PART 132 - KEINGINAN SENA

1024 Kata
selesai revisi Mobil Dion melesat cepat di jalanan asri ibu kota. Di sepanjang perjalanan, Dion tak henti-hentinya tersenyum setelah mendapat kabar dari Mira. Kabar yang membuat Dion bahagia bukan main. Hatinya seperti tergelitik, melepaskan ribuan kupu-kupu yang membuat hatinya berdebar tak karuan. Dion melajukan kendaraannya hingga berhenti di sebuah tempat. "Selamat datang di toko perhiasan permata," sambut sang karyawan berseragam merah setelah melihat kedatangan Dion. Dion berhenti di depan etalase. Melihat puluhan perhiasan berjejer rapi dengan model dan bentuk yang berbeda. Matanya menelisik mencari perhiasan yang menarik perhatiannya. "Ada yang bisa saya bantu, tuan?" ujar karyawan itu tersenyum ramah. Ia memakai tuksedo dengan dasi pita berwarna merah. Jika dilihat dari penampilan karyawannya dan juga kemegahan tokonya, ini bukanlah toko perhiasan biasa. "Tolong perlihatkan semua perhiasan yang tidak ada di etalase." "Kenapa tuan? Apa anda tidak ingin melihat-lihat dulu?" "Saya ingin perhiasan yang tidak umum dipakai orang." "Baiklah tuan, tunggu sebentar," ujar karyawan muda itu kemudian menghilang masuk ke sebuah bilik kecil. Sembari menunggu, Dion berjalan-jalan melihat perhiasan yang begitu berkilauan. Di mulai dari gelang, cincin, kalung, dan juga anting. "Silakan dipilih tuan." Karyawan itu meletakan 10 buah perhiasan yang sengaja tidak dipajang di etalase. 4 buah cincin, 1 buah gelang, 3 buah kalung, dan 2 buah anting. "Kami sengaja menyembunyikan ini, karena barang langka. Dan juga harganya lebih mahal dibandingkan semua perhiasan yang terpajang di etalase." Dion mengangguk mengerti, ia menatap perhiasan itu satu persatu. Mencari perhiasan yang menarik perhatiannya. Sampai akhirnya, langkahnya terhenti pada cincin yang terpajang di ujung kanan. Dion mencabut cincin itu dari tempatnya, memandangi permata yang terlihat unik. "Itu pilihan terbaik untuk diberikan pada pasangan, tuan." Dion menoleh penasaran, "Kenapa?" "Karena cincin itu melambangkan seorang bulan yang melindungi bintang. Kemanapun bintang pergi, bulan selalu berada di sisinya." Dion tersenyum tipis, kemudian meletakan cincin itu di atas etalase, "Saya ambil ini." ***** "Aaaaa." Sena menggeleng, menutup mulutnya menolak suapan Mira, "Sena ga mau." "Ayo Sena … biar Sena cepet sembuh." "Ga mau, buburnya ga enak … pahit." "Kalo Sena makannya banyak. Sena bisa cepet sembuh loh." Sena lagi-lagi menggeleng, tetap kekeuh mempertahankan pendiriannya, "Engga." "Bener nih ga mau?" tanya Mira memastikan. "Iya." "Iya apa engga?" goda Mira. Sena menggeleng, "Engga!" "Yaudah deh kalo gitu," Mira menurunkan sendok, meletakkannya kembali di atas mangkuk. Sosok Mira benar-benar lembut. Iya, kan? Sena seperti dirawat seorang kakak. "Guru, Dion kemana? Kok ga keliatan?" "Kangen ya?" goda Mira membuat wajah Sena memerah. "Ih engga kok," ucap Sena menutup wajahnya malu. "Masa sih?" Mira memicingkan mata semakin menggoda Sena. "Guru …" protes Sena malu-malu. Oh Tuhan, pasti wajahnya memerah sekarang. "Hayo ngaku. Kangen Dion, kan?" "Engga guru …" "Engga apa engga?" "Guruuuuu." ***** Dion melanjutkan perjalanannya menuju ke suatu tempat. Sepanjang perjalanan ia tak henti-hentinya tersenyum, memandangi kotak cincin berwarna merah bludru. "Dion." "Hmm." "Ayo menikah." Menikah? Ia ingat kata-kata Sena hari itu. Sena, wanita yang berhasil memporak-porandakan hatinya sampai seperti ini. Ia bersumpah, tak ada seorangpun wanita yang bisa menggantikan posisi Sena di hatinya. Dion menghentikan mobilnya di parkiran apartemen. Sebelum ke rumah sakit, ia ingin mengambil sesuatu terlebih dahulu. ***** Dimas memasuki basecamp bawah tanah, tempat geng anak-anak keluarga kalangan atas. Ada Dion, Glenn, dan juga Dimas tentunya. Dan juga teman-teman Dion yang lain yang juga memiliki jabatan BEM. Terkadang tempat ini juga dijadikan tempat nongkrong anak-anak BEM. Tidak semua orang bisa memasuki kawasan basecamp ini. "Woy mas!" Dimas yang baru saja masuk, menatap ke arah sofa. Ada dua teman geng-nya di sana. Dana, dan Rehan. Dana dan Rehan dari keluarga pengusaha kaya, namun tak merangkap jabatan BEM. "Oiy," sahut Dimas mendekati mereka yang sedang minum sekaleng bir. "Tumben lu pagi-pagi ke basecamp," ucap Dana lalu meneguk sekaleng bir. Ia memperhatikan Dimas yang berjalan ke arah sofa. "Gapapa," sahut Dimas pelan, lalu duduk di sofa dan menyandarkan punggungnya yang lelah. Ia menengadahkan wajahnya, menatap langit-langit. "Napa lu, kusut amat?" ujar Rehan setelah meneguk bir, "Anjir abis lagi." Plung..! Rehan membuang kaleng birnya ke sembarang tempat. Saat Rehan ingin meraih kaleng bir yang baru di atas meja, Dana menghentikannya. "Lu udah minum 5 kaleng. Masih mau nambah lagi?" "Sepuluh kaleng juga masih kuat gue." Rehan tak peduli, lalu meraih lagi sekaleng bir. "Rapihin pokoknya sampah bir lu. Bau bir anjir jadinya ruangan." "Iya selow." Rehan membuka penutup kaleng, lalu meneguknya. Merasakan sensasi getir di tenggorokannya. Beginilah suasana tongkrongan. Bau rokok dan bir sudah yang biasa. Namun tidak semua anak tongkrongan menyentuh dua benda itu, contohnya Dion. Yang tidak suka keduanya. "Mau bir ga, Mas?" ujar Dana. "Engga, buat lu aja," jawab Dimas masih dengan posisinya. "Kusut banget muka lu hari ini. Ada masalah apa lu?" "Ga ada." Dimas memejaman mata, membiarkan dirinya rileks sejenak. Meskipun dirinya berkata baik-baik saja, tapi hatinya tidak. Pertengkarannya dengan Glenn malah menjadi beban pikiran tersendiri. Ia tidak berharap banyak, cukup Glenn tidak membocorkan rahasianya saja. Tentang dirinya, Chika, dan juga Sena. "Glenn mana? Biasanya ama lu mulu. Biasanya kan kayak sendal jepit lu berduaan mulu," tanya Rehan. Dimas yang mendengar itu, bukannya rileks malah tambah dongkol. "Ke laut." "Ha?" Jawaban Dimas membuat Dana dan Rehan tercengang. Dimas beranjak dari sofa. Jangan tanya perasaannya saat ini. Rasanya ia ingin meninju dinding saja saking pusingnya. Dana dan Rehan memperhatikan Dimas yang menjauh. Mereka pun bertatapan bingung. "Kenapa tu anak?" tanya Dana yang mendapatkan gelengan dari Rehan. "Ga tau, lagi marahan kali." "Ada-ada aja tuh anak." "Kayak ga tau roman anak muda aja." ****** "Sena punya cita-cita ga?" Mira menatap Sena yang duduk di bahu bangsal. Di belakang punggung Sena, ada bantal yang menyangga. "Cita-cita?" Sena berpikir sejenak, namun sedetik kemudian Sena bertanya, "Cita-cita itu apa guru?" "Cita-cita itu impian yang pengeeen banget Sena capai." "Emm …" Sena berpikir sejenak, "Cita-cita Sena …" jawab Sena kebingungan. "Cita-cita Sena apa ya?" "Apa?" ucap Mira tak sabar menunggu jawaban gadis itu. "Cita-cita Sena mau deket Dion terus!" Sena tersenyum girang. Mira tertawa kecil, "Modus …" ujar Mira mencolek ujung hidung Sena. "Itu namanya bukan cita-cita, itu modus namanya." "Hehehe, kan emang itu guru. Sena mau deket Dion terus." "Kenapa mau deket Dion terus?" "Soalnya Sena suka Dion." "Dasar kamu tuh …" ucap Mira, "Bikin aku gemas." "Abisnya apa dong guru?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN