PART 92 - CINDY

1009 Kata
"Kenapa?" tanya Sena bingung ketika kedua tangannya di pegang oleh Mario di sebelah kiri dan Mira sebelah kanan. Sena yang tadinya sedang belajar penjumlahan dan pengurangan terhenti saat Mira dan Mario menyergapnya pagi-pagi. "Sena, ikut kita sekarang," ujar Mira. "Ha? Ikut kemana?" tanya Sena terkejut. "Ke suatu tempat," jawab Mario singkat, membuat Sena bertanya-tanya kebingungan. "Suatu tempat?" "Suatu tempat dimana kebenaran akan terungkap," sahut Mira. "Ha? Kebenaran apa?" ***** Dion keluar mencari angin, menjernihkan pikirannya yang kusut. Disaat seperti ini, ia hanya butuh Sena untuk menghapus pikiran dan perasaannya yang semrawut. Senyuman Sena saja sudah cukup rasanya. Astaga Dion kenapa kau bisa se-bucin ini. Segitu cintanya kah atau karena rindu? Orang dahulu bilang, kekuatan pria ada di wanita, dan kelemahan pria ada di wanita. Dan itulah yang Dion rasakan sekarang. Dion berjalan tanpa arah tujuan. Tak apalah sesekali menikmati keindahan serba hijau di desa ini. Saat Dion berjalan beberapa ratus meter dari puskesmas. Dion melihat seorang anak perempuan yang bermain sendirian dengan boneka hiu di bawah pohon. Dion tersenyum tipis, lalu berjalan menghampiri anak itu. Dion pun berjongkok menyamaratakan tingginya dengan gadis cilik itu. "Hai," sapa Dion ramah. Gadis itu mendongak, menatap Dion, "Hai juga," ucap gadis itu lemah. Rambutnya yang dikepang dua, menambah kesan imut seperti Anna di film Frozen. "Kenapa kamu main sendirian di sini?" Gadis itu menunduk, menatap boneka hiu-nya, "Gapapa," ucapnya singkat. "Ga takut main sendirian?" ucap Dion mencoba mengajak ngobrol gadis cilik yang sedang cemberut. "Engga. Udah biasa main sendiri." Dion tersenyum simpul, kemudian mengelus puncak rambut gadis itu. "Mau permen?" Sontak gadis cilik perempuan itu mendongak menatap Dion, matanya berbinar-binar menunggu makanan itu, namun ia terlalu gugu untuk mengatakan iya. "Ga usah malu. Kita jadi teman sekarang." Dion merogoh sesuatu di bawah saku almamaternya kemudian mengeluarkan lima buah permen. "Taraaa, ini buat kamu semua." "Buat aku?" Dion mengangguk, "Iya." Gadis cilik itu tersenyum senang, lalu mengambil keseluruhan permen itu, dan meletakkannya di saku celana, "Yeeay! Makasih kak." Gadis cilik itu tersenyum, dengan satu gigi s**u yang ompong di sebelah kanan. Dion tersenyum riang, "Iya sama-sama," ucapnya mengacak-acak puncak rambut gadis cilik itu. Dion memutuskan untuk duduk di sebelah gadis imut itu. Duduk bersama di bawah pohon. "Oh iya kita belum kenalan ya. Jadi nama kamu siapa?" Gadis cilik yang sedang mengemut permen rasa stroberi menjawab, "Cindy." "Oh Cindy. Kalau kakak namanya Dion," jawab Dion ramah. "Kak Dion kenapa kesini?" "Emm … harusnya kakak yang nanya. Kenapa Cindy main sendirian di bawah pohon? Ga main sama temen-temen." Cindy menatap ke depan, lalu menggeleng, "Engga, Cindy ga punya teman. Teman Cindy cuma Pipi." "Pipi? Siapa itu Pipi?" Cindy mengangkat bonekanya, "Hiu Cindy." Dion mengangguk, "Oh hiu Cindy." "Iya … Cindy ga punya temen." "Kenapa?" "Karena Cindy ga pernah sekolah. Jadi Cindy ga dapet temen. Temen rumah Cindy ga ada yang mau main sama Cindy. Karena Cindy beda sama yang lain." "Mereka bisa sekolah Cindy engga. Jadi mereka cuma mau temenan sama orang yang bisa sekolah." "Emm kok gitu?" ucap Dion prihatin. "Karena Cindy ga punya orang tua juga. Orang tua Cindy meninggal saat Cindy masih bayi. Cindy cuma tinggal sama nenek." "Cindy punya kakak-adik?" Cindy menggeleng, "Engga." "Jadi Cindy anak tunggal?" "Iyah," jawab Cindy mengangguk. Di balik wajah polos itu tersimpan kesedihan yang tertutup rapat. Sepanjang pembicaraan sosok anak kuat itu tidak pernah menangis. Ia hanya menjawab datar dan seadanya. "Umur Cindy berapa?" "Enam tahun." "Emm," gumam Dion mengangguk, "Hobi Cindy?" "Emm …" Cindy berpikir sejenak, lalu menjawab, "Bernyanyi." "Nyanyi?" tanya Dion tersenyum. Secercah senyuman tersungging di bibir Cindy, "Iya." Saat Cindy mengungkapkan hobi-nya bernyanyi. Air wajah Cindy berubah ceria. "Emm … gimana kalau kamu ikut kakak, bernyanyi sama yang lain. Mau?" Cindy mengulum bibirnya, lalu mengangguk, "Mau." ****** Dion sampai di depan halaman sekolah, dengan Cindy berada dalam gendongannya. Dion harus menyeberangi sungai terlebih dahulu untuk sampai kesini. Di halaman terdapat banyak anak-anak berlatih teater, disana ada Glenn juga yang menjadi sutradara. Dion dan Cindy menatap acara latihan teater itu. "Cindy mau ikut latihan itu?" ucap Dion menunjuk acara teater. Cindy menggeleng, "Engga, disana banyak orang. Mereka pasti ga mau temenan sama Cindy." Dion tersenyum, "Kalau gitu, kita cari kegiatan nyanyi untuk Cindy ya," ucap Dion menatap Cindy yang berada di gendongannya. Cindy mengangguk ceria, "Iya." Dion melangkah masuk, berjalan di sepanjang koridor. Ia melihat setiap ruang kelas yang dipenuhi anak-anak berlatih. Panitia fakultas seni juga terlihat begitu sibuk. Dion menghentikan langkahnya di ruang kelas 3. Dion dan Cindy menatap dari balik jendela. Disana terlihat Nindy yang sedang mengajari anak-anak bernyanyi Soleram. "Kamu mau disini?" Cindy menatap boneka hiu-nya ragu-ragu, "Emm ..." "Temen-temennya baik kok. Kan ada kak Nindy, jadi ga usah takut." "Kalau dia ga mau temenan sama Cindy gimana?" Dion mengangguk, "Mau kok. Kalau ada yang nakal sama Cindy nanti kak Dion yang bela." Wajah Cindy berubah cerah, "Bener, kak?" Dion mengangguk, "Iya." "Tos dulu dong," Dion menaikan telapak tangannnya mengajak High five. Cindy menepukan telapak tangannya yang kecil ke telapak tangan besar Dion. "Yuk masuk." Cindy mengangguk, "Yuk," ucapnya tak sabar. Dion berhenti di depan pintu, dan mengetuk pintu kayu pelan. Seketika suara latihan berhenti. "Sebentar ya anak-anak." "Iya kak," jawab mereka kompak. Nindy melangkah ke arah pintu, lalu membukanya, "Eh kak Dion. Ada apa kak?" "Kira-kira nambah satu anak lagi bisa ga, Nin?" Nindy tersenyum, "Bisa kok. Lagijuga kalau tambah satu jadi genap 16." "Oke." Dion menurunkan Nindy perlahan-lahan. Lalu kembali berdiri, "Nanti Cindy belajar sama kak Nindy ya." Cindy mendongak, "Kak Dion mau kemana?" Dion berlutut menatap Cindy, "Kak Dion ada kerjaan dulu. Jadi Cindy sama kak Nindy dulu ya." Cindy mengerucutkan bibir, "Yaah." "Kok yah?" jawab Dion, "Gapapa kok. Kak Cindy-nya baik. Nanti belajar nyanyi sama kak Cindy. Oke?" Cindy mengangguk, "Oke," kemudian tersenyum. "Yaudah kamu masuk dulu gih." "Oke kak Dion," ucap Cindy lalu berlari masuk ke ruang kelas sambil memeluk Pipi, boneka hiu-nya. Dion menatap Cindy hingga menghilang dari pandangan, lalu berdiri berhadapan dengan Nindy. "Aku titip Cindy, ya Nin." Nindy mengangguk, "Iya ka." "Oh iya, Nin. Boleh ga aku minta tolong?" "Minta tolong apa ka?" "Kalau boleh, mau ga kamu ajarin Cindy nyanyi solo?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN