"Saya bercanda aja kok mas."
Mario tersenyum masam, "Yee si mbak ngelawak, saya kirain beneran."
"Emang kalau beneran kenapa mas?" tanya si mbak-mbak kasir menggoda.
"Saya mau kok."
"Apa?!" Mbak-mbak kasir membulatkan matanya, terkejut.
"Saya bercanda aja kok mbak. Jangan serius-serius."
"Emang kalau beneran gimana, mas?"
"Saya mau kok."
"Apa?!" ucap mbak-mbak kasir terkejut.
"Mbak …"
"Ya?" jawab mbak-mbak kasir pelan.
"Kira-kira mau sampe kapan kita kayak gini? Sampai kiamat pun ga selesai-selesai."
"Oh iya ya mas, maaf yah saya terlalu terbawa suasana."
"Tapi mbak-"
"Ya?"
"Tawaran saya untuk menjadikan mbak jodoh saya itu bukan kaleng-kaleng loh, mbak."
"Iya mas sama ... jawaban saya untuk menjadikan mas jodoh saya juga bukan kaleng-kaleng."
"Yaudah, kita jadi jodoh aja yuk, mbak?" ucap Mario seperti mengajak anak-anak main.
"Hayuk."
"Tapi mbak beneran mau, kan?" tanya Mario dengan mata berbinar.
"Engga ..." jawab mbak-mbak kasir itu santai seperti tanpa dosa.
"Tadi katanya mau?! Mbak gimana sih. Padahal saya udah ngarep loh mbak. Tega bener si mbak."
"Bercanda aja saya tadi mah."
"Ha-ha-ha lucu mbak," Mario memaksakan tawanya.
"Lucu banget sampe saya lupa gimana caranya tertawa," lanjut Mario.
"Hahaha si mas bisa aja deh," ucap mbak-mbak kasir itu tertawa lalu mendorong bahu Mario keras hingga hampir terjungkal, "Lucu pengen cubit!"
"Ebuseet ... ketawa si ketawa mbak, tapi ga usah dorong juga. Kalau saya jatoh, terus masuk rumah sakit. Yang jagain mbak siapa?" ucap Mario di sela-sela modus.
"Mas lucu banget si ... Boleh dikarungin gak?"
"Mati saya mbak dikarungin. Dahlah mbak ngelawak mulu. Kapan saya belanjanya ini."
"Mas, jadi jodoh saya aja yuk."
"Gak mbak! Gak! Saya ga percaya lagi sama mbak."
"Yaelah mas gitu aja ngambek. Tukeran nomor wa yuk?" goda sang kasir.
"Gak mbak. Saya udah tahan mental, tahan banting, dan tahan perasaan. Mbak pasti cuma bercanda aja, kan?"
"Ih si mas kali ini serius."
Mario menggeleng cepat, "Gak mbak, engga! Saya ga mau. Nanti saya kena prank lagi."
"Padahal kalau kita tukeran nomor wa, lama-lama bisa jadi jodoh loh."
Senyuman Mario mengembang, "Okelah kalo begitu, berapa nomornya mbak?"
*****
Mario keluar dari Indomaret membawa dua kantong belanjaan besar, ia menatap layar ponselnya yang terpampang sebuah nama Mbaku. Tahan emosi kalian membaca nama yang super super aneh ini. Namanya juga Mario. Manusia absurd yang tingkahnya nyeleneh.
"Akhirnya tukeran nomor juga, semoga jodoh. Aamiin aamiin. Aamiin dari yang paling serius," ucap Mario yang jomblo dari lahir.
Mario menghentikan langkahnya di depan gerobak nasi goreng. Dua pembeli yang ia lihat tadi sudah pulang. Hanya tinggal tukang nasi goreng bersama gerobaknya.
"Berapa jadinya bang?"
"45," ucap Abang-abang nasi goreng mengeluarkan plastik kuning yang simpan di dalam lemari kecil gerobak. Plastik yang berisi 3 bungkus nasi goreng pesanan Mario.
"Oh oke."
Mario menerima bungkusan plastik itu, lalu melenggang pergi.
"Mas kembaliannya 5000!" ucap tukang nasi goreng mengeluarkan uang berwarna cokelat dari laci.
Mario menghentikan langkahnya, berbalik badan, "Gausah bang. Ambil aja."
"Tapi sayang mas 5000 bisa buat beli es teh."
"Ambil aja bang, saya udah kaya."
Kalimat savage yang terlontar dari mulut Mario.
Tukang nasi goreng yang mendengar itu tercengang sekaligus senang, "O-oh gi-gitu yah."
Mario kembali menghadap depan dan melanjutkan perjalanannya.
Cklek..!
Mario menutup pintu kamar tempat Dion dirawat. Tangannya penuh dengan kantong belanjaan.
"Akhirnya sampai juga," ucapnya lega, lalu membalikan badannya. Namun saat dia berbalik badan, pemandangan di depannya membuat jantungnya mau melompat.
"Astagaaa anak muda!"
Dion dan Sena terlihat tidur di satu ranjang. Di sa-tu ran-jang. Dengan posisi Sena dan Dion berhadapan. Dion sedang memeluk Sena, dan Sena tidur dengan mendekatkan wajahnya di d*da bidang Dion.
Mario meletakan barang belanjaannya di sembarang tempat. Dimana pun. Yang penting ia harus memberi Dion pelajaran.
"Wey wey bangun lu."
Mario menepuk-nepuk badan Dion tidak santai. Dion yang sedang berkelana dengan mimpi indahnya, perlahan-lahan terbangun. Siluet pria berambut kribo berdiri di hadapannya.
"Oh lu Mar, udah pulang?"
"Udah pulang udah pulang pala lu pitak. Ini maksudnya ape nih?! Tolong jelasin!" ucap Mario yang mulai emosi.
Dion bangun pelan-pelan agar tidak membangunkan Sena. Lalu menyandarkan punggungnya di bahu ranjang.
"Jelasin apa si?" tanya Dion yang masih belum mengerti.
"Ebusett, masih ga ngerti juga ini bocah?! Ini maksudnye ape nih bobo berduaan ama bebep Sena?! Tuh, kan gue emosi. Gue emosi nih sampe logat Betawi gue keluar."
"Ssuut ... pelan-pelan ngomongnya kambing, entar Sena bangun. Lu pikir ini rumah sakit pasar kaki lima."
"Bodo amat. Bisa-bisanya lu bobo dengan bebep Sena."
"Lah emang napa?"
"Emang napa kata lu?! Astaga Dion. Otak lu dimana. Coba gue tanya otak lu dimana?!"
"Pertanyaan lu ga ada yang lebih sedih lagi? Bayi kodok pun juga tau otak disini," jawab Dion menunjuk kepala.
"Bisa-bisanya lu bobo dengan bebep Sena. Tanpa ngerti perasaan gue?! Tega banget sumpah, lu tega banget. Sungguh dirimu teganya teganya teganya."
"Gue jadian sama Sena."
"Apa?!"
"Ssutt ... kan gue bilang apa jangan kenceng-kenceng."
"Anj*r dari kapan? Bisa-bisanya lu ga ngasih tau gue?!"
"Teriak lagi gue tabok beneran."
"Yaudah kapan?!" ucap Mario meminta penjelasan.
"Tadi siang."
"Tuh, kan pantesan dari tadi siang. Perasaan gue ga enak. Kayak cekit-cekit."
Buk..!
Dion memukul bahu Mario dengan bantalnya, "Apesi."
"Yaudah gapapa gapapa! Gue ikhlas, ridho lahir batin. Ambil aja bebep Sena. Ambil. Soalnya gue udah ada cewe yang gue yakini sebagai jodoh gue. Jodoh dunia akhirat."
"Lu mah emang gitu. Setiap ketemu cewe diklaim jodoh."
"Gak Yon! Dia ini orangnya beda-" ucap Mario kembali mengingat-ingat senyuman manis mbak-mbak kasir itu.
"Udah keseribu kali lu ngomong gitu."
"Senyumannya secantik bunga sakura, matanya seindah bulan purnama, wajahnya se-ayu intan pertama, tutur katanya-"
"Yang kayak gitu udah 2000 kali ngomongnya."
"Ah lu mah mengacaukan imajinasi gue aja."
"Yaudah mana, mana cewenya?"
"Oke kalo itu mah," Mario mengeluarkan ponselnya dari saku celana, dan menunjukan sebuah kontak w******p yang diberi nama Mbaku.
"Mbaku?" Dion menaikan satu alisnya.
"Iya Mbaku."
"Namanya Mbaku? Lucu amat."
"Namanya tuh Maysaroh."
"Dari Maysaroh kenapa jadi Mbaku? Nama panggilannya?"
Mario menggeleng, "Bukan ... ah lu mah ga romantis, itu tuh nama w******p biar romantis."
"Romantis kata lu?!" ucap Dion protes.
"Lu pake nama yang agak bener dikit kek. Sayang, honey, baby, sweety. Ini Mbaku."
Dion menggeleng tak percaya.
"Yaaa namanya juga usaha bung. Ini tuh gue yakin pasti dia jodoh gue."
"Ya gue sebagai sahabat ya doa yang terbaik aja buat lu."
"Malam Minggu besok gue mau jalan dong sama dia," ucap Mario bangga menaik-turunkan alisnya.