"Sena."
Dion memposisikan dirinya miring ke kanan, menumpukan kepalanya di atas telapak tangan. Dion menatap wajah polos Sena yang cantik tanpa make up.
Pakai make up atau tanpa make up. Gadis itu tetap cantik seperti biasanya.
"Iya," jawab Sena kemudian miring ke kiri, menatap Dion, sang cassanova.
Mereka saling tidur berhadapan, dan menatap satu sama lain. Menyalurkan semua perasaan mereka yang bersemi di balik kalbu.
"Kenapa kamu pergi sendirian saat aku ga ada?"
Sena menurunkan tatapannya, menghindari mata Dion, "Emm itu ... Sena-" haruskah ia bilang yang terjadi sebenarnya.
"Dan kenapa kamu kembali dalam keadaan terluka?"
Suara parau Dion mengalun lembut di telinga Sena. Jarak wajah mereka begitu dekat. Hingga Sena dapat merasakan deru nafas Dion yang mengenai pipinya.
"Apa ada yang jahat sama kamu saat aku ga ada?"
Sena menggigit bibir bawahnya. Bingung.
"Siapapun yang membuat kamu terluka, dia berurusan denganku."
Sena meremat seprai, menahan perasaannya. Haruskah ia menyembunyikan kejadian tadi. Atau jujur saja.
"Dion sebenernya Sena ..." ucap Sena ragu-ragu.
Dion meletakan tangannya di atas rambut Sena, dan mengusapnya lembut memberikan ketenangan untuk gadis itu.
"Jika kamu tidak ingin mengatakannya tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa. Tapi kamu harus tau, siapapun yang membuat kamu menangis dan terluka orang itu harus pergi."
Sena terenyuh. Ucapan Dion seperti menariknya ke Palung Mariana yang paling dalam. Bohong jika Sena bilang jantungnya tak berdebar.
Nyatanya jantung Sena berdebar begitu kencang. Hingga membuat semburat merah di pipi Sena seperti memakai blush on. Jika tak ada Dion disini mungkin ia akan loncat-loncat kegirangan. Sena bahkan lupa caranya bernafas. Ia menahan nafasnya sedari tadi, saking gugupnya.
Dion merengkuh tubuh ringkih Sena untuk mendekat ke arahnya. Ia memeluk tubuh yang begitu pas di tangannya.
Dion mendekatkan puncak hidungnya di rambut Sena, menghirup aroma khas Sena yang membuat hatinya porak-poranda. Dan juga~ rindu. Aroma yang selalu ingin Dion hirup Setiap hari, ia mengerti bagaimana tersiksanya ia saat jauh selama 12 hari. Tak bisa melihat Sena, tak bisa mendengar suara ceria Sena, dan juga tak bisa menghirup aroma Sena yang memabukkan.
"Yuk tidur, udah malem," ucap Dion memejamkan matanya.
Sena merasakan detakan jantung Dion yang berdebar-debar. Debaran itu sama dengan debaran yang ia rasakan.
Sena tersenyum kegirangan, apakah itu tandanya mereka cinta sejati? Jantung mereka berdebar dengan irama yang sama.
Dan juga, Setiap jantung Sena berdetak tak karuan. Dion juga.
"Dion."
"Hmm," gumam Dion yang mulai terlelap.
Sena mengeratkan pelukannya di pinggang Dion, merasakan hangatnya pelukan di bawah AC dan juga di bawah bintang-bintang yang tertutup atap rumah. Ngomong-ngomong apakah di langit ada bintang malam ini? Mungkin saja ada.
"Dion."
"Tidur Sena."
Chup!
Satu kecupan mendarat di bibir Dion. Tapi Dion tetap memejamkan mata, tak meladeni Sena. Ingat hanya mereka berdua saja disini. Bagaimanapun Dion adalah lelaki normal yang bisa khilaf. Dan juga mereka tidur di tempat yang sama. Yang jaraknya seperti jari telunjuk ke jari tengah.
"Sena ... jangan mulai."
"Abisnya Dion ganteng, Sena suka."
Sena tersenyum senang. Menatap pahatan wajah Dion yang begitu indah. Sena menaikan telunjuknya, menelusuri garis-garis wajah Dion yang begitu pekat. Ketampanan yang terlihat tak nyata.
Sena menggerakan telunjuknya di alis tebal Dion yang melintang rapi.
Dion membiarkan Sena menyentuh wajahnya. Lagipula wajahnya, dan seluruh yang ada di dirinya milik Sena.
Telunjuk Sena turun ke kelopak mata Dion yang tertutup. Sena menyentuh bulu mata Dion yang panjang dan lentik.
Bulu mata yang indah.
Jari Sena turun ke batang hidung Dion yang tinggi dan juga kecil. Bentuk hidung yang proporsional dan juga indah.
Sentuhan lembut dari Sena membuat mata Dion mengantuk. Gerakan manis dari jari Sena, seperti alunan lulaby yang membuatnya mengantuk berat.
"Dion ganteng Sena suka."
Pujian dari Sena yang kedua kali.
Gadis itu menurunkan telunjuknya tepat di bibir Dion. Mengusap-usap bibir lembut yang berwarna pink segar alami itu. Sena tersenyum senang menatap bibir Dion yang membuatnya ingat ciuman mereka di taman itu. Yang begitu dalam.
"Dion."
"Hmm."
"Ayo menikah."
Mata Dion tiba-tiba terbuka, padahal ia telah sampai ke mimpi indah.
Dion menatap mata Sena lekat-lekat, mencari kebohongan disana. Tapi tidak ada. Sena jujur. Gadis itu benar-benar memintanya tanpa bercanda.
"Kam-kamu serius?"
Sena mengangguk, "Serius."
"Apa kamu ga mau memikirkannya lebih dulu?"
Sena menggeleng, "Sena yakin, kita adalah cinta sejati yang ditakdirkan bersama."
"Kenapa kamu ngomong gitu?" tanya Dion lembut.
"Setiap jantung Sena berdebar. Jantung Dion juga merasakan hal yang sama."
"Apa itu bisa dijadikan patokan kita adalah cinta sejati?"
"Sena hanya yakin saja."
Chup!
Sena kembali mengecup bibir Dion.
"Dion ..."
"Hmm?"
"Hari ini Sena mau menyerahkan semuanya ke Dion."
Dion terdiam sejenak. Berpikir apa maksud Sena, sampai akhirnya ucapan Sena terhubung pada satu kalimat yang begitu sensitif.
"Menyerahkan?" tanya Dion, memastikan telinganya tidak salah.
Sena mengangguk.
"Kenapa kamu mau menyerahkannya buat aku?"
"Karena Sena yakin Dion. Sena ga yakin sama yang lain."
Dion menatap Sena lembut, "Sen ... jangan aneh-aneh nanti otak aku traveling."
"Sena mau menyerahkan hal yang penting bagi Sena malam ini."
"Hanya kita berdua," ucap Sena terdengar begitu menggoda.
Dion menelan ludahnya susah payah. Tentu saja kata-kata itu sensitif bagi laki-laki. Tidak bukan sensitif. Tapi benar-benar sensitif.
"Sen jangan pancing aku. Aku lagi jaga diri buat berbuat yang engga-engga sama kamu."
"Sena serius. Sena ga bohong."
"Sen ..."
"Sena serius mau menyerahkan hal yang paling penting di hidup Sena."
Dion meneguk ludahnya. Menahan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
"Sena mau menyerahkan PR Sena yang begitu berharga untuk Dion."
"Yeeeeey!"
Jeger...!
Rasanya Dion seperti disambar petir.
Dion ternganga, "Bukan ... bukannya kam-kamu mau menyerahkan hal yang penting."
Sena tersenyum lebar, "Ho'oh."
"Sena mau menyerahkan nilai 100 Sena ke Dion."
"Dan kamu anggap nilai 100 itu penting?" Dion jadi kesal sendiri. Apakah ini tandanya ia kena prank dari kepolosan Sena lagi? Hasratnya yang tadi memuncak, mendadak turun drastis. Seperti ia telah terbang tinggi-tinggi namun sedetik kemudian dihempaskan jatuh ke tanah.
"Nilai matematika Sena dapet 100 Dion ... Sena pinter kan."
"Sena seneeeeng banget."
Dion mendadak badmood dan juga malu berpikir yang iya-iya. Eh maksudnya yang tidak-tidak.
Dion membalikan badan. Memunggungi Sena.
Sena emang bisa membuat perasaannya tak karuan. Belum lagi otaknya yang sempat mengajaknya jalan-jalan.
"Ih kok Dion ngadep situ sih. Ga ngadep Sena."
"Males."
"Aaaa Dion mah. Kan Sena jadi ga bisa liat Dion."
"Jarak kita cuma sebatas kuman dan bakteri Sena. Ga sampe dua jari."
"Sena mau deket Dion sampe ga ada jarak," Sena tersenyum manis.
"Iket aja biar menyatu."
Plak..!
Satu tepukan mendarat di bahu Dion.
"Ih Dion!"