PART 134 - CANDAAN RECEH SENA

1003 Kata
selesai revisi "Kamu yakin?" Sena mengangguk semangat, "Iya! Kan Sena suka Dion, jadi Sena mau jadi istrinya Dion! Terus terus nanti kita punya anaknya dua … tiga, empat, lima. Atau sepuluh? Sebelas aja gimana?" "Sebelas aja Dion!" "Yuk sebelas aja!" Pletak..! "Diooon," protes Sena memegangi dahinya yang baru saja kena sentilan Dion. "Punya anak sebelas ngapain Sena? Mau bangun tim sepakbola?" "Biar manggilnya bingung. Kamu namanya siapa ya? Mama lupa … Rizky ya, Bobby atau Justin? Atau jangan-jangan Kevin nih. Ini pasti Kevin. Mama yakin kamu Kevin. Bukan Ma, aku Mail." Dion tertawa, "Hahaha terus kalo manggil mereka semua gimana?" "Semua yang ada di rumah ini keluar!!" "Wkwkwk," Dion tertawa sampai matanya berair. Dan satu lagi selera humor Sena itu receh. "Gemesss." Dion memeluk erat tubuh Sena yang mungil seperti guling. "Dioonn kekencengan," Sena menepuk-nepuk tangan Dion. Tapi pria itu tak mau melepaskannya. "Dioooon." Dan akhirnya Dion pun melepaskan pelukan, padahal ia masih belum puas memeluk tubuh mungil itu. ***** "APA?!" Sontak seluruh penghuni perpustakaan menatap ke arah Mario. Termasuk sang penjaga perpustakaan. Mario yang mendapatkan tatapan tajam dari semuanya terkekeh, "Hehehe, ganggu yak?" tanya Mario dengan wajah tanpa dosa, menurunkan ponselnya yang masih tersambung panggilan. "Kamu yang rambutnya kribo, keluar dari tempat ini sekarang!" ***** "Ini perpustakaan bukan taman bermain." Bam..! Pintu ditutup. Dan disinilah Mario. Di luar perpustakaan yang dinginnya menusuk tulang, sendirian tanpa siapapun. Ia sepi, hampa, nelangsa, merana, gegana, dan- Tidak, tidak kembali ke isi cerita. Setelah didepak sang penjaga perpustakaan yang killernya setengah mati. Mario memasang muka masam. Ia, kan tidak sengaja berteriak seperti tadi. "Siapa bilang ini taman bermain, dikirinya Dufan apa. Aneh pak Yanto nih," ucap Mario pelan. Namun tiba-tiba pintu terbuka lagi. "Kamu ngomong apa? Saya denger ya." "Sa-saya mau ke taman bermain pak." "Awas ya kalo kamu ngomong yang engga-engga tentang saya." Bam..! Pintu kembali ditutup. "Perasaan gue ngomong pelan, ko bisa kedengeran. Tu orang punya indera berapa?" "Kamu ngomong apa tadi?" Mario mengelus d**a, "Indera pak indera." "Indera apa?!" "Temen saya pak namanya Indra." "Jangan pernah ngomong yang aneh-aneh tentang saya ya. Saya bisa tau apapun." "Busett siapa yang ngomong aneh-aneh si pak. Kuping bapak sensitif banget kayak putri malu kalo disentuh." "Saya dapat mendengar apapun yang kamu katakan, sekecil apapun sepelan apapun, se-mini apapun. Bahkan tanpa kamu mengatakannya bapak bisa tahu." "Busett," Mario speechless, "Serem amat." Bam..! Dan tahu apa yang terjadi, pintu kembali ditutup. Penjaga perpustakaan di fakultasnya memang beda sendiri. Beda sama penjaga-penjaga lainya. Mario memilih menjauh. Daripada kena semprot lagi. Mario kembali mendekatkan telpon genggamnya. "Halo." "MARIO LU KEMANA SIH. LAMA AMAT JAWAB TELPON GUE GATAU APA INI PULSA UDAH MAU SEKARAT DAN LU ENAK-ENAKNYA NINGGALIN TELPON GUE TANPA PESAN APAPUN LU KEMANA HAH SAMA SIAPA? DIMANA? NGAPAIN? JAWAB! JAWAB TELPON GUE ANJIR." "JAWAB. JANGAN DIEM AJA." Mario menjauhkan ponselnya, lalu kembali mendekatkan ke telinganya setelah tak terdengar lagi ocehan dari sebrang. "Ya gue-" "Jawab!" "Gue itu-" "Jawab! Lu ngerti jawab ga sih?" Mario menghela nafas, "Ini gue lagi-" "Jawab!" "Ini gue lagi jawab anjir tapi lu potong-potong mulu gimana gue jawabnya apa harus pake bahasa kalbu bicara dari hati ke hati biar lu ngerti makanya kuping tu dipasang jangan ditinggalin di rumah." "Hah hah hah," Mario mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Nge-gas itu melelahkan juga. "Nah gitu dong, ini baru lu jawab." "Kan gue udah jawab daritadi anjir." "Oh lu udah jawab?" Mario menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskanya, "Yaa terus daritadi gue ngapain anjir. Mancing." "Oh ini headset gue gimana si, masa suara lu ga kedengeran. Untung pas gue copot kedengeran lagi." "Hah," Mario menghela nafasnya lelah. "Yaudah tadi lu ngomong apaan gue lupa," ucap Mario to the point. "Sena udah sadar." "Hah? Serius?" "Iya, makanya cepetan lu dateng kesini. Jangan lupa bawain-" Tut tut tut Mario menurunkan ponselnya, "Lah? Kok mati?" Sementara di ujung sana. "Yaaah pulsanya abis." ****** "Sena …" "Iya?" Dion menatap mata jernih itu dalam-dalam. Menyalurkan perasaan mereka yang menyatu bagai simfoni. Dion mengusap-usap pipi lembut Sena, "Ada yang pengen aku ungkapin ke kamu." Sudah saatnya Dion memutuskan masa depan Sena dan dirinya. "Apa?" Dion tersenyum tipis, kemudian merogoh sesuatu di balik saku belakangnya. "Kamu bisa tutup mata." Sena pun menutup matanya mengikuti perintah Dion. "Sekarang kamu buka." "Waaa," Sena menganga lebar. Menatap isi kotak merah bludru di tangan Dion. "Dion ini …" Sena tak dapat melanjutkan kata-katanya menatap cincin indah yang bersemayam di sana. "Aku ga bercanda saat aku bilang aku mau kita abadi Sen." Sena menelan ludahnya gugup. "Aku tak bercanda." "Aku ingin kamu menjadi bagian dari hidupku, Sen. Menjadi penyempurna seorang Dion, dan Dion menjadi penyempurna seorang Sena. Kita saling menyempurnakan satu sama lain. Aku, kamu. Kita…" "Apa kamu mau menciptakan sejarahnya bersamaku, Sen?" "Dioon," ucap Sena dengan suara bergetar. Setetes air mata jatuh di sudut matanya. "Apapun keputusan kamu, aku siap." "Yooo what's up! Eyyyy! Heloooo everybody!" "Ssuut sutt, diem bego." Mario yang baru saja datang, tiba-tiba mulutnya dibekap Mira begitu saja. Lalu diseret Mira menjauhi pintu. Setelah menjauh dari pintu, Mira pun melepaskan tangannya dari mulut Mario. "Apaan si Mir?" "Lu mau kemana?" "Lah lah, gimana si Maemunah yang namanya di rumah sakit ya mau jenguk orang sakit lah masa nonton bola." "Jangan!" "Lah? Kok jangan?" "Pokoknya jangan. Udah ye lu duduk aja disini, diem tenang di luar." "Lah, gimane si ni Mirasantika. Kan lu sendiri yang bilang Sena udah sadar, terus pas gue kesini mau jenguk ga boleh." "Udah sssut ssut! Lu diem aje." "Ogah, gue mau liat pokoknya." "Kan gue bilang jangan." "Ku tak peduli," sahut Mario kemudian berjalan menuju pintu, tapi Mira malah menghadang jalannya. "Kan gue bilang jangan, ya jangan anjir! Ini orang batu banget gue bilangin." "Lah ngapa lu nge-gas Juleha? Masa orang jenguk dilarang." "Jangan! Pokoknya jangan." "Jangan apaan si?" "Jangan sekarang, tapi nanti." "Kalo gue maunya sekarang gimana?" "Ya gue maunya nanti!" "Bodo amat, gue mau liat …" ujar Mario tak peduli. Semakin dilarang, semakin penasaran. "Mariooo." Mereka pun saling tarik-menarik di depan pintu. Mario yang ingin masuk, dan Mira yang menarik tangan Mario mencegah pria itu masuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN