Part 7

1146 Kata
“Apa dia laki-laki?” Fania Sagara tampak antusias dengan kabar pernikahan mendadak cucunya, Fherlyn. Seakan belum cukup kejutan itu membuat senyum di wajah tua yang masih tampak cantik itu, kabar mengenai anak Fherlyn yang tersembunyi membuatnya hampir melompat kegirangan di tubuh rentanya. “Atau perempuan?” Hana Ellard yang duduk di sebelahnya pun menyahut tak kalah antusiasnya. “Siapa namanya?” tanya Fania lagi. “Maaa!!!!” Keydo dan Finar memanggil bersamaan. Menyesalkan memberitahu kabar bahagia itu segera setelah Fherlyn memutuskan pilihan tadi sore. Mamanya dan mertuanya langsung mengunjungi rumah mereka sore itu juga. Bersama dua koper besar masing-masing karena ingin tinggal di rumahnya sampai menjelang pernikahan. Bersikap begotu heboh seolah ini adalah kabar bahagia yang telah ditunggu-tunggu puluhan tahun lamanya dan patut dirayakan tujuh hari tujuh malam. “Di mana Fherlyn? Setidaknya mama ingin tahu nama dan fotonya.” Hana mengedarkan pandangan di sekitar ruang keluarga yang luas, mencari sosok cucunya di sejak ia dan Fania datang belum muncul juga. Baru seminggu yang lalu ia bertemu dengan Fherlyn dan menjodohkan cucunya dengan cucu dari temannya, yang ditolak secara halus. Ternyata karena Fherlyn ingin memberinya kejutan heboh ini. “Ini bukan saat yang tepat menanyakan hal itu, Ma,” jelas Keydo dengan kesabaran menahan rasa jengkelnya pada kedua wanita berumur yang masih begitu lincah bangkit dari duduk dan dengan kompak hendak menuju kamar Fherlyn di lantai dua. “Tenanglah, Keydo. Terlalu sering marah dan bersikap serius hanya akan membuatmu semakin tua. Biasanya kecepatan itu akan bertambah setelah kau memiliki cucu,” timpal Fania. “Keydo tidak setua itu, Ma,” ketus Keydo. Merasa tak berdaya dengan ejekan mamanya. Jika sudah seperti ini, acara keluarga yang diinginkan Fherlyn otomatis tak akan terjadi. Karena acara keluarga bagi Fania Sagara dan Hana Ellard itu termasuk mengundang teman atau kenalan sepupu-sepupu jauh yang bahkan belum pernah ia ataupun Fherlyn temui. “Biarkan mama dan Hana yang akan mengurus semua keperluan pernikahan Fherlyn. Kau dan Finar hanya perlu duduk manis sampai hari pernikahan. Undangan, konsep, cincin, catering dan lain-lainnya akan menjadi urusan kami berdua. Benar, kan, Hana?” Fania meminta dukungan Hana, yang pasti tak akan pernah ditolak oleh Keydo. “Tapi, Ma.” “Sshhh ...” Hana meletakkan telunjuknya di bibir. “Kau masih bisa melakukannya untuk cucumu nanti. Kami sudah tua, jadi ...” Keydo mendesah keras memotong kalimat mamanya. “Lakukanlah yang kalian inginkan,” ujarnya menyerah. Ia tak sanggup mendengarkan kata selanjutnya yang akan diucapkan oleh mamanya itu. “Ya, memang kami akan melakukannya,” putus Fania sambil berlalu pergi. Keydo masih bisa mendengar tentang Fania yang meminta pendapat Hana untuk meminta desainer kondang yang baru-baru ini bercerai karena suaminya berselingkuh. Memutar matanya dengan jengah. Sempat-sempatnya mereka bergosip. “Kemana mama?” tanya Finar yang baru saja muncul dari arah dapur dengan nampan berisi dua gelas jus jeruk dan potongan buah-buah di piring. Keydo melirik arah tangga yang menuju lantai dua. “Lihatlah siapa yang memberi ide untuk memberitahu mereka?” sindir Keydo. Mengambil piring berisi potongan buah-buahan dari nampan sebelum Finar sempat meletakkannya di meja. “Lalu, apa kau juga ingin menyembunyikan pernikahan anak kita dari orang tua kita?” Finar meletakkan nampan di meja dan mengambil tempat duduk samping Keydo. Berdecak ketika melihat Keydo membungkuk ke arah meja untuk menyisihkan potongan apel ke nampan dan mulai menyantap isi piring. “Kau benar-benar pemilih, ya?” “Aku alergi buah itu, Finar. Kau tahu, kan?” Bahkan untuk mengucapkan namanya saja membuat tubuh Keydo seperti merinding. Tindakan apa pun yang dilakukan Finar untuk mengakrabkan dirinya dan buah itu tak pernah berhasil sekali pun. Mungkin karena Finar yang tak ahli dengan urusan dapur, tapi ia lebih memilih melahap makanan tak berbentuk yang disajikan oleh Finar –kecuali olahan yang berbahan apel- ketimbang makan makanan di restoran bintang lima. “Tidak menyukai sesuatu bukan berarti alergi, Keydo.” “Aku ... memiliki trauma tersendiri dengan buah itu.” Sepertinya itu kata yang paling tepat. “Dan aku bertanya-tanya, kenapa kedua anakku tidak memiliki trauma yang sama pada buah itu. Kau tahu aku mengalami trauma ini karena mereka berdua, kan?” Finar tertawa kecil. “Mungkin ... itu karma.”   ***   Arsen membalas tawa ceria balita yang sedang duduk di kursi makan bayi yang baru dibelinya tadi siang. Tangannya terjulur membersihkan butiran nasi yang menempel di sudut bibir mungil itu. Adara Gavrilla Mahendra. Putri kecil miliknya yang seketika merampas seluruh hatinya saat pertama kali mereka bertatap muka. Sama seperti yang dilakukan ibu anak ini. Di sana, di wajah mungil replika dirinya, sama sekali tidak ada bentuk fisik Fherlyn yang menurun pada anaknya. Tetapi ia bisa melihat dengan jelas wajah Fherlyn di sana. Melihat cinta begitu besar yang diberikan Fherlyn untuknya. Ck, wanita itu terlalu ekspresif. Membuat Arsen sulit untuk abai dan mengusir pemikiran tentang Fherlyn begitu saja. “Mana mama?” Suara tanya khas anak-anak membuat hati Arsen berdesir, meski ada sedikit keresahan saat mencari jawaban dari pertanyaan tersebut. “Mama?” Arsen mengerutkan kening sedikit, masih berpikir keras dan berusaha tak terlihat seperti memaksa mencari jawaban. “Apa kauingin bicara dengan mama?” Adara mengangguk antusias dengan senyum lebar memenuhi wajah. “Habiskan makananmu dan kita akan menelpon mama.” Dengan bersemangat, Adara menyuapkan sisa makanannya yang tinggal setengah. Meski dengan cara yang berantakan dan membuat butiran-butiran nasi serta lauknya terjatuh di meja makan. “Bawa dia ke kamarku setelah selesai,” perintahnya pada pengasuh baru Adara. Beruntung, Adara adalah anak yang cepat akrab dengan orang baru. Saat ia tiba-tiba datang menjemput anak itu dan memperkenalkan diri sebagai seorang papa, Adara menyambut dengan sukacita meski terlihat sedikit ketakutan. Dan ketakutan itu tak berbekas setelah ia menunjukkan gambar-gambar dirinya dan Fherlyn. Mendekati anak itu dengan kelembutan dan kehangatan yang muncul begitu saja. Mungkin itu adalah naluri seorang ayah yang baru muncul ketika mengetahui bahwa kini dirinya benar-benar seorang ayah dari seorang anak mungil yang memiliki senyum menawan ini. Bagaimana pun, hubungan darah tak akan pernah begitu saja terlupakan. Ikatan batin yang mereka berdua rasakan tak pernah berbohong meskipun anak itu masih belum bisa memanggilnya dengan sebutan papa. Adara pasti begitu merindukan sosok seorang ayah sebagai pelindung untuk merasa aman. Namun, sepertinya Arsen tak perlu menelpon Fherlyn untuk menepati janji yang tak sengaja dibuatnya pada Adara. Tadi ia kebingungan mencarikan jawaban yang tepat, dan membiarkan Fherlyn mengambil alih adalah pilihan yang aman. Arsen belum mengenal dengan baik Adara. Pertanyaan ringan anak itu saja sudah membuat kepalanya berpikir keras. Takut jika sedikit saja ia melakukan kesalahan, Adara akan ketakutan dan memposisikan dirinya sebagai pembohong di hidup anak itu. Membiarkan layar ponselnya berkedip selama beberapa saat dan menikmati nama Fherlyn sebagai penelepon tertera di sana. Getaran itu berhenti selama beberapa detik, lalu kembali muncul nama Fherlyn tepat ketika ia membuka pintu kamar mandi. Arsen meletakkan ponselnya di pinggiran wastafel. Membuka seluruh pakaiannya sambil berjalan ke bilik kaca dan menyalakan shower. Membiarkan air shower mengguyur tubuhnya yang berkeringat. Matanya tak berpaling dari kedipan di layar ponselnya. Menikmati pemandangan itu dari jauh. Sepuluh menit kemudian, Arsen menggeser pintu kaca tersebut dan meraih handuk untuk dililitkan di pinggang sambil melangkah mendekati wastafel. Menatap layar ponselnya yang masih tak berhenti berkedip. Dengan seringai tipis tersungging di bibir, Arsen meraih ponsel tersebut dan menggeser tombol hijau sebelum menempelkannya di telinga. “Kau benar-benar tak menyerah, ya?” decak Arsen sebagai salam pembuka. “Kau sengaja mengabaikanku.” Arsen terkekeh. “Aku hanya suka melihat ponselku berkedip. Memperlihatkan padaku bagaimana putus asanya dirimu dan lagi-lagi hanya akulah yang akan kaumintai pertolongan.” Tak ada jawaban dari seberang. “Benar, kan, sayang?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN