Tok tok tok
"Yon ini pintunya dikunci."
"Serius?"
"Iya."
"Si*l," Dimas mengacak-acak rambutnya. Kalau Dion tahu, ia dalang dari semua ini. Bisa tamat riwayatnya.
"T*lol banget si lu Dim. Katanya tempat ini aman, sekarang mana? Mana buktinya? Kok Dion bisa tau?!"
"Gue ga tau Chik."
"Ga tau ga tau. Gue udah bayar lu mahal," ujar Chika menyemburkan amarah.
Tok tok tok
"Si*lan," Chika mengacak-acak rambutnya frustasi, "Ini semua gara-gara lu dan temen lu itu."
"Kok nyalahin gue sama Glenn?"
"Emamg salah kalian berdua. Salah siapa lagi!"
*****
Sementara di luar, terlihat Dion berulang-kali mencoba mendobrak pintu.
"Hati-hati Yon," ujar Mira khawatir takut Dion terjungkal.
Brak..!
Brak..!
Brak..!
Bum..!
Sontak pintu itu terjatuh ke lantai, setelah percobaan Dion yang ke- 3 kali. Engsel pintu terlepas dari tempatnya.
"SENA," teriak mereka bertiga terkejut melihat Sena yang terkulai lemas tak sadarkan diri di atas kursi listrik.
Kabel-kabel listrik masih tersambung di tubuh Sena, dan juga penutup kepala yang menyentrum otak dan saraf Sena masih terpasang.
"Sena," Dion berlari panik menuju gadisnya. Hati Dion terasa tersayat-sayat melihat Sena yang kaku disengat listrik. Bahkan bibir pink cantiknya berubah membiru.
"Sena …" ucap Dion lirih. Dion mendekat, menyentuh tangan gadisnya. Tapi tangannya malah ikutan tersentrum. Secara refleks Dion menjauhkan tangannya.
"Senaaaaa," teriak Dion lirih.
"Senaaaaaaaaa," Dion jatuh berlutut menangis terisak-isak.
"Kenapa kamu ninggalin aku? Bukankah kita berjanji akan menikah …"
Mario mengepalkan tangannya marah, "BAJ*NGAN!" teriak Mario keras dengan air mata yang menumpuk di pelupuk mata. Bayangan Sena yang ceria, dan penuh semangat berlarian di otaknya.
Mira terus menyeka air matanya yang mengalir deras. Ia tak kuat, benar-benar tak kuat.
"Persetan dengan semuanya!! Gue bersumpah akan buat perhitungan," Mario keluar dalam keadaan marah. Ia bersumpah tak akan pernah membiarkan pelakunya lolos. Mario berjalan keluar dari gudang, mencari sang pelaku yang tega membuat Sena seperti ini.
*****
"Cepet-cepet!" ujar Chika panik berulang kali melihat ke belakang.
"Iya sabar … ini mobil ga bisa distarter."
Dimas berulang kali memutar kunci mobil, namun mesin mobil tidak mau hidup.
"Cepetan Dim! Lama lu!"
Chika semakin mendesak Dimas saat melihat sesosok orang yang keluar dari rumah.
"Br*ngsek! Ini mobil kenapa ga bisa hidup," jawab Dimas yang juga ikutan panik.
"Dim!"
"Sabar Chik! Ini mobil ga bisa nyala."
"Ya usaha kek anj*ng! Kalau kita kegep gimana?"
"Yaudah masuk jeruji bareng."
"Lu aja sana, gue ogah."
"Ya makanya lu sabar. Ini mobil ga bisa nyala, lu ngasih mobil gimana sih? Ga bener," protes Dimas masih mencoba memutar kunci.
"Ga usah komen anj*ng."
Chika melihat siluet itu mendekati mobil mereka. Sudah pasti itu bukan Dion. Dari posturnya saja jelas berbeda.
"Dim, Dim cepetan Dim," Chika menepuk pundak Dimas. Sedikit lagi, beberapa meter lagi pria itu hampir sampai ke mobilnya.
Dan tentu saja itu akan menjadi akhir bagi- tidak belum berakhir. Karena tiba-tiba saja nestapa memihak padanya. Mesin mobil tiba-tiba bergetar.
"Mesinnya nyala," sorak Dimas kesenangan.
Saat tinggal beberapa langkah lagi, Dimas langsung menancapkan gas menjauhi pekarangan rumah.
Mario berlari sekuat tenaga sambil memegangi perutnya yang masih sakit. Ia berlari dengan langkah tertatih-tatih.
"Si*lan!" rutuk Mario kesal. Melihat mobil sang pelaku yang kabur dari pekarangan rumah. Padahal tinggal sedikit lagi pelaku itu dalam genggamannya.
Tapi bukan berarti pelaku itu lolos. Mario membaca plat mobil yang tercetak jelas. Yang akan menjadi bukti siapa pelakunya.
Kalau ia tidak bisa menangkap pelaku itu sekarang, tapi nanti. Ia akan mencari tahu.
Mario orang yang paling andal soal ingatan. Ia bisa mengingat dengan jelas plat nomornya.
*****
Wiuuuuu~
Suara sirine ambulance yang nyaring membelah jalanan ibu kota. Dion duduk di sebelah Sena, menatap gadisnya yang terkulai tak berdaya.
Ingin rasanya ia menggenggam tangan itu, tapi suster melarangnya. Ia hanya bisa menatap wajah cantik Sena yang terlihat pucat pasi. Ia ingin mengenggam tangan Sena memberikan kekuatan, bahwa gadis itu akan baik-baik saja, namun tidak bisa.
"Sena, aku mohon bertahan," lirih Dion pelan, Mario yang mendengar itu mengusap-usap bahu Dion memberikannya kekuatan.
"Gue tau, Sena cewek yang kuat," imbuh Mario tersenyum kecut.
*****
Chika menoleh ke belakang, menghela nafas lega, "Hah …"
"Ga dikejar ternyata."
Chika kembali menoleh, menatap Dimas yang sibuk menyetir, "Jangan kira lu bisa lari dari gue."
"Lari apa sih Chik?" Dimas mengernyitkan dahi.
"Lu masih ada utang penjelasan. Kenapa Dion bisa ada disitu."
"Kan gue udah bilang Chika. Gue ga tau. Sama sekali ga tau. Harus berapa banyak si gue bilang."
*****
Tubuh Sena diturunkan dari ambulance. Para medis bertindak segera mendorong bangsal Sena ke ruang UGD. Dion, Mario, dan Mira ikut mendampingi.
Namun saat sampai di depan pintu UGD dokter melarang mereka masuk.
Dan kini Dion hanya bisa menatap sendu dari depan pintu. Menatap Sena dari celah kaca kecil.
"Sena," ucap Dion lirih.
Mario menghela nafas, mendekati Dion, dan menepuk-nepuk bahu sahabatnya, "Sena orang baik, dan juga kuat, dia pasti kembali."
"Siapa orang yang tega bikin Sena kayak gitu Mar? Emangnya Sena salah apa?"
"Gue akan cari pelakunya, Yon, bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun."
*****
"Dimas pulang …"
Dimas menyusuri rumahnya yang lumayan luas. Ia menekan tombol saklar, seketika ruangan yang gelap menjadi terang-benderang.
"Bu," panggil Dimas, menatap ruangan yang terlihat kosong. Biasanya ibunya akan menyambut pulang. Tapi ibunya tidak muncul-muncul.
"Arisan kali," ucap Dimas mengendikkan bahu. Ia duduk di sofa, dan melepaskan tali sepatunya.
Tak selang beberapa lama orang yang ia cari muncul di hadapannya, "Oh Dimas udah pulang."
Dimas mendongak sebentar, "Udahlah bu, masa belom. Kalo belom yang di depan ibu siapa dong," ujar Dimas terkekeh kemudian menunduk lagi, melanjutkan membuka sepatu.
"Gimana hari ini?"
Ibunya memang selalu menanyakan tentang perasaannya setiap hari.
"Baik-baik aja, bu. Ya cuma sedikit lelah aja."
Dimas mendorong sepatunya masuk ke kolong sofa.
"Udah ketemu Glenn?"
Dimas mendongak, "Udah tadi."
Ibu Dimas tertawa kecil, "Si Glenn itu ada-ada aja. Masa ngasih kado ke kamu lewat ibu, padahal kan kalian ketemu tadi."
Dimas mengernyit bingung, "Kado? Kado apa?"
"Ga tau tuh Glenn, padahal kamu belum ulang tahun ya."
"Ibu tau ga isinya apa?"
Ibu Dimas menggeleng, "Engga, belum ibu buka. Biar kamu aja yang buka."
"Oh, oke deh kalo gitu," Dimas beranjak dari kursinya, "Kalau gitu Dimas ke kamar dulu ya."
"Iya sayang," jawabnya tersenyum.