PART 121 - RUMIT

1066 Kata
"Makasih, Dok," ucap Sena menundukkan kepalanya hormat. Dokter wanita muda itu tersenyum, "Iya sama-sama, nona Sena." Sena balas tersenyum, kemudian berjalan menuju pintu. Menatap selembar kertas berisi hasil tes yang diberikan dokter Rima. "Eumm- nona Sena." Panggilan dari sang dokter membuat Sena menoleh, "Iya, Dok?" "Kamu …" ucap dokter Rima berhati-hati, "Siapanya Dion?" Mendengar nama kekasihnya disebut sontak sudut bibir Sena melengkung, membentuk bulan sabit. "Pacarnya." Hemm, sebenarnya Sena ingin sekali mengatakan istrinya- soalnya Mama Dion selalu mengatakan Sena adalah istri Dion, tapi kenyataannya mereka, kan belum menikah. Atau menyebut calon istri? Tapi Dion belum melamarnya. Dokter Rima mengangguk-angguk, "Ooh," ucapnya tersenyum tipis. "Kenapa, Dok?" "Gapapa," ucap dokter Rima menggeleng, "Hati-hati di jalan ya." Sena mengangguk, semangat, "Iya," ucap gadis itu, lalu kembali menatap ke depan, melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Sang dokter muda, menghela nafas. Menatap punggung ringkih yang kian menjauh. Tatapannya seperti menyiratkan sesuatu. "Dion, hasil Sena udah ke-" ucapan Sena terhenti saat membuka pintu sosok Dion tidak ada. Sena menurunkan tangannya, padahal Sena ingin menunjukkan hasil tesnya. "Dion," ucap Sena cemas. Ia menoleh kanan-kiri. Tapi lorong terlihat sepi. Sena keluar dari ruang kandungan, dan menutup pintu. "Dion?" Sena berjalan di lorong, mencari-cari kekasihnya, "Dion kok ninggalin Sena?" Sena terus berjalan tak tentu arah. Ia pergi kemana saja mencari Dion membawa secarik kertas hasil tes kehamilan. "Dion …" air mata Sena jatuh. Sena takut ditinggal sendirian. Sena berlarian di sepanjang lorong, terlihat para suster yang mendorong meja berisi makanan untuk pasien, dan juga beberapa orang yang berlalu-lalang membesuk kamar sang pasien. Sena seperti orang asing yang tersesat sekarang. Sena menangis, tak tentu arah. Saat Sena kehilangan Dion, ia seperti anak ayam yang kehilangan induknya. "Dion kemana?" "Dion …" Sena menghapus air matanya yang mengalir. Berlarian seperti anak hilang. "Mbak, ini rumah sakit jangan lari-larian dong!" tegur seorang wanita muda. "Kalo mau lari-larian di lapangan sana. Ini bukan tempat bermain!" Sena tidak menjawab. Pikirannya hanya terlintas pada Dion. ***** Mira mondar-mandir di depan pintu ICU. Mira tidak menyangka luka Mario separah ini. Tapi jika dilihat dari tindakan Daniel yang membabi buta, bisa saja nyawa Mario melayang. Mira tidak menyangka Daniel datang ke rumahnya, dan salah paham soal dirinya dan Mario. Sekarang, semuanya runyam. Mario yang tidak salah apa-apa, jadi korban amarah Daniel. Mira tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri, bila terjadi apa-apa pada Mario. "Semoga Mario ga kenapa-kenapa ya Allah …" pinta Mira memohon. "Mira mohon." Cklek! Suara pintu dari ruang ICU membuat Mira mendekat. Raut wajahnya menunjukan kecemasan dan khawatir. "Gimana Dok? Gimana keadaan Mario?" tanya Mira memburu. Sisa-sisa air mata, tercetak jelas di pipinya. "Apa dia baik-baik aja Dok?" "Dia gapapa kan?" Sang dokter menggerakan tangannya, menenangkan Mira yang mengajukan pertanyaan bertubi-tubi, "Tenang dulu mbak …" Mira menghela nafas, berusaha menenangkan diri. Meskipun masih tidak tenang, "Maaf, dok. Saya hanya cemas." "Iya gapapa kok, teman anda baik-baik saja, nanti dia akan sadar. Hanya saja biarkan dia beristirahat dulu, dia sedang terpengaruh obat bius." Mira mengangguk paham, "Makasih dok." Dokter pria yang berusia setengah baya mengangguk, "Kalau begitu saya permisi dulu." "Iya, Dok." Sang dokter berlalu meninggalkan Mira sendirian di depan ruang ICU. Wanita itu menghela nafas panjang, kemudian melangkah pelan menghampiri pintu yang tertutup. Mira menatap jendela kecil di badan pintu ICU. Menatap Mario yang tengah berbaring lemah di atas bangsal. "Maafin gue, Mar …" ucap Mira lirih. Gadis itu menunduk, sedih. "Ini pertama kalinya gue minta maaf sama lo, Mar," Mira menutup wajahnya, tak dapat menghindari rasa sedihnya, "Tapi kenapa kejadiannnya harus kayak gini, hiks …" "Kenapa ga saat kita berantem aja, gue minta maaf. Kenapa pas lu sakit kayak gini." ***** "Kita udah ngelakuin apa yang lu minta sekarang apa?" ucap salah satu pria berhoodie hitam. Mereka berpakaian kembar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tapi yang membedakan mereka cuma 2. Suara dan nada bicaranya. Yang bersuara berat dengan nada angkuh, dan dingin. Dan satu lagi bersuara ringan dengan nada yang selalu menuruti perintah. Mereka yang diajak Chika untuk bekerja sama, disembunyikan identitasnya. Tapi kita akan menyebutnya si A, dan si B. A untuk pria bersuara angkuh, dan B untuk pria bersuara ringan. Chika yang duduk di kursi dalam keadaan terikat, memberikan isyarat untuk membuka lakban di mulutnya. "Baik," ucap si A, lalu membuka lakban dari mulut Chika. "Arghh," ringis Chika kesakitan, saat lakban itu ditarik kuat. "Sakit tol*l." Mereka hanya diam saja mendapat u*****n seperti itu. "Sekarang tugas kita apa lagi?" tanya si A. Chika hanya tersenyum miring, kemudian menoleh ke samping. Menatap Dion yang tidak sadar terikat di kursi. ***** "Hah," nafas Sena terengah-engah, ia tak tahu berapa lama ia berjalan, dan seberapa jauh ia melangkah. "Dion kemana? Kenapa Dion ninggalin Sena sendirian," Sena menghapus air matanya. Sepanjang perjalanan, Sena selalu menjadi sorotan orang-orang. Bagaimana tidak, gadis itu berjalan sendirian, dengan rambut acak-acakan, dan matanya bengkak menangis terus. "Sena mau pulang, Sena mau ikut Dion." Sena menghapus lagi air matanya yang mengalir. Sena telah mengelilingi rumah sakit, namun Dion juga tidak ada. Ingin menelpon Dion, Sena juga tidak memegang ponsel. Semenjak Dion memberikannya ponsel, Sena tak pernah memakainya karena tidak mengerti. "Sena harus cari Dion kemana lagi." Sena memutuskan keluar dari gerbang rumah sakit. Berjalan sendirian di tepi jalan, dengan luntang-lantung. Tak tau mau pergi kemana. Dan tak tau harus mencari Dion kemana. Sena bahkan tak memegang uang sepeserpun untuk membeli makanan, ataupun minuman untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Sena menunduk, menatap bayangannya di jalan. ***** Jari jemari Dion bergerak perlahan-lahan, bersamaan dengan kelopak matanya yang perlahan-lahan terbuka. Pria itu telah sadar dari pingsannya, setelah punggungnya dipukul keras dengan balok kayu. "Erghh …" ringis Dion, punggungnya masih ngilu. Dion menegakan wajahnya perlahan-lahan. Matanya menatap pintu gudang reot yang tertutup rapat. Ruangan ini begitu pengap, tak ada sirkulasi udara. "Uhuk uhuk," Dion terbatuk-batuk menghirup udara yang tak sehat, dipenuhi debu. "Ini dimana?" tanya Dion kebingungan. Perasan ia tadi sedang di rumah sakit, menunggu Sena periksa cek kandungan. Dion mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia mengurutkannya satu persatu. Sampai akhirnya Dion teringat sesuatu. "Chika!" Gadis itu tadi meminta tolong padanya. Tapi kemana gadis itu? Dion menoleh ke samping, dan ternyata gadis itu ada di sebelahnya dengan jarak terpisah 1 meter. Ia melihat Chika yang tidak sadar sedang terikat di atas kursi. Tapi- perasaan saat Dion melihat Chika mulut gadis itu di lakban, tapi kenapa sekarang tidak. Dion menggeleng cepat, berusaha mengenyahkan semua pemikirannya. "Chika, Chika!" Dion memanggil Chika keras berharap gadis itu terbangun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN