PART 55 - MASA LALU

1100 Kata
Brak..! Brak..! Brak..! Daniel melempar barang-barang yang ada di gudang. Kursi, guci, vas bunga. Apapun yang ada di sekitarnya ia lempar. "Tuan Daniel tolong jangan begini," ucap pak Harto berharap Daniel berhenti mengamuk. Teriakan amarah, dan suara barang-barang pecah membuat bik Sari dan pak Harto bergetar ketakutan. Seumur hidup, mereka belum pernah melihat Daniel se-marah itu. Pria yang biasanya bertutur kata sopan, bersikap ramah, dan mempunyai jiwa yang lembut, berubah drastis seperti orang yang berbeda. "Tuan tolong berhenti-" ucap pak Harto meraih tangan Daniel untuk berhenti memecahkan apapun lagi. Daniel menghempaskan pak Harto, dan membanting radio itu kuat-kuat hingga hancur. Daniel masih tidak bisa menerima kenyataan barang-barang kenangannya dengan Davina habis terbakar. Yang tersisa hanyalah foto mereka saat masih SMP. Dan itupun sudah terbakar sebagian. "Tuan Daniel, tolong berhenti- jangan mengamuk lagi. Nanti tuan Daniel terluka-" ucap bik Sari menangis. "Kenapa kalian membiarkan Chika membakarnya? Tak tahukah kalian benda ini sangat berharga?!" "Maaf tuan Daniel, kami udah berusaha tapi-" Daniel menyela pembicaraan pak Harto, "Tapi apa?! Apa kalian bisa mengembalikan abu itu menjadi semula lagi?!" "Tuan, tidak seharusnya tuan mengamuk seperti itu- kalau orang lain melihat tuan lagi kayak gini mereka akan berpikir tuan gila?" ucap pak Harto. "Iya aku gila!" teriak Daniel keras, "Aku gila karena Davina!" Pak Harto terkejut bukan main, "Istighfar tuan- ga baik mencintai seseorang sampai seperti itu." Daniel mengatur nafasnya yang tak beraturan. "Itu hanya sebuah benda. Benda bisa hilang, tapi kenangan tidak. Setidaknya meskipun bendanya hilang, kenangan tuan Daniel sama non Davina masih tetap ada di ingatan," jawab pak Harto. Daniel menatap tajam pria paruh baya itu, "Tapi Davina sekarang hilang, dan barang-barangnya juga hilang! Jika aku rindu, apalagi yang bisa aku liat?!" "Davina itu cinta pertama aku sampai mati. Kalian pasti gak akan ngerti rasanya!" "Seluruh dunia ga akan ngerti!" ***** Sena membuka pintu kamar Dion yang gelap. Aroma Woody dan Citrus khas parfum Dion menyeruak di hidungnya. Meskipun sang pemilik parfum tak ada, tapi aromanya masih tertinggal. Sena menekan saklar lampu. Ruangan mendadak terang. Kamar yang tenang, rapi, dan sangat damai, pajangan aesthetic yang tertempel di dinding. Dan juga tidak lupa poster lumba-lumba besar. Oh iya, lumba-lumba. Ah rasanya Sena seperti kembali ke Sea World. Ia kangen momen dengan Dion saat disana. Kencan pertama, tapi bukan kencan. Ehm- ya karena ia dan Dion belum berhubungan saat itu. Jadi anggaplah pertama kali mereka jalan-jalan. "Sena kangen Dion," ucap Sena tersenyum tipis, lalu duduk di ranjang kingsize yang diberi seprai berwarna biru. Sena ingat pertama kalinya ia main-main ke kamar Dion, pria itu melarangnya katanya cewek dan cowok tidak boleh berduaan di kamar, karena yang ketiganya setan. "Dion cepet pulang," ucap Sena dengan rindu yang tertahan di hatinya. Sena menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. "Kamar Dion nyaman, Sena jadi pengen tidur sini," ucap Sena tersenyum senang. "Coba aja Sena bisa main hape, pasti Sena mau telponan sama Dion terus." Sena pun kembali terduduk, mengedarkan matanya ke sekeliling kamar. Sampai akhirnya, tatapannya terjatuh pada sebuah buku yang terletak di atas nakas. "Ini apa?" tanya Sena penasaran, lalu meraih buku yang bersampul Death Note. "Buku apa ya ini?" ucap Sena membolak-balikkan buku, melihat sampul buku yang terlihat menyeramkan di matanya. Sampul berwarna hitam kelam, dengan tulisan Death Note besar berwarna merah. "Selera Dion serem. Tapi kok bukunya beda ya sama buku belajar Sena. Buku Sena besar, tapi kok buku Dion kecil?" Sena menatap bingung buku Diary yang terlihat asing di matanya, "Sena kira setiap buku ukurannya sama." Sena terus sibuk dengan dunianya, Sampai akhirnya sebuah kertas tak sengaja terjatuh dari selipan halaman buku. "Yaah jatuh," ucap Sena menatap sebuah kertas foto berukuran 2R jatuh tertelungkup di lantai. "Maaf ya Dion Sena ga sengaja-" Sena menunduk, dan memunguti foto itu. Namun di belakang foto terlihat sebuah tulisan yang ditulis dengan tinta hitam. Sena tak mempedulikannya. Dan memilih untuk meletakkannya saja, takut foto itu hilang. Sena membuka halaman Diary asal, ingin meletakan kembali foto itu. "Banyak banget tulisannya, yaaah membaca Sena masih belum bagus lagi. Ini apa ya bacaannya?" Sena menatap tulisan Dion yang tersusun rapi, beda sekali dengan tulisannya yang masih acak-acakan. Sena membalikan tiap-tiap lembar halaman, menatap tulisan yang ia tak mengerti. "K-e ke, n-a na. Kena. P-a pa. Kenapa," Sena membaca bait pertama. "K-a ka. M-u mu. Kamu. Kenapa kamu …" "Enghh- ini apa ya? Panjang banget," ujar Sena membaca tulisan 'meninggalkan'. "M-e, me. Ni-ni, meni … ga, menilkan. Megalkan? Ini apa ya bacaannya susah banget." "Hah," Sena menghela nafas, "Kayaknya Sena harus lebih banyak belajar lagi. Tapi masalahnya, kenapa ya otak Sena sering lupa. Padahal Sena udah serius belajarnya." Sena tersenyum kecut, "Yaudah deh masukin ini aja. Takut Dion marah kalau ini hilang. Tapi ini apa ya?" tanya Sena penasaran, lalu membalikan foto. Ia begitu terkejut saat melihat siapa di balik foto. Dion dengan wanita lain. Hati Sena mendadak nyeri. "Ini … Dion sama siapa?" Terlihat Dion dan wanita itu sama-sama tersenyum ke arah kamera. Sena yang awalnya tidak peduli dengan tulisan di belakangnya. Kini penasaran. "D-i di, on. Dion d-a da,n. Dion dan. C-chi. Dion dan Chint- y-a ya. Dion dan Chintya?" "Chintya? Chintya?" Sena memutar otaknya, mengingat nama yang sepertinya tidak asing. "Kamu pernah denger nama Chintya mantannya Dion?" "Ahh! Sena inget!" "Nama itu, kan yang Mario ceritain tadi," Sena mendekatkan foto itu, melihat wajah Chintya secara dekat. "Jadi ... ini mantannya Dion?" "Dia cantik," puji Sena menatap perempuan berambut panjang sepunggung. "Sepertinya mereka bahagia di masa lalu," gumam Sena menatap foto mereka, otaknya kembali teringat perkataan Mario tentang percintaan mereka yang berakhir tragis. Rasanya takdir begitu kejam pada mereka. "Kalau Chintya masih ada. Mungkin kalian ga akan berakhir kayak gini, ehm-" Sena menghembuskan nafas berat, kenapa hatinya mendadak sesak. Ia takut kisah percintaannya dengan Dion akan berakhir seperti Chintya. "Sena ga mau, Sena dan Dion berakhir kayak Chintya juga. Semoga kita akan selalu baik-baik aja." Sena mengusap-usap foto Chintya, "Chintya yang tenang ya disana. Makasih udah pernah beri kebahagiaan buat Dion." Sena tersenyum, lalu menyelipkan foto itu di diary Death Note Dion. Jika ditanya apakah Sena cemburu? Jawabannya tidak. Chintya memang cinta pertama Dion, dan pernah mengarungi kemesraan bersama. Tapi Chintya adalah masa lalu. Dan dia adalah masa depannya. Sena cinta Dion, dan Dion cinta Sena. Kenapa ia harus cemburu pada masa lalu, yang tidak akan pernah terulang kembali. Ibarat kamu berjalan di sebuah jembatan, lebih baik kamu bakar jembatan yang di belakang kamu. Agar kamu tidak punya pilihan untuk mundur melihat masa lalu. Yang ada hanya maju, melangkah untuk masa depan. Begitupun Cinta. Beberapa orang seringkali tidak percaya diri. Cemburu pada masa lalu pasangannya. Percayalah, jika mereka memang benar-benar mencintaimu, pilihannya ya cuma satu- kamu. Tidak ada yang lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN