Part 14

1489 Kata
  “Sshhh ... Semua baik-baik saja, Fherlyn. Arsen tidak membatalkan pernikahan kalian. Okey? Kau hanya terlalu panik dan gugup karena ini hari pernikahanmu. Itu hal yang normal. Semua orang mengalaminya. Termasuk mama, dan kau.” Finar mengurai pelukan putrinya. “Tenangkan dirimu.” Tangan Fherlyn terangkat hendak menyentuh basah di sudut matanya. Tapi tangannya ditahan oleh mamanya. “Kau merusak riasanmu.” Finar meraih beberapa lembar tidur di meja rias dan menyeka tetesan air mata Fherlyn yang mulai berjatuhan dengan sangat hati-hati. “Tarik napas dalam-dalam. Hembuskan.” Fherlyn mengikuti perintah mamanya. Menyerah di usaha pertamanya yang gagal. Putus asa, patah hati, dan menyerah menjadi satu menghantui di atas kepalanya. Kali ini ia yakin Arsen mengabaikan panggilannya bukan untuk menikmati keputus-asaannya. Pria itu ingin membalas perbuatannya empat tahun yang lalu. Kegelisahan di d**a Fherlyn semakin berapi-api menggerogoti hatinya yang semakin melemah. Tangisan Fherlyn mengencang, ia kembali tenggelam dalam pelukan mamanya. “Arsen ingin menghukum Fherlyn karena perbuatan Fherlyn empat tahun yang lalu, Ma. Dia akan merebut Adara dari Fherlyn.” “Sshhh ...” Finar menghela napas panjang dan tak berhenti mengelus punggung putrinya agar tangisan tersebut mereda. Yang tampaknya akan mereda dengan sendirinya. Lalu, suara ketukan dan decitan pintu menginterupsi tangisan Fherlyn, membuat Finar menoleh ke arah pintu. “Ada apa, Darren?” Finar berhenti mengelus punggung Fherlyn. “Pengantin pria sudah datang. Papa menyuruh Darren untuk membawa Fherlyn ke bawah.” Seketika tangisan Fherlyn terhenti. Mengurai pelukannya dan terbengong menatap Darren yang mengenakan jas resmi gelapnya di dekat pintu. Memberitahu kabar tersebut dengan santai. “Aa ... apa kaubilang?” Fherlyn tergagap karena tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pengantin pria sudah datang? Arsen sudah datang? Pria itu benar-benar datang? “Calon suamimu, Arsen Mahendra sudah datang.” Darren mengucapkan kata-katanya dengan pelan dan sedetail mungkin. “Masuk ke rumah dengan begitu santai tanpa peduli pada para tamu yang menunggunya dengan gelisah. Nenek menyebarkan gosip bahwa calon suamimu mengalami kecelakaan dan tak berhenti membuat semua orang panik.” Arsen menggerutu panjang lebar. “Hanya papa yang tampak sangat tenang dan terkesan tak peduli dia datang atau tidak. Aku bahkan berpikir papa lebih senang jika pernikahan ini tak pernah terjadi.” “Diamlah, Darren,” sergah Finar penuh peringatan. “Kau tak tahu apa yang kaukatakan.” Fherlyn yang masih tercengang, berdiri kaku di antara kakinya. Pandangannya kosong terarah ke Darren. “Duduklah.” Finar menarik lengan Fherlyn dan memaksa wanita itu dudukdi kursi rias kembali. “Mama akan memperbaiki riasan matamu sebentar.” “Papa juga berpesan tak perlu terburu-buru,” tukas Darren sambil melangkah masuk mendekati kakak dan mamanya. Kedua tangannya terselip di saku celana dan berjalan sangat santai. “Jadi, dapatkan waktumu sebanyak mungkin, Fherlyn. Kau harus membalas perbuatannya.” “Darren!” peringat Finar dengan kedua tangan dan pandangannya yang sibuk bergantian pada alat make up di tangan dan riasan di mata Fherlyn. Tak sampai dua menit, ketiganya berjalan keluar. Langkah Finar yang setengah menyeret Fherlyn dan di belakangnya Darren melangkah dengan santai. “Ma,” panggil Fherlyn yang merasa kewalahan mengikuti langkah mamanya dengan gaun sebesar itu. Finar berhenti dan menoleh ke belakang. Mendesah keras melihat Darren yang berjalan di belakang Fherlyn tanpa memedulikan ketergesaannya. “Darren, bantu kakakmu memegang gaunnya.” “Dia perlu pemanasan untuk berjalan melintasi karpet merah tanpa bantuan siapa pun, Ma,” jawab Darren singkat. Fherlyn hendak melempar sesuatu ke arah Darren, tapi niatnya tertahan karena hanya buket bunga yang ada dalam genggamannya. “Fherlyn baik-baik saja, Ma. Hanya perlu berjalan lebih lambat.” “See?” Darren mengangkat kedua bahunya. “Kenapa dengan dasimu?” Pelototan Finar semakin melebar ketika menyadari dasi kupu-kupu Darren menggantung terurai di antara kerah tuxedo. Darren menunduk sejenak. “Sebenarnya Darren sedang mencari mama untuk membantu mengikat dasi saat papa menyuruh Darren ke kamar Fherlyn,” jelasnya. “Benar-benar kau,” omel Finar sambil melepas gandengannya di lengan Fherlyn dan berjalan mendekati Darren. “Sampai kapan kau akan menyuruh mama mengikat dasimu di acara penting seperti hari ini. Itulah sebabnya mama menyuruhmu untuk segera membawa ...” “Maaa,” rengek Darren. “Fherlyn pun tak pandai mengikat dasi hingga di detik dia menikah. Aku yakin “Lagi lagi dan lagi kau selalu membantah mama.” Cengiran lebar tertarik di bibir Darren. “Fherlyn, kau pergilah dulu.” Fherlyn mengangguk. Berjalan mendahului mamanya dan Darren. Setelah menuruni anak tangga dan hendak berbelok untuk melintasi koridor menuju halaman belakang ketika tubuhnya hampir terhuyung ke belakang karena sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Fherlyn terperangah menemukan bahwa sosok yang baru saja keluar dari kamar mandi tamu itu adalah Arsen. “Kenapa terkejut melihatku?” sapa Arsen datar sambil sibuk mengelapkan tisu di telapak tangannya yang basah. “Kau ... benar-benar datang,” lirih Fherlyn. “Kenapa? Kaupikir aku akan melarikan diri seperti yang kaulakukan padaku?” Arsen membuang tisu kotor di tangannya ke tempat sampah yang terletak di sudut kamar mandi yang masih terbuka. Lalu mengeluarkan sarung tangan berwarna putih dari saku celana dan mulai memakainya. “Kau sepenuhnya mengabaikan panggilanku.” Fherlyn mengingatkan. “Aku sibuk dengan pekerjaanku, dan lebih sibuk menemani putriku. Lagi pula, tak ada pembicaraan penting yang perlu kita bahas lagi, kan.” Fherlyn tak menjawab. “Setidaknya itulah yang membedakan aku denganmu, Fherlyn. Aku tak pernah menghindari masalahku.” “Kau menghindari panggilanku.” “Aku mengabaikanmu,” tandas Arsen. “Bukan menghindar.” Fherlyn tak menjawab. Wajahnya memucat tapi ia cepat menguasai dirinya dengan baik. Tak perlu sindiran setajam itu untuk menunjukkan bahwa pria itu adalah seorang yang bertanggung jawab. Satu-satunya hal yang membuat hatinya lega sekaligus memberinya rasa sakit. Dan ia menyesal karena tanggung jawab yang pernah pria itu berikan untuknya, sekarang digantikan dengan sebuah pengabaian. Dan itu memberinya rasa sakit yang lebih. “Kupikir ini adalah acara keluarga. Karena sepertinya kau tak menginginkan pernikahan kita dipublikakan.” Tahu kata-katanya mengena di hati Fherlyn, Arsen pun mengganti topik pembicaraan. Kepalanya terangkat melihat pintu ganda di ujung lorong yang menampilkan keramaian pesta yang bahkan belum dimulai. Ia tak tahu ternyata keluarga Fherlyn sebanyak itu. “Ini memang acara keluarga. Kedua nenekku tak ingin dibantah untuk mengatur semua detail pernikahan ini.” Arsen mendengus. “Keluarga yang harmonis.” “Di mana Adara sekarang?” “Sepertinya aku benar dengan tak membawanya kemari. Aku tak ingin membuatnya kebingungan karena keluarga besarmu yang tiba-tiba memperkenalkan diri.” “Dia berhak tahu semua keluarganya.” “Katakan itu pada dirimu sendiri, Fherlyn.” Tatapan Arsen tiba-tiba menangkap sesuatu di wajah Fherlyn. Kakinya maju satu langkah mendekati Fherlyn dan tangannya terangkat memegang dagu Fherlyn. Mendekatkan tatapannya pada wajah Fherlyn dan memeriksa jejak basah yang tersamar di sekitar bulu mata Fherlyn. “Apa kau menangis?” Fherlyn menepis tangan Arsen dan berpaling. Seringai di bibir Arsen naik lebih tinggi. “Jangan bilang kau menangis karena mengira aku tidak datang.” “Tidak. Aku ... aku hanya terharu melihat mama menangis karena putrinya akan menikah.” Arsen mengangguk-angguk paham meski gurat mencemooh masih tergaris di wajahnya. “Usaha yang bagus,” komentarnya. Berbohong sama sekali bukan keahlian Fherlyn, dan sepertinya keahlian itu masih tak dimiliki oleh Fherlyn sampai sekarang. “Kau tidak percaya?” Arsen hanya mengangkat bahu. “Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara Hana Ellard muncul dari ujung lorong dengan gaun pinkcherrynya yang jatuh ke lantai. Berjalan tergesan dan menempatkan diri di antara Arsen dan Fherlyn. “Kalian bisa bisa bermesraan sepuas kalian setelah pendeta mengesahkan pernikahan. Kau Arsen, cepat pergi ke altar. Semua tamu tak sabar ingin melihat pengantin pria. Dan Fherlyn, papamu sudah menunggu untuk menuntunmu. Pernikahan akan segera dimulai.” Arsen tersenyum ramah pada Hana lalu berpaling meninggalkan Fherlyn dan Hana. “Lihatlah cucu oma yang cantik. Akhirnya oma bisa melihatmu di hari spesialmu.” Hana menangkup wajah Fherlyn. Matanya berkaca, sehingga ia mengerjapkan matanya berkali-kali agar tak merusak riasan matanya. “Cucu oma terlihat menakjubkan. Oma ingin menangis.” “Terima kasih, Oma.” Fherlyn memeluk Hana. “Oma membuat Fherlyn ingin menangis.” “Oh, tidak. Cucu oma tidak boleh menangis di hari specialnya atau fotomu akan terlihat jelek untuk ditunjukkan pada anak dan cucumu nanti.” Hana menghela napas panjang, menghentikan laju air mata yang hendak tumpah karena rasa haru. “Ayo. Oma akan mengantarmu ke papamu.”   ***   Menit-menit menegangkan itu akhirnya berlalu. Sumpah pernikahan sudah  di ucapkan dengan suasana khidmat. Lalu saling tukar cincin dan pendeta meresmikan pernikahan mereka. Mengijinkan mempelai pria untuk mencium mempelai wanita. Arsen meraih pinggang Fherlyn dan merapatkannya pada tubuhnya. Tubuhnya sedikit membungkuk ketika memiringkan wajahnya dan menarik tubuh Fherlyn sedikit memutar untuk memunggungi para tamu. Kemudian menempelkan bibirnya di bibir Fherlyn. Gelenyar aneh merayapi seluruh tubuh Fherlyn ketika bibir Arsen melumat bibirnya. Hanya satu lumatan kemudian Arsen berhenti. Mata pria itu yang terbuka mengunci tatapannya dan terasa menusuk tajam. “Sepertinya itu cukup untuk dijadikan syarat pengesahan dalam pernikahan kita,” bisik Arsen tanpa melepaskan tautan bibirnya di bibir Fherlyn. “Kauingin lebih atau  berhenti di sini. Aku sama sekali tak masalah dengan keduanya.” Fherlyn tercengang. Arsen sengaja memutar tubuhnya untuk memunggungi para tamu demi menutupi sikap berengsek pria itu di hadapan keluarga besarnya. Merasa dirinya benar-benar tak memiliki arti di mata Arsen. Kemarahan merangkak naik ke ubun-ubunnya, ia pun mendorong d**a Arsen dan menjauhkan wajah mereka. Arsen menyeringai ketika menahan rontaan ringan Fherlyn. Bibirnya mendekati telinga wanita itu dan berbisik mengancam. “Kita sudah menikah. Tak ada jalan lain bagimu untuk lepas dari genggamanku, meski terpikir olehmu untuk berteriak minta tolong pada keluarga besarmu. Jadi pasang senyummu lebar-lebar dan buat mereka berpikir bahwa ini adalah hari paling membahagiakan seumur hidupmu.” Seketika rontaan Fherlyn terhenti. Menyadari tatapan-tatapan seluruh keluarga besarnya yang seakan menelanjangi punggungnya. Ia tak punya pilihan. Hidupnya dan Adara saat ini berada dalam genggaman Arsen. “Manis sekali,” puji Arsen yang menyadari kepasrahan Fherlyn. Tangan kirinya yang memegang pinggang Fherlyn mengarahkan tubuh wanita itu untuk menghadap para tamu undangan yang bertepuk tangan riuh untuk mereka. Lalu menerima ucapan selamat dari mereka. Akhirnya,  Fherlyn Ellard Mahendra benar-benar menjadi milikku, batin Arsen dalam hati. Dan aku tak akan membiarkanmu lolos dari genggamanku sekali lagi.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN