Mobil Alphard itu berhenti di depan gerbang rumah mewah. Perlahan-lahan gerbang berarsitektur kokoh berwarna emas terbuka lebar, membuat Sena tercengang. Selain karena desain rumahnya yang mewah, juga tidak ada orang yang membuka gerbang.
Tidak ada orang yang membuka gerbang?
Sena pun kembali menoleh ke belakang, penasaran soal gerbangnya.
"Waaaa," puji Sena kagum.
"Gerbangnya ketutup sendiri!"
Mobil Alphard itu pun memasuki pekarangan rumah.
Pria berjas yang sedang menyetir tersenyum, "Benar, sistem gerbang disini otomatis, nona."
"Berarti ga perlu ada orang ya?"
"Iya nona," jawab supir itu membenarkan.
"Waaa," Sena tak henti-hentinya kagum dengan keindahan arsitektur rumah ini. Bahkan saat mobilnya masuk pun belum sampai-sampai. Sebenarnya seberapa luasnya pekarangan rumah ini.
Sena menatap ke arah jendela. Menatap kagum pemandangan di luar.
"Mau dibuka jendelanya, nona?"
Sena mengangguk semangat, "Mau mau."
Tak ada lagi perasaan risau, cemas, ataupun ketakutan ingin pulang. Semuanya didominasi dengan keindahan rumah ini. Dasar Sena. Perhatiannya cepat sekali berubah, jika ia sudah menyukai sesuatu.
Pria berjas yang duduk di samping kiri Sena, menurunkan jendela mobil.
"Waaaaa."
Sena bertepuk tangan senang menatap keindahan pemandangan rumah ini. Berbagai jenis bunga ditanam sepanjang jalan. Dari bunga anggrek hitam, Bougenville, mawar, Bonsai, bungur, melati, yaezakura, soga, dan bunga indah lainnya.
"Bunganya banyak."
Sang supir tersenyum, "Ini semua milik nyonya besar. Nyonya besar sangat menyukai bunga."
"Ooo," Sena mengangguk paham.
Sena menatap setiap jalan yang ditumbuhi banyak tanaman bunga. Selain itu juga ada air mancur yang lampunya dapat berubah warna-warni. Awalnya putih, kemudian berpecah menjadi 3 warna biru-kuning-hijau kemudian berpecah lagi menjadi putih-pink-merah, dan kemudian berpecah lagi menjadi warna yang berbeda-beda.
Mobil mereka pun sampai di depan pintu masuk rumah yang megah. Cat dindingnya di d******i warna putih gading.
Pria berjas hitam di samping kiri Sena, turun dari mobil.
"Ayo nona Sena, kita masuk," ucapnya.
Sena mengangguk, "Iya," ucapnya lalu turun dari mobil, menapakkan kakinya di tanah.
"Waaa besar banget," ucap Sena kagum menatap sekeliling rumah mewah berlantai dua. Dari luar saja sudah terlihat besar, apalagi dalamnya.
"Nona Sena mari," ucap pria berjas mempersilakan Sena untuk masuk lebih dahulu.
Sena yang tadinya khawatir, entah kenapa mendadak kagum dengan kekayaan ini. Sena pun berjalan duluan diikuti para pria berjas di belakangnya. Menjaganya agar tidak kabur.
"Ini rumah siapa?" tanya Sena penasaran setelah menginjakan kakinya di lantai marmer mewah.
"Nanti nona Sena akan mengetahuinya."
*****
Taksi itupun berhenti di depan gerbang yang Sena turun tadi.
"Ini pak uangnya," ucap Mario menyodorkan beberapa lembar uang merah
"Ambil aja kembaliannya," lanjut Mario terburu-buru.
"Serius mas? Makasih ya."
"Iya sama-sama," balas Mario.
Mario dan Mira pun turun dari taksi, dan berdiri di depan gerbang mewah yang berwarna emas.
Taksi itu pun menancapkan gas meninggalkan Mira dan Mario.
"Rumahnya mewah banget," ujar Mira kagum, lalu menyentuh gerbang yang menarik perhatiannya dari tadi.
"Ini emas asli?" tanya Mira penasaran mengelus-elus gerbang, "Ini kalo dijual bisa makan 5 tahun kali ya."
"Lah ini mah rumahnya Dion," ujar Mario kaget membuat Mira terkejut setengah mati. Perasaan tadi yang membawa Sena preman berjas hitam, tapi kenapa malah membawa Sena kesini.
"Rumah Dion?" Mira membulatkan matanya terkejut.
"Ini rumah Dion?" Mira memastikan sekali lagi. Berharap pendengarannya tidak bermasalah.
"Iya rumahnya Dion."
"Aku ga tau Dion sekaya ini."
"He'euh anak konglomerat," jawab Mario yang lagi-lagi membuat Mira tercengang.
Mira dan Dion memang teman dekat semasa sekolah. Tapi sifat Dion yang tak pernah menunjukan siapa dirinya, membuat Mira terkejut. Ia tidak tahu Dion anak konglomerat dan sekaya ini. Entah mungkin karena Dion yang tak pernah pamer atau Dion yang malas bercerita tentang jati dirinya.
Intinya Dion tidak seperti orang tajir yang Mira tahu sombong, angkuh, dan segala macam. Tapi tentu saja Mira tidak bisa menyamaratkan bahwa semua orang kaya angkuh dan sombong. Itu tergantung orangnya.
Dan balik lagi ujian terbesar orang kaya ada tiga. Angkuh, boros, atau pelit. Tidak seperti orang-orang kentang yang cobaannya lebih ke finansial.
"Ayo masuk Mar! Gue ga sabar pengen liat. Ini gerbang gimana cara bukanya, ga ada satpam kah?" Mira meloncat-loncat ingin melihat ke dalam. Karena gerbang disini bukan seperti gerbang pada umumnya.
"Hellooooow," teriak Mira. Tapi percuma saja Mira berteriak pun tidak akan terdengar oleh orang di dalam. Karena jarak dari gerbang ke rumah 20 meter.
"Ga usah pake satpam, dan ga usah pencet bel. Ini gerbangnya otomatis. Dia mendeteksi wajah kita. Kita orang jahat apa bukan."
"Waah bisa gitu."
Mario mendekatkan wajahnya ke sebuah kotak kecil memanjang sebesar powerbank. Mario mendekatkan matanya ke kotak kecil membiarkan sistem mendeteksinya. Sinar inframerah naik-turun mendeteksi wajah Mario. Beberapa detik kemudian robot di dalam sistem bersuara.
"Mario, 25 tahun, good person, dettect."
"Waah, gue mau juga, mau juga!"
Mario minggir, dan bergantian dengan Mira. Mario telah lulus sistem, tinggal masuk saja.
Mira mendekatkan wajahnya ke kotak kecil, dan menempelkan matanya membiarkan sistem mendeteksinya.
"Mira, 22 tahun, good person."
"Kok gue ga ada bacaan dettect Mar? Lu ada bacaan detectnya."
"Itu karena lu pertama kali kesini. Lu harus bilang dulu ke sistemnya. Lu siapa dan apa hubungannya lu dengan orang punya rumah."
Mira mengangguk paham, "Oh gitu … namaku Mira, temen sekolahnya Dion dulu."
Garis inframerah naik-turun mendeteksi kejujuran Mira melalui iris mata, ratusan informasi tentang Mira pun bermunculan, kemudian robot sistem pun bersuara, "Dettect."
"Silakan masuk."
Gerbang pun bergeser perlahan-lahan.
"Waaa," ujar Mira kagum menatap gerbang yang otomatis terbuka. Gerbang otomatis dengan keamanan tinggi, tidak semua orang dapat masuk kesini.
Tapi kalau yang modelannya rakyat kentang seperti kita gini, yang kalau keluar rumah mau makan seblak, bakso Aci, ataupun suka bolak-balik suka jajanan, repot juga harus pakai sistem dulu.
Mira dan Mario berjalan masuk ke pekarangan rumah yang luasnya bukan main. Pokoknya luas, sampai Mira tak henti-hentinya kagum.
Mira berlari ke bunga Bougenville yang dilihatnya, "Mario bunganya bagus."
"Iya Mir disini emang banyak bunga. Tapi jangan lupa tujuan kita kesini apa."
Mira mengangguk Iya saja. Perhatiannya teralihkan pada puluhan bunga yang tertanam di setiap jalan.
"Tapi kenapa Sena disuruh kesini ya? Kalau emang disuruh kesini kenapa harus dijemput pria yang kayak preman itu? Siapa yang nyuruh?" ucap Mario bingung.
"Mar Mar ini bunga punya siapa? Boleh minta ga sih? Bougenville nya bagus, tapi mawarnya juga bagus. Ih ini melati juga, ada anggrek, tapi bunga bonsai juga bagus, tapi kenanga bagus juga, tapi kayaknya bungur juga bagus, ih tapi anggrek putih bagus banget, tapi–"
"Busett … banyak amat mau lu Mir Mir."
"Yah gimana dong, bunganya bagus-bagus."
"Itu punya mamanya Dion. Izin aja sama dia dulu kalau mau ambil. Barangkali dikasih. Tapi kayaknya dikasih sih."
Mira dan Mario pun meneruskan perjalanannya, mereka berjalan kaki sejauh 20 meter.
"Mar, kapan nyampenya si? Ga nyampe-nyamper perasaan."
"Makanya kalau ke rumah Dion sekurang-kurangnya naik sepeda."
"Lagi tadi bukannya sama taksi aja suruh masuk."
"Jangankan taksi Mir. Orang yang kayak kita aja harus melewati sistem dulu apalagi mobil asing."
"Busett ... repot banget orang kaya yak mau beli seblak aja harus maraton dulu."
Mario mengangguk setuju, "Ho'oh."
"Rumah gue baru buka pintu langsung ada abang-abang ketoprak. Lah ini baru buka pintu harus jalan 20 meter. Keburu kelaperan ini mah."