Part 10

1367 Kata
Kediaman Arsen tak tak jauh berbeda dengan kediaman keluarganya. Bangunan dua lantai dengan halaman berumput yang luas di sekelilingnya. Kolam renang di halaman belakang dan air mancur dengan kolam ikan dihalaman depan. Rumah itu masih sama ketika terakhir kali Fherlyn datang kemari, meski dengan cuaca yang berbeda. Pertama kalinya datang ke rumah ini,  saat itu langit menggelap oleh mendung yang seakan senada dengan suasana hatinya. Dinginnya air hujan yang mengguyur tubuhnya membuatnya menggigil. Melengkapi kegamangan hatinya yang terguncang karena Adara datang begitu  mendadak di hidupnya. Perasaan yang ia sesali karena pernah ia rasakan, di saat ia seharusnya menyambut kemunculan Adara dengan suka cita. Adara pasti merasakan ketidaksiapannya meski saat itu janinnya masih berupa segumpah darah. Setelah ia memberi tahu tentang kehamilan tersebut begitu wajah Arsen muncul, pria itu terkejut dan langsung melayangkan lamaran yang ... singkat, padat, jelas, datar, dan tiba-tiba. Lalu menyeretnya ke kamar pria itu dan melepas semua pakaiannya untuk menggantinya dengan pakaian kering. Memberinya handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah dan secangkir s**u panas untuk menghangatkan tubuhnya. Meski tahu Arsen melakukan itu hanyalah sebagai bentuk pertanggungjawaban, Fherlyn tidak bisa tidak merasa istimewa dengan semua perlakuan lembut Arsen. Sama seperti ia tidak bisa menahan hatinya untuk tidak jatuh terlalu dalam oleh buaian Arsen. Fherlyn mendesah pelan ketika mobilnya berhenti di dekat kolam ikan. Lalu menarik napas dalam-dalam sebelum tangannya terangkat memutar kunci untuk mematikan mesin mobil. Pandangannya berputar menyapu sekitar. Tak ada siapa pun selain penjaga keamanan di dekat gerbang. Ya, rumah ini jelas lebih sepi dari rumahnya. Kedua adik perempuan Arsen yang sudah menikah sudah tentu hidup dengan suami mereka. Tapi mungkin masih ada adik lelaki Arsen yang tak banyak bicaralah yang tinggal di sini. Yang secara kebetulan muncul dari pintu utama ketika Fherlyn menutup pintu mobil. “Hai,” sapa pria bernama Arza dengan senyum manis dan ramahnya sambil berjalan mendekati  Fherlyn. Fherlyn membalas senyuman tulus Arza di antara usahanya untuk meredakan kegugupan. Entah bagaimana, pengendalian diri yang sejak dari rumah sudah ia persiapkan, perlahan terkikis ketika ia memasuki gerbang kediaman Arsen. Dan tak bersisa ketika kakinya benar-benar menginjak tanah kekuasaan seorang Arsen Mahendra. “Arsen di ruang kerjanya, pelayan akan mengantarmu ke sana.” Arza mengisyaratkan pada seorang pelayan wanita yang masih muda yang baru muncul dari arah dalam pintu ganda besar itu. “Apa kau tahu di mana Adara sekarang?” Arza tak langsung menjawab, “Kupikir tadi Arsen hanya berpesan untuk memberitahumu di mana dia sekarang.” Fherlyn terpaksa menelan pil pahit dalam jawaban tersebut Tentu saja ia tak akan semudah itu bertemu dengan Adara meski berada di lingkungan yang sama. Tanpa kata, Fherlyn mengikuti pelayan itu masuk. Menaiki anak tangga dan melintasi lorong sebelum berhenti di salah satu pintu. Pelayan itu mengetuk dua kali, dan suara Arsen membalas dari dalam. Pelayan itu membuka pintu untuk Fherlyn tapi ia berdiri mematung di sana. Kedua tangannya saling meremas karena gugup. “Nona?” Pelayan itu menegurnya dengan suara sangat lirih. Fherlyn mengerjap. Menyeret langkahnya melewati pintu sambil menahan napas. Dan di sana, di balik meja kayu berwarna coklat tua yang mengkilat, Arsen duduk bersandar mengenakan kaos putih bersih berlengan pendek dengan kedua tangan bersilang di depan d**a. Rambutnya yang gelap dan tebal disisir ke belakang. Mata tajamnya mengunci tatapan Fherlyn di langkah pertama ia memasuki ruangan. Sekali lagi, tak ada kata yang bisa ia ucapkan sebagai ungkapan akan betapa sempurna tampannya pria itu. “Kau datang?” ‘Ya, kau sudah melihatnya, kan?’ Jawaban Fherlyn hanya sebatas dalam batinnya saja. Arsen bangkit berdiri, meraih selembar kertas dari printer di meja dekat jendela lalu memutari meja dan mempersilahkan Fherlyn duduk di salah satu sofa kulit. “Duduklah.” Fherlyn memilih tempat duduk setelah Arsen mengambil tempatnya di kepala meja, dan ia pun menjatuhka pilihan di seberang pria itu demi menjaga jarak aman. Jika sewaktu-waktu Arsen melakukan atau mengatakan sesuatu yang membuatnya senam jantung, setidaknya telinga pria itu tidak bisa mencuri dengar keriuhan di dadanya. Arsen mengerutkan kening akan pilihan tempat duduk Fherlyn. Apa wanita itu takut Arsen akan menerkamnya? Jarak bukanlah halangan bagi Arsen jika memang ia berniat menerkam wanita itu. Tapi memang Fherlyn perlu berhati-hati. Siapa yang tahu godaan datang di mana saja dan kapan saja yang akan membuatnya khilaf. “Apa ini?” tanya Fherlyn ketika Arsen menyodorkan selembar kertas yang tadi diambil di printer Surat Perjanjian Pra-Nikah. Fherlyn membaca judul teratas lembaran tersebut. “Aku tak akan mengambil sepeser pun hartamu jika itu yang kautakutkan dengan pernikahan ini.” “Aku percaya. Tapi ini tentang Adara.” Manik Fherlyn melebar. Tatapannya segera teralih kembali ke berkas tersebut dan semakin ia membacanya, hatinya semakin terasa diperas. Hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. “Aku ingin kau menandatangani.” Arsen menyodorkan bolpoin ke dekat Fherlyn. Sama sekali tak memedulikan kehancuran di mata Fherlyn yang mulai berkaca-kaca. Fherlyn meremas kertas itu dan melemparnya ke arah Arsen. “Saat kau mencoba pergi dari kehidupanku, aku tak bisa mengambil resiko kau akan melakukannya untuk yang kedua kali. Terutama jika sudah melibatkan Adara di antara kita.” “Aku menikahimu karena Adara, tidakkah itu cukup sebagai bukti bahwa aku lebih mementingkan dia dibandingkan apa pun.” “Ya, aku tahu. Tapi siapa yang akan menjamin bahwa kau tidak mengulangi hal itu padaku? Jadi, jika suatu saat kau memilih pergi dari kehidupan kami, kau tak akan datang ke kehidupan kami ... ah tidak.” Arsen menggelengan kepalanya satu kali. Dengan jari telunjuk menunjuk ke arah Fherlyn yang tampak begitu tegang oleh kemarahan bercampur sakit hati di wajah keras wanita itu. “... kau tak akan pernah menampakkan wajahmu di hadapan kami. Seumur hidupmu. Kau akan kehilangan hak asuh Adara dan tak akan menuntut atau melakukan apa pun itu demi bertemu atau sekedar melihatnya dari kejauhan di detik kau berniat pergi dari hidupku atau di saat kau menandatangi surat gugatan perceraian.” Fherlyn berharap Arsen membelah dadanya dan membetot jantungnya dengan tangan pria itu sendiri. Menghancurkannya secara langsung. Itu lebih baik daripada membiarkannya merasakan jantungnya masih berdetak hanya untuk dipaksa menahan rasa sakit tak terkira ini. “Kau benar-benar egois, Arsen.” “Berengsek egois.” Arsen melengkapi umpatan Fherlyn  sambil mengangkat bahu. Seolah memiliki kebanggaan tersendiri dengan julukan tersebut. “Ya, aku sudah biasa mendengarnya dari mulut Alea.” “Lalu kenapa bukan kau saja yang terbiasa menjadi berengsek di mata putrimu. Alih-alih diriku yang sudah menjadi malaikat di matanya sejak  dia bernapas di dunia ini.” Fherlyn menekan bibirnya ketika mengeluarkan desisan tertahan itu dalam sekali tarikan napas. Arsen mengorbankan dirinya untuk kepentingan pria itu sendiri. Belum pernah ia mengenal orang seegois, seberengsek, sekejam, se ... setega Arsen seumur hidupnya. Arsen sungguh ingin melumat bibir mungil yang manis itu untuk membungkam kekurang-ajaran Fherlyn. Kelembutan dan candu di bibir itu pasti masih sama ketika terakhir kali ia mencicipinya. Membelai bibirnya dengan kehangatan dan rasa manis yang tak pernah membuainya selama empat tahun ini. Harus Arsen akui, bahwa Fherlyn tak pernah ada duanya baginya. Secara fisik maupun psikis.  Tak pernah ada wanita yang sepanas Fherlyn ketika di ranjang, dan tak pernah ada wanita yang menguasai hatinya sebanyak Fherlyn melakukannya. “Aku tak keberatan bersikap berengsek pada adikku, apalagi padamu, Fherlyn. Tapi putriku jelas pengecualian, kan. Seseorang setidaknya harus punya satu kelemahan, dan aku memutuskan dialah yang akan mendapatkan posisi istimewa itu di hidupku.” Fherlyn tak tahu harus merasa lega atau tidak dengan Arsen yanga menempatkan Adara di posisi teristimewa di hati dan hidup pria itu. Ia telah salah paham, entah bagaimana putrinya –dengan Arsen- ternyata berhasil mengambil sesuatu yang tidak bisa didapatkan Fherlyn dari Arsen. Dengan begitu mudahnya dan dengan waktu sesingkat ini. “Apa kau benar-benar akan meletakkanku di posisi sehina itu, Arsen?” Mata Fherlyn mengerjap sekali. Menahan air mata tidak menetes di pipinya. Harga diri, martabat atau apa pun itu, rasanya semua itu sudah lenyap saat berhadapan dengan Arsen. “Surat perjanjian ini hanya mengingatkanmu untuk setia terhadap pernikahan kita, Fherlyn. Kenapa sebuah kesetiaan bisa menggores harga dirimu?” Fherlyn mendengus dalam hati saat kata kesetiaan keluar dari mulut Arsen. Tak seharusnya pria itu berceramah tentang kesetiaan jika pria itu tak memahami arti sebenarnya dari kata tersebut. “Selama kau tidak berniat meninggalkan kami, hidup kita bertiga akan baik-baik saja. “Bukankah Adara adalah segalanya untukmu? Kenapa kau masih berpikir terlalu keras untuk menandatanganinya?” “Bagaimana jika aku tidak menandatanganinya?” Arsen menyeringai. “Sepertinya itu akan lebih mudah bagiku. Aku akan melakukannya dengan tanganku sendiri untuk menghapus kau dari ingatan Adara. Meyakinkan dirinya bahwa kau tidak pernah ada di hidupnya. Bahkan aku bisa meletakkan nama wanita mana pun di berkas-berkasnya agar dia tidak kebingungan saat dewasa dan merasa perlu mengetahui asal-usulnya. Bagaimana?” Fherlyn yakin bekas kukunya yang panjang di telapak tangannya meninggalkan luka di kulit karena saking kerasnya ia meremas. “Apa kau baik-baik saja jika bukan namamu yang tertulis di masa depan Adara, Fherlyn?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN