benar-benar marah padanya. "Ga mau." Sena mempercepat langkahnya meninggalkan Mario. Mereka jadi pusat perhatian di lorong koridor rumah sakit. Orang-orang yang duduk di kursi tunggu memperhatikan mereka berdua. "Sena dengerin Mario dulu dong." "Ga mau. Mario keterlaluan sama Bryan! Ngapain coba Mario sindir-sindir Bryan terus." "Ya itu, kan salah dia sendiri. Ngapain coba dia cari kesempatan sama kamu. Pake minta suapin, potongin buah, minta temenin sampe bobo. Iyuh banget modusnya!" "Sena mau pulang sendiri aja." "Yaelah Sen, jangan marah ngapa. Ngapain si, kamu belain buaya rawa terus? Biarin dia hidup damai dengan habitatnya." "Sen." "Sena." "Sena … tungguin Mario dong." Sena berjalan cepat, hingga sampai di luar rumah sakit. "Taks-" Sena yang ingin menghentikan taksi pun, langsung dicegah oleh Mario. Mario meraih pergelangan tangan Sena. "Apa sih Mario?" ucap Sena menghempaskan genggaman pria itu. "Jangan marah dong, Sen. Nanti cantiknya luntur loh," rayu Mario agar gadis itu tak marah lagi. Sena memalingkan wajahnya, "Bodo, Sena marah sama Mario," ucapnya menyilangkan lengan di depan d*da. "Apa bagusnya si buaya rawa itu- kamu bela terus." "Namanya Bryan bukan buaya rawa," koreksi Sena. "Mau namanya Bryan, Sukijat, Sukimin, Asep, Doni atau siapa lah itu tetep aja modusnya persis kayak buaya rawa." "Udahlah, pokoknya Sena ngambek sama Mario! Jangan ngomong lagi." "Jangan ngambek napa Sen. Nanti Mario ajakin Sena jalan-jalan ke tempat yang seru deh." "Sena ngambek sama Mario dua hari!" "Kenapa ga tiga hari aja?" tanya Mario sempat-sempatnya ngelawak. "Dosa." Mario mau ketawa, tapi Sena lagi marah. Ga ketawa tapi lucu. Jadi serba salah. Sena melanjutkan perjalannya, menjauhi Mario. Ia berjalan cepat menuruni tangga lobi. "Mario beliin es krim stroberi deh." "Ga mau." "Coklat?" "Ga mau." "Kaset Tinkerbell mau?" "Ga!" "Yakin ga mau?" "Engga." "Mainan?" "Ga mau." "Katanya ada wahana baru loh di Dufan, mau coba?" "Ga mau. Sena anti disogok." "Aku beliin Barbie?" "Ga." "Makanan enak?" "Ga." "Makanan kesukaan Sena?" "Ga." "Kok, engga semua sih Sen?" tanya Mario berusaha menyeimbangi langkah Sena yang cepat. "Kan Sena bilang Sena marah sama Mario dua hari, dan Sena anti disogok." "Kalau Mario ajakin Sena ke tempat favorit Dion gimana?" Sena mendadak berhenti. Menatap pria yang memakai topi baseball itu. ***** "Makasih bu," ucap Dion saat menerima dua kantong plastik besar dari ibu-ibu warung. "Iya sama-sama, den." Dion membeli beberapa perlengkapan untuk di pondok, dan juga di pos ronda. Karena ia dan Glenn tidur di pos ronda, dan digigit nyamuk sampai paginya bentol-bentol. Akhirnya Dion membeli obat nyamuk bakar yang banyak. Bisa untuk diletakan di pos ronda dan di pondok. Dion memeriksa barang belanjaannya. Pembalut, obat nyamuk bakar, kopi, cemilan, obat-obatan, vitamin, rokok pesanan Glenn. "Apa lagi ya yang kurang?" ucap Dion berpikir. Dion pun menoleh ke belakang, menatap Chika yang hanya berdiri di samping sepeda. Ia ingin bertanya pada gadis itu, tapi sepertinya Chika masih marah atau kesal padanya. Entahlah Dion sebagai pria, tidak terlalu mengerti perasaan wanita. Tapi Dion tebak sepertinya Chika marah. Terbukti saat Dion menolaknya di atas sepeda, Chika diam saja sampai sekarang. Kalau ditanya, jawabannya jutek. "Kakak mau ga kita lebih dekat dari ini?" Dion yang mendengar pernyataan itu terkejut, "Kam-kamu ngomong apa?" "Aku suka kakak. Kakak mau ga jadi pacar aku?" Dion menelan ludahnya, susah payah. Sejujurnya ini kesekian kalinya ia ditembak wanita. Dan ini yang paling Dion hindari. Ia tak pernah berniat membuat wanita jatuh cinta, tapi tiba-tiba saja wanita itu jatuh cinta padanya. Dion adalah pria yang sangat sulit untuk jatuh cinta pada seseorang. Banyak wanita yang menyukainya, mereka akan jor-joran berjuang di awal, tapi lama kelamaan mereka menyerah karena lelah, Dion sulit diketuk hatinya dan juga tidak peka. Bukan karena ia sok tampan, atau jual mahal. Tapi karena ia tak ingin menerima wanita hanya karena merasa tidak enak. Bayangkan saja, jika ia berpacaran dengan wanita itu, tapi ia sendiri tak ada perasaan apapun. Pasti sakitnya dua kali lipat. Cukup lama Dion terdiam, hingga Chika membuka suara lagi. "Kok kakak ga jawab perasaan aku?" "Ehm Chik- heum, gimana ya? Aku ga bermaksud buat nyakitin kamu sebenernya. Tapi … tapi aku ga bisa." "Ga bisa kenapa?" "Aku nganggap kamu cuma senior-junior aja ga lebih dari itu." "Kenapa kakak cuma anggap aku itu?" "Karena ada seseorang yang ku cintai." Dion menghela nafas, mengingat kejadian tadi. Dion menggeleng, mencoba melupakan kejadian yang terngiang-ngiang di otaknya. Dion berjalan mendekati Chika yang masih terdiam di samping sepeda. "Chik." Chika berbalik, tak mengatakan apapun. "Ehm-" Dion menggaruk tengkuknya, mendadak suasana menjadi canggung. "Kamu ada yang mau dibeli lagi gak? Takut kurang." Chika menggeleng, "Ga." "Ooh, yaudah kalo gitu- kita … langsung aja ke pasar." "Iya." Jawaban singkat dari Chika membuat Dion makin tak enak hati. Dion menggantung plastik belanjaan di stang sepeda. Lalu naik ke atas jok, Chika pun melakukan hal yang sama. Ia duduk di belakang Dion, tapi kali ini ia tak memeluk Dion lagi. Dion mengayuh sepedanya, melanjutkan perjalanan menuju pasar. Sepanjang perjalanan, mereka terdiam. Tak ada satupun dari mereka yang bergeming. Dion yang tidak nyaman dengan suasana ini pun membuka suara. "Chik." "Ya?" "Kamu … tersinggung ya?" "Gapapa." "Aku … ga bermaksud nyakitin kamu sebenernya. Tapi, menurut aku, kamu terlalu cepat suka sama aku. Kita aja baru kenal dan deket. Kamu belum tau aku, aku juga belum tau kamu. Lagi juga aku ga mungkin nge-khianatin kekasih aku sendiri." "Segitu cintanya kakak sama kekasih kakak itu?" Dion mengangguk, "Iya. Makanya aku ga mau terima siapa-siapa lagi. Cukup satu aja." "Apa kakak berpikir kekasih kakak itu setia juga sama kakak?" Dion mengernyit, "Kok kamu bilang gitu? Kamu aja ga tau kekasihku siapa, dan sifatnya kayak gimana. Kok udah bilang dia ga setia aja." "Aku cuma ngasih tau aja. Pengkhianatan sering terjadi dimana-mana." "Kamu aneh deh, Chik- udah bahas yang lain aja." ***** Dimas terbangun dari tidurnya. Ia memijat keningnya yang teramat pusing. Ia benar-benar lelah, saat muntah-muntah kemarin. Bukan muntah benaran, tapi hanya akting. Tapi meskipun akting tetap saja melelahkan. Mengeluarkan semua isi perut. Dimas merogoh ponselnya di saku celana jeans. Membuka sebuah pesan w******p dari seseorang. Pesan itu tidak ia buka-buka selama seharian penuh. Karena seperti yang ia bilang tadi. Ia hanya akting, bahkan pingsan pun juga akting. Thanks Dim, akting lu bagus. Duitnya gue transfer setelah pulang dari kegiatan BEM. Thanks juga udah masukin gue ke kegiatan ini. Dimas tersenyum membaca pesannya. Pundi-pundi uang akan mengalir sesuai yang dijanjikan orang itu. Dimas tersenyum tipis, "Sorry Yon, pertemanan kita penting, tapi uang lebih penting."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN