PART 90 - TELAH DIREVISI
"Terima kasih, nak."
"Iya bu sama-sama," jawab Dion tersenyum pada ibu hamil.
Ibu hamil itu pun balas tersenyum sebelum akhirnya menghilang dari pandangan.
"Hah," Dion menyandarkan punggungnya yang lelah di kursi. Seharian ini Dion membantu memeriksa kondisi ibu hamil beserta janin-nya. Syukurlah, ibu dan bayi dalam kandungannya sehat-sehat saja.
Dion menggantungkan stetoskop di lehernya. Melihat ibu hamil itu, Dion jadi kepikiran bagaimana jika seandainya Sena yang seperti itu, tentu saja setelah menjadi istrinya. Pasti rasanya membahagiakan.
Sena menjadi istrinya? Mungkinkah?
Dion ingin memiliki wanita itu seutuhnya, menjadi jiwanya sehidup semati. Tapi jika ingatan Sena kembali apakah Sena akan membencinya?
Dion memang selalu berharap Sena akan sembuh, tapi persetan gadis itu akan membencinya saat ingatannya sembuh. Dion tidak akan pernah menyerah. Ia benar-benar mencintai Sena, tak peduli jika gadis itu membencinya. Tak peduli jika gadis itu melupakannya.
Gadis yang Dion cintai hanyalah Sena.
Dion mengeluarkan ponselnya dari saku almamater, lalu membuka galeri yang penuh dengan foto selfie Sena. Ia menggeser layar foto satu persatu. Sena tidak bisa bermain ponsel, dan juga tidak tahu caranya selfie. Alhasil foto Sena di galerinya sampai ratusan. Saat Dion mengajarinya selfie, Sena asal meng-klik tombol saja berkali-kali.
"Sena-ku yang lucu," ucap Dion terkekeh.
Masih lamakah waktu sampai 12 hari? Baru 4 hari saja disini rasanya seperti 4 tahun.
Dion kembali mengingat tentang kenangan dirinya dengan Sena.
"Nasi goreng Dion enak."
Dion tersenyum menatap Sena yang mengeluarkan dua jempol ke arahnya.
"Enak ya?"
"Banget. Sena suka."
Dion tertawa kecil. Syukurlah Sena menyukai masakannya. Sena begitu lahap, sampai-sampai makannya belepotan sampai ke pipi. Terlihat lucu.
"Dion cita-citanya jadi apa?"
"Aku? Emm-" Dion berpikir sejenak, "Jadi apa ya?"
"Kalau Sena cita-citanya mau jadi dokter."
"Kenapa jadi dokter?"
"Kalau jadi dokter kan bisa ngobatin orang sakit. Sena mau jadi relawan dokter yang bantu orang-orang kesusahan."
Cita-cita yang mulia dari seorang Sena.
"Kalau Dion cita-citanya jadi apa?"
Dion tertawa kecil, "Emm … jadi apa ya? Pilot? Astronot? Atau jadi presiden?" ucapnya bercanda.
"Ih Dion Sena serius …" ucapnya memberengut sebal.
"Emm … cita-cita Dion asalkan Sena sembuh aja. Lebih dari cukup," ucapnya dari hati yang dalam.
Sena menghentikan langkahnya, menatap Dion dengan dahi mengernyit, "Emang Sena lagi sakit ya?"
Dion mengatupkan bibirnya, keceplosan, "Emm … maksud Dion asalkan Sena sehat terus, ga sakit. Dion senang."
Sena mengangguk percaya, "Oh gitu. Kalau gitu Sena senang juga," ucapnya tersenyum.
"Aku udah mewujudkan impian kamu, Sena. Jadi relawan dokter. Meskipun belum sempurna."
"Dion."
Cukup lama Dion termenung, sampai akhirnya sebuah panggilan menyadarkan lamunannya.
"Iya?" Dion menoleh ke arah pintu.
"Oh Chika … kenapa Chik?"
Chika yang memakai almamater abu-abu, menggeleng, "Ga ada apa-apa. Cuma mau kasih data aja."
Dion mengangguk, "Ooh."
Chika berjalan mendekat ke meja Dion, dan meletakan buku besar yang telah ia tulis di atas meja.
"Ini data-data yang kamu minta."
"Udah siap semua?"
Chika mengangguk, "Udah. Aku udah minta data-data ke yang lain juga."
"Oke," Dion membaca data secara seksama. Panitia fakultas kedokteran menangani masalah kesehatan yang berbeda. Jika kemarin Dion mengecek kondisi kesehatan lansia, kini Dion mengecek kesehatan ibu hamil.
Dion menatap tabel yang berisi angka-angka. Disana terdapat jumlah data yang akurat. Mereka mengecek semua kesehatan penduduk disini. Dan terbagilah ke beberapa hasil. Dimulai dari kasus stunting, ibu hamil yang bermasalah dengan kesehatan dan kekurangan nutrisi, riwayat penyakit lansia, anak-anak balita kurang gizi, dan kesehatan anak-anak dari penyakit cacing.
Dion mengangguk, "Oh oke. Tinggalin disini aja datanya."
Dion menutup buku tersebut dan meletakkannya di atas 2 tumpukan buku lain.
"Dion."
"Hmm?"
"Pernyataan tentang perasaan aku kemarin, kamu ga mau pikir-pikir dulu?"
Dion menarik nafas, kemudian menghembuskan perlahan-lahan. Sebenarnya ia paling menghindari petanyaan ini. Sejujurnya ia tak mau memainkan perasaan orang, tapi entah kenapa Chika bisa menyukainya. Dan dari kapan Chika menyukainya, Dion tidak tahu. Mereka saja belum kenal sebulan.
"Hemm … kan aku udah bilang, udah ada wanita yang aku cintai Chika."
"Tapi belum tentu dia setia sama kak Dion? Lagijuga, kan kalau kakak terima aku juga pacar kakak ga tau."
"Masalah dia setia atau engga itu urusan dia Chika, bukan urusan kamu."
"Tapi–"
"Aku keluar dulu."
Dion beranjak dari kursi. Pertanyaan seperti itu membuat moodnya turun. Entah kenapa ia begitu sensitif tentang Sena.
Dion melangkah pergi meninggalkan Chika sendirian di ruangan.
Bam..!
Pintu tertutup. Chika mengepalkan tangannya, dan menggertakan gigi. Rencananya gagal lagi. Padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Dion terkesima.
"Ih! Kenapa sih Dion ga bisa jatuh cinta sama gue, itu pasti gara-gara Davina!"
"Ga Dion, ga Daniel sama-sama diembat. Dasar jalang."
"Gue bakal ngehancurin hidup lo Dav! Liat aja!"
Jika ada yang berpikir Chika tidak tahu soal Dion dekat dengan Sena itu salah besar. Faktanya Chika telah mengetahui itu dari jauh-jauh hari, dari semenjak ia mendorong Sena dari jembatan.
Chika tidak pernah menyukai Dion, itu hanya sandiwara. Ia hanya ingin membuat Dion jatuh cinta padanya untuk menghancurkan Davina. Setelah Davina hancur ia akan tertawa terbahak-bahak di atas kesedihan wanita itu.
Davina harus tahu bagaimana rasanya jika pria yang ia cintai diambil wanita lain.
Tapi sayangnya hati Dion seperti batu. Berbagai cara telah Chika lakukan tapi tetap saja tak dapat meluluhkan Dion.
"Aaarggh!" Chika teriak frustasi.
"Kenapa si gue selalu kalah mulu dari Davina! Ga Daniel, ga Dion semuanya suka Davina! Apa si cakepnya Davina, cewek miskin yang kebetulan beruntung pacaran sama Daniel."
"Gue bakalan ngancurin lo Dav! Ga akan gue biarin lu hidup! Ga akan! Dasar br*ngsek!"
Chika mengambil salah satu buku dan membantingnya ke lantai. Ia sepeti orang kesetanan sekarang. Nafas Chika naik-turun. Ia kembali mengingat bagaimana pertemuannya dengan Dion untuk pertama kali.
Chika menggandeng tangan Daniel memasuki cafe di dekat jembatan Bridge. Tentu saja untuk mengajak Daniel kesini harus disertai paksaan dulu.
"Daniel, ayo makan romantis disini," ucap Chika bergelayut manja.
"Lepasin, Chik."
Daniel menghempaskan tangan Chika, ia risih dengan Chika yang mencoba bermanja-manja dengannya.
"Ah Daniel kamu mah gitu. Sesekali nyenengin aku."
Daniel yang saat ini tidak ingin ambil pusing, menurut saja. Ia ikut masuk ke dalam kafe.
Daniel dan Chika makan bersama. Saat Chika asyik menyuapkan steak, netra matanya terhenti pada objek di ujung sana. Meja mereka hanya berjarak 4 meja saja. Chika kembali menurunkan garpunya.
"Davina?" rutuk Chika dalam hati. Ia tidak salah lihat kan. Ia melihat Davina sedang makan berdua dengan seorang pria.
"Kamu kenapa?" tanya Daniel.
Chika menggeleng, "Oh gapapa."
"Dan aku ke toilet dulu ya."
"Hmm," gumam Daniel cuek.
Sepanjang perjalanan ke toilet, Chika selalu terbayang-bayang wajah Davina.
"Davina masih hidup? Bukankah harusnya ia mati lebih dari tiga hari yang lalu."