Part 33

1737 Kata
Fherlyn berjalan tertatih keluar dari kamar mandi. Bersusah payah berjalan untuk mencapai ranjang karena rasa nyeri yang masih terasa ketika ia menopangkan seluruh berat tubuhnya di kaki kanannya. Semoga saja nyerinya akan membaik besok pagi. “Apa yang kaulakukan?” bentak Arsen sambil melempar jas dan tas kerjanya ke sofa lalu menghampiri Fherlyn yang berpegangan pada meja kecil di dekat pintu kamar mandi, dengan kaki kanan yang sedikit terangkat. “Arsen?” Fherlyn tersentak kaget dan pegangannya pada pinggiran meja sempat meleset. Tubuhnya pun hampir terjatuh ke belakang dengan kemunculan Arsen yang tiba-tiba dan nada keras pria itu. “Kau ... pulang?” tanyanya terheran karena hari yang masih siang. Arsen membungkuk, menyelipkan kedua lengannya di balik lutut dan punggung Fherlyn lalu membawanya ke ranjang dalam sekejap dan mendudukkannya di pinggiran ranjang. Kemudian ia membungkuk, menyentuh pergelangan kaki Fherlyn dan memeriksanya dengan sangat teliti. “Aku sudah menyuruhmu untuk beristirahat di ranjang kan? Lihat, kakimu terlihat membengkak.” Fherlyn mengerutkan kening. Melihat kakinya yang dipegang Arsen dan menyipitkan mata mencari bengkak yang dimaksud Arsen. Kakinya memang masih terasa nyeri, tapi sepertinya baik-baik saja. Tidak bengkak dan bahkan tidak ada lebam di sana. “Ini baik-baik saja.” “Kau sudah minum obatmu?” Arsen menurunkan kaki Fherlyn agar wanita itu berhenti mengamati. Ya, ia memang sedikit melebih-lebihkan. Fherlyn mengangguk. “Istirahatlah.” Arsen berdiri, membungkuk dan mendorong bahu istrinya agar berbaring di kasur. “Aku baik-baik saja, Arsen. Dan aku baru bangun dari tidur,” jelas Fherlyn. “Jangan membantah!” sergah Arsen kesal. “Kau tidak bekerja?” “Aku pulang lebih awal.” “Kenapa?” “Apa tidak boleh?” Fherlyn menggeleng kaku. Mengubur dalam-dalam pemikiran bahwa Arsen pulang cepat karena mengkhawatirkan keadaannya. Lagipula ia hanya terkilir, secinta mati bagaimana pun seorang pria pada wanitanya, tak mungkin mereka akan menyisihkan urusan pekerjaan hanya karena kaki yang terkilir. Mungkin Arsen pulang lebih awal karena ada beberapa urusan yang sepertinya tak perlu ia ketahui. Arsen tak pernah mengabaikan kewajiban kantornya untuk masalah pribadi semacam ini. Ia sangat mengenal bagaimana profesional dan bertanggung jawabnya Arsen pada MH. “Di mana Adara? Aku tidak melihatnya di kamarnya?” Arsen duduk di samping kaki Fherlyn dan melepaskan sepatunya. “Sepertinya masih di halaman belakang. Aku sudah memperingatkan pengasuh untuk segera membawanya ke kamar untuk tidur siang setelah makan.” Arsen mengangguk pelan. Melepas satu persatu kancing kemejanya di hadapan Fherlyn tanpa malu. Lagi pula Fherlyn sudah pernah melihatnya telanjang, tak ada perlu ia tutup-tutupi dari pandangan wanita itu. Ditambah Fherlyn yang suka diam-diam mencuri pandang ketika ia sedang berpakaian. Tubuhnya memang sangat seksi, semua wanita berharap ia telanjang dan menjadi pemandangan indah mereka. Sayangnya hanya Fherlyn yang ia ijinkan menikmati keindahannya itu. Fherlyn memalingkan muka ke samping. Wajahnya memerah dan memanas seketika. Saat keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang, saat menyentuhnya, dan saat melepas kancing kemeja seperti ini adalah saat-saat Arsen terlihat seksi di matanya. Dan jika Arsen menambah dengan kontak mata, maka selesailah dia. Ia akan jatuh dalam pusaran gairah  Arsen dengan sangat sukarela. Mungkin ia tak pernah peka dengan apa yang dipikirkan Arsen, tapi ia selalu tahu apa yang ada di pikiran Arsen saat pria itu menginginkan tubuhnya. Sama seperti ia mengingkan pria itu memenuhi tubuhnya. Itulah sebabnya ia memilih menghindari tatapan Arsen, tak ingin gairah mereka saling bersahut dan menenggelamkan mereka berdua. Mata Fherlyn terpejam erat ketika mendengar gesper sabuk dibuka dan tarikan bahan kulit yang bergesekan dengan kain di pinggang. Lalu sabuk itu dilempar ke lantai dan tatapan tajam terasa menusuk samping wajahnya. “Kau tanya kenapa aku pulang lebih awal?” desah menggoda Arsen terdengar dengan napasnya yang mulai memberat. Ujung jemari pria itu menyentuh kulit kaki Fherlyn yan telanjang. Kemudian dengan sentuhan seringan bulu, menjelajah naik sepanjang kaki wanita itu penuh undangan panas. Fherlyn tetap pada keputusannya untuk mengabaikan godaan yang memanjakan kulit kakinya. Sentuhan jari Arsen mengirimkan gelenyar yang membuat perutnya seperti dipenuhi kupu-kupu. Tubuhnya menegang dengan gelenyar aneh yang menjalar di kulit kakinya dan melemahkan kerja otak dan jantungnya. “Mendadak aku punya agenda yang lebih menarik.” Fherlyn menahan tubuhnya yang hendak menggeliat dan menutup bibirnya rapat-rapat karena desahan yang meronta di ujung tenggorokan. Wajahnya tetap berpaling dari Arsen yang semakin memangkas jarak di antara mereka. “s*x after lunch.” Jemari Arsen mulai menyingkap dress yang dikenakan Fherlyn setelah sejenak bermain-main di lutut Fherlyn. Hanya dengan menyentuh wanita itu saja bisa membuat Arsen mencicipi kenikmatan dari tubuh Fherlyn. Desahan tertahan wanita itu semakin membuat Arsen puas. ‘s*x after lunch?’ Jika tadi wajah Fherlyn hanya memerah dan memanas, kali ini wajahnya mendidih oleh rasa malu. Ia menggigit bibir bagian dalamnya, mencegah desahan yang sudah di ujung lidahnya lolos lalu mempermalukan dirinya. Dengan suara seraknya, ia berkata dengan terbata. “Aa ... aku sedang sakit, Arsen.” Arsen naik ke ranjang, merangkak di atas tubuh Fherlyn yang kaku. Kedua tangannya bersandar di kasur dan mengurung kepala Fherlyn. Menahan agar berat tubuhnya tak sepenuhnya dibebankan pada tubuh Fherlyn. Bibirnya yang menempel di telinga Fherlyn berbisik dengan suara seraknya. “Kau tidak perlu melakukan apa pun. Kau hanya perlu berbaring dan menikmati permainannya. Biarkan aku melakukan sisanya.” Arsen mengakhiri kata-katanya dengan meniup kan udara ke telinga Fherlyn. Bibir Fherlyn membuka karena tak bisa menahan erangannya, tapi bersyukur ia bisa menahan erangan itu tak sampai terdengar di telinga Arsen. Gelombang kenikmatan yang menerjang dirinya terlalu kuat di hadapi dengan harga diri yang berusaha ia jaga di hadapan Arsen. “Ka .. kkauu menyuruhku beristirahat.” Tubuh Fherlyn serasa mengerut. Kulit d**a Arsen yang menempel di dadanya dan bibir pria itu yang mulai menjilati telinganya membuat Fherlyn bergulat dengan gairahnya sendiri. Ia tidak boleh membiarkan Arsen mendapatkan tubuhnya, tapi itu hanya ada dalam pikirannya. Karena Arsen sudah menaklukkan tubuhnya. Sepenuhnya. “Setelah ini selesai, kau akan beristirahat dengan sangat baik.” Satu tangan Arsen meraih ujung dres Fherlyn dan menariknya lolos dari tubuh Fherlyn. Setelah berhasil menelanjangi Fherlyn, ia pun menelanjangi dirinya sendiri. menjelajahi setiap senti tubuh Fherlyn dengan bibir dan kedua tangannya. Membawa mereka berdua mencapai kenikmatan paing dahsyat dari yang pernah mereka dapatkan sebelumnya.   ***   ‘Dasar pria m***m!’ batin Fherlyn memaki. Tubuh mereka masih saling menempel dan telanjang di balik selimut tebal. Napas panas Arsen yang berhembus dengan ritme teratus di leher bagian belakang membuat Fherlyn bergidik oleh rasa geli. Pria itu bilang akan membuatnya tidur dengan nyenyak setelah mereka selesai, tapi lihatlah sekarang siapa yang tidur seperti bayi di belakangnya? Memeluknya sangat erat dan tak membiarkannya turun dari ranjang. Dengan alasan kakinya akan semakin bengkak. Fherlyn tahu itu hanya omong kosong yang dibesar-besarkan Arsen untuk menyentuhnya dan tetap di sana untuk memanaskan ranjang pria itu. Mau tak mau Fherlyn memasrahkan diri tubuh telanjangnya berada dalam dekapan pria itu. Berusaha memejamkan mata meskipun ia sama sekali tak mengantuk. Karena tenaganya sudah terkuras habis oleh Arsen, sepertinya tak lama lagi ia akan ikut terlelap. Akan tetapi, getaran ringan dari arah nakas mengalihkan rasa kantuk yang mulai muncul dan kekesalan Fherlyn pada Arsen. Tangannya menggapai mengambil ponselnya yang berkelip. Sedikit kesusahan dengan kungkungan kedua tangan dan kaki Arsen yang menyelimuti tubuhnya, Fherlyn berhasil meraih ponsel tersebut sebelum berhenti berdering. “Hallo?” jawabnya dengan suara rendah. “Fherlyn?” “Oh, hai Aldric,” sapa Fherlyn karena tadi tidak sempat menengok caller id yang tertera di layar ponselnya dan hanya memperkirakan letak tombol hijau untuk mengangkat panggilan tersebut. “Bagaimana keadaanmu?” “Hm, baik,” jawab Fherlyn tak nyaman. Ia membatalkan meeting siangnya dengan Aldric dan sekarang malah berbaring telanjang di ranjang Arsen. Menikmati sisa-sisa kenikmatan yang ia capai bersama Arsen. “Apa kakimu sudah membaik?” “Ya.” Fherlyn menggerakkan kakinya. Tak tahu ternyata seks juga bisa menjadi pereda nyeri. Keduanya diam selama beberapa detik. Fherlyn dengan ketidaknyamananya menjawab panggilan Aldric saat ia berada dalam pelukan Arsen. Seolah pria itu berdiri di ujung ranjang dan menatapnya yang sedang berpelukan dalam keadaan telanjang bersama Arsen. Tetapi, apa salahnya ia telanjang di ranjang bersama suaminya sendiri? “Mungkin, besok kita bisa bertemu.” Fherlyn menepis pikiran konyolnya dan berharap tawarannya membuat rasa bersalahnya pada Aldric sedikit berkurang. “Besok? Kau yakin kakimu sudah membaik secepat itu?” “Ya, aku bahkan sudah berjalan ke kamar mandi sendiri.” “Baguslah. Aku lega mendengarnya.” “Kirim pesan padaku untuk tempat dan waktunya. Kupikir kau jauh lebih sibuk dariku. Jadi aku akan menyesuaikan waktuku denganmu.” Aldric tertawa renyah. “Aku tak setuju jika aku lebih sibuk darimu, tapi akan aku lakukan. Semoga kau menyukai tempatnya.” “Hm, baiklah.” “Okey. Aku akan segera menghubungimu setelah mendapatkan tempat yang bagus.” Fherlyn mengangguk. “Ya.” “Kalau begitu sampai jumpa besok siang.” “Ya.” “Siapa?” Suara serak khas bangun tidur dari arah belakang mengagetkan Fherlyn. Fherlyn menoleh ke belakang dan menekan tombol merah di layar ponselnya. Melihat Arsen yang sudah membuka mata lebar-lebar dan melemparkan pertanyaan singkat dengan nada dingin. “Hanya urusan pekerjaan.” Fherlyn meletakkan ponselnya kembali di nakas. Mengambil kesempatan tersebut untuk mengurai pelukan Arsen dan bangkit terduduk. Menarik selimut menutupi dadanya. “Aldric?” Mata Arsen menyipit curiga. Mengangkat tubuh bagian atasnya dan bersandar dengan siku tangan kirinya menghadap Fherlyn. “Kau terlalu sering menghubunginya untuk ukuran pekerjaan. Yang kebanyakan membahas masalah pribadi.” Fherlyn menghela napas jengah. Menarik selimut lebih tinggi menutupi dadanya mengekspresikan kekesalannya pada komentar Arsen mengenai dirinya dan Aldric. Tetapi tarikannya tersebut malah membuat kulit perut Arsen yang berpetak menampakkan keseksiannya, yang berkilau oleh sisa-sisa keringat pria itu. Bercampur dengan keringatnya. Kenapa seorang pria bisa memiliki badan seindah itu? Cemooh Fherlyn dengan kesal. Berusaha keras mengalihkan pandangannya dari sana sebelum Arsen memergoki kemesumannya sendiri. “Ya, aku mengenalnya secara personal dan kebetulan kami bertemu karena urusan pekerjaan. Jadi kami tak punya batasan untuk mengobrolkan sesuatu, kan? Aku pun tak pernah keberatan dengan obrolanmu dengan siapa pun itu di telepon ataupun secara langsung.” “Tapi aku keberatan kau bercanda dengan pria lain saat berada di ranjangku dan saat telanjang bersamaku. Aku tak suka meniduri wanita yang tengah memikirkan pria lain sementara dia mendesah karena sentuhanku.” Fherlyn membelalak gelagapan ketika Arsen mengucapkan kata-kata vulgar yang memalukan itu. Mendesah? “Kau ... kau tak perlu mengucapkannya secara gamblang seperti itu, Arsen!” sergahnya menahan rasa malu yang memerahkan pipinya. Arsen menyeringai. “Itu kenyataan,” timpalnya kemudian. Aarrggghhh .... Fherlyn berharap terkena serangan jantung di masa muda dan tak sadarkan diri daripada harus mengakui hal itu. Ia melemparkan selimutnya ke wajah Arsen. Lalu melompat turun dari ranjang. Tetapi sebelum kakinya menyentuh lantai, Arsen menangkap pinggangnya dan kembali membaringkan tubuhnya ke kasur. Menindih tubuhnya dengan tubuh kekar, kokoh, dan telanjang Arsen. “Ronde kedua?”   ***   ‘Siapa?’ Aldric membeku. Ketika telinganya menangkap suara serak maskulin di detik-detik terakhir ia mengakhiri telponnya dengan Fherlyn. Itu jelas suara pria, ia tak salah dengar. Suara Arsenkah? Telapak tangannya terkepal keras mencengkeram ponsel dalam genggamannya. Mungkin Alsya benar, ia harus sedikit memiliki keberanian untuk mendapatkan apa yang diinginkan hatinya. Sebelum kesempatan ini berlalu begitu saja dan ia kehilangan Fherlyn untuk kedua kalinya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN