Labibah menaiki anak tangga dengan tergesa. Baru saja dia menyelesaikan urusan dapurnya, dan menata masakannya di atas meja makan, menghidangkannya dengan cantik, dan semua masakan itu terlihat menggugah selera bagi siapa saja yang melihatnya. Memang kenyataannya masakan Labibah sangat lezat, dan semua orang di rumah Labibah juga suka dengan masakan Labibah. Namun, mendengar suara bariton suaminya yang teriak memanggilnya, dia langsung berlari terbirit-b***t menaiki anak tangga untuk menemui suaminya, sebelum suaminya naik pitam.
Labibah terengah-engah setelah menaiki puluhan anak tangga untuk menemui suaminya yang sedang duduk santai sambil menikmati kopi di siang hari.
“Di panggil dari tadi gak datang-datang! Dengar gak sih!” bentak Fauzan.
“Haahhh .... Mas ... mas ... kek gak tahu saja jarak dari dapur ke sini itu lumayan jauh. Butuh lari dulu dong, mas? Ada apa sih? Huuuhhh ... gak tahu napasku mau copot apa?” jawab Labibah.
“Kalau dipanggil itu langsung muncul! Jangan kelamaan! Lagian ngapain sih lama-lama di dapur?! Ambilkan aku baju yang pantas untuk ku pakai menemui temanku! Dia sedang diperjalanan ke sini! Kamu juga pakai baju yang pantas untuk menemuinya!” ucapnya dengan nada tinggi.
“Bisa enggak sih gak usah ngebentak gitu?!” ucapnya dengan lirih.
Namun, Fauzan masih mendengar ucapan Labibah. Dengan cepat Fauzan menarik pergelangan tangan Labibah dengan kasar, sehingga tubuh Labibah terhuyung ke tubuh Fauzan.
“Tadi kamu bilang apa?!” tanya Fauzan dengan mencengkeram pipi Labibah dengan tangannya.
“Sa—sakit, Mas!” pekik Labibah lirih.
“Tadi bilang apa?!” hardik Fauzan. “Dengar Labibah, mungkin kamu mengenal aku dulu, aku sosok yang lembut, dan tidak pernah menyakiti wanita. Tapi, jangan harap aku bisa bersikap lembut pada wanita seperti kamu! Yang tega membiarkan sahabatnya pergi, dan meminta dijodohkan dengan tunangan sahabatnya! Aku tidak akan berkata lembut dengan kamu, sebelum kamu menemukan Syafira! Camkan itu, Bibah!” ucap Fauzan, lalu mendorong tubuh Labibah dengan kasar hingga tersungkur ke lantai.
Labibah bangkit dari jatuhnya dengan sekuat tenaga. Air matanya luruh seketika setalah mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya. Dia tidak menyangka suaminya yang dulu ia kenal sebagai sosok yang sopan, lemah lembut, dan penyayang, sekarang dia merasakan bagaimana bengisnya seorang Fauzan saat ini.
Labibah masuk ke dalam kamarnya, baru sehari menikah dia sudah mendapat kekerasan dari suaminya. Labibah tidak pernah menyangka Fauzan akan sekejam itu padanya. Labibah menyeka air matanya, lalu dia mencuci wajahnya supaya tidak kelihatan sembab pada kelopak matanya.
“Ini baru sehari. Apa yang akan terjadi jika sampai aku hamil, dan akan terus hidup dengan Fauzan bertahun-tahun? Yang ada aku bisa gila karena batin ini terguncang. Apa aku bilang saja sebenarnya soal Syafira? Kalau dia sekarang sudah menikah dan hidup bahagia berasama suami dan anaknya? Ah, biarlah, aku tidak ingin membuat dia marah lagi. Percuma saja sepertinya kalau aku menceritakan sebenarnya yang terjadi pada Syafira kalau dia tidak melihatnya sendiri. Kalau aku cerita semuanya, yang ada aku malah dituduh menjelek-jelekan Syafira?” gumam Labibah.
Labibah mengambilkan satu stel baju untuk suaminya. Setelah itu, karena merasa tubuhnya bau wangi khas dapur, akhirnya dia bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan.
Selesai itu, Labibah langsung memakai baju dengan warna yang senada dengan warna baju Fauzan yang diambilkannya tadi. Labibah memoles make up tipis di wajahnya supaya terlihat lebih fresh, dan sembab di matanya juga tidak terlihat. Labibah tahu ini setelah ini bakal ada penyiksaan lagi dari Fauzan.
“Apa nanti sikap Fauzan di depan temannyan akan baik padaku? Atau menganggap aku ini sebagai pembantu? Tapi, kalau menganggap aku sebagai pembantu, ngapain dia menyuruh aku memakai baju yang bagus? Ah jangan kegeeran dulu, Bibah. Sekarang fokus dengan mental kamu, kamu harus sehat mental, fisik, dan lainnya untuk menghadapi Fauzan, dan kamu juga harus cari waktu untuk mengatakan yang sebenarnya terjadi pada Syafira,” gumam Labibah.
Pintu kamar terbuka, menampakkan Fauzan yang masuk dengan raut bengis masih tercetak sempurna di wajah Fauzan. Fauzan mendekati Labibah yang sedang memakai jilbabnya. Dia berdiri di belakang Labibah lalu menyentuh kedua bahunya. Tidak hanya menyentuhnya, sentuhannya itu semakin berat dan sakit, karena Fuzan mencengkeram keras kedua bahu Labibah.
“Sakit, Mas!” Labibah berani menepiskan tangan Fauzan.
“Kamu mau apa dandan cantik seperti itu? Pakai make-up segala!” tanya Fauzan.
“Katanya tamu yang akan datang tamu istimewa? Apa kamu mau istrimu ini terlihat kotor, dekil, bau, dan tidak terawat?” jawab Labibah.
“Iya, harusnya gitu!” jawab Fauzan.
“Baiklah, sepertinya ada laki-laki yang ingin dicemooh temannya, karena tidak pandai merawat istrinya. Pamormu akan turun, Mas?! Idih ... Fauzan, kaya raya pemilik beberapa hotel mewah dan berbintang, kok istrinya enggak keurus! Istrinya jelek, istrinya kok seperti itu? Mau pamor kamu turun? Terus tiba-tiba ada berita gini, seorang pengusaha muda yang sukses, yang baru saja menikah, membuat istrinya sengsara, menjadikan istrinya Asisten rumah tangga yang dekil! Mau gitu?” Bukannya takut, tapi Labibah mengejek suaminya.
Ejekkan Bibah ternyata mempan. Sejenak Fauzan berpikir soal ucapan istrinya tadi. Benar kata Labibah kalau Labibah terlihat kucel dan tidak terawat, tentunya yang menjadi bahan omongan dirinya, dan yang malu juga dirinya.
“Bagaimana Tuan Fauzan yang terhormat dan tersohor? Apa saya perlu ganti baju pembantu?” tanya Labibah dengan menyunggingkan senyuman sinis di depan Fuzan.
Labibah mengambilkan handuk untuk suaminya, supaya suaminya segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Setelah Fauzan berlalu meninggalkannya ke kamar mandi, Labibah merasa terbebas dari cengkraman Fauzan. Labibah menyungginggkan senyumannya di depan kaca. Dia merasa Fauzan masih memilih pamornya supaya tidak jelek di mata temannya itu.
“Kuat, Bibah. Jangan menangis, jangan mengeluh, semua pasti ada jalan keluarnya. Semua akan indah pada waktunya. Meski nanti indahnya bukan hidup dengan Fauzan,” gumam Labibah.
^^^
Tamu yang ditunggu-tunggu Fauzan akhirnya datang juga. Fahri Arrasyid. Sorang Dokter Bedah, pemilik sebuah Rumah Sakit yang baru beberapa tahun didirikan di Kota Pemalang, dan sekarang sedang menembus batas kejayaan, karena pelayanannya yang sangat memuaskan pengunjung dan pasien. Ahli medisnya juga sangat profesional, staf dan karyawan Rumah Sakit pun semuanya sangat ramah dengan pengunjung.
Fauzan mengenal Fahri saat dia SMA, dan kuliah, meski berbeda kota, dia masih sangat akrab, dan masih menjalin komunikasi yang baik sampai sekarang.
“Selamat datang Pak Dokter Tampan ....” Ucap Fauzan menyambut kedatangan sahabatnya ke rumahnya.
“Pengantin baru nih? Selamat, Zan. Akhirnya ... setelah kamu berpikir dan terus berpikir soal menerima perjodohan kemarin, akhirnya kamu bisa menerimanya dengan baik. Sekali lagi selamat,” ucap Fahri dengan menepuk punggung sahabatnya itu.
“Terima kasih kamu sudah mau datang jauh-jauh ke sini, untuk memberikan selamat pada kami. Dan, kenalkan ini istri saya, Labibah namanya.” Fauzan memperkenalkan Fahri pada Labibah.
Melihat Labibah yang menggunakan pakaian syar’i, Fahri hanya mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya sambil membungkukkan dirinya sopan.
“Salam kenal, saya Fahri sahabatnya Fauzan,” ucap Fahri.
Labibah juga mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya lalu membungkuk sopan di depan Fahri. “Saya Labibah, salam kenal juga, Mas,” ucap Labibah dengan sopan.
“Sebentar-sebentar, saya kok enggak asing dengan wajah istrimu, Zan?” tanya Fahri dengan manik matanya tak henti menatap wajah Labibah.
“Ah masa?” jawab Fauzan.
“Ya, sepertinya aku pernah bertemu kamu, tapi di mana? Aku lupa. Ya sudah lupakan itu, karena saya lapar. Kata Fauzan istri tercintanya sudah masak masakan yang sangat lezat. Aku tidak sabar menikmati masakan pengantin baru?” ucap Fahri.
“Mas Fahri bisa saja. Lagian mungkin mas ini salah orang? Ya sudah mari ke ruang makan, saya sudah memasak untuk tamu spesial suamiku. Ya seadaanya, karena saya memasak sendiri,” ucap Labibah.
Fahri duduk tepat di depan Labibah. Fahri langsung jatuh cinta dengan masakan yang menggugah selera makannya, yang sudah di hidangkan oleh Labibah. Dia penasaran sekali bagaimana rasa masakan Labibah. Enak dipandang saja, atau enak dipandang juga enak dinikmati?
“Ayo katanya lapar? Kok masih dilihat saja makanannya?” ucap Fauzan.
“Gila ini, Zan? Kamu gak salah nerima perjodohan kamu, Zan! Ini sih istri kamu benar-benar istri yang top banget lah!” puji Fahri.
“Mas Fahri ini terlalu memuji sekali,” ucap Labibah dengan menunduk malu.
“Lagian, memang istri itu juga harus pandai di dapur dan di sumur, kan? Bukan di kasur saja! Itu kata orang dulu,” ucap Fauzan.
“Tapi, jangan mentang-mentang istri kamu pintar segalanya, kamu jadi memperbudaknya dong, Zan? Jangan mentang-mentang istri kamu bisa masak, bersih-bersih rumah, dan lainnya, lantas kamu gak pakai jasa Asisten Rumah Tangga? Ingat ini rumah segede istana, ya kali istrimu suruh bereskan semuanya? Seharian saja gak bisa bersihin rumah ini langsung! Belum masak dan cuci bajunya? Ditambah setrika?” gurau Fahri.
Fauzan terdiam mendengar ucapan Fahri. Entah menyindir dirinya atau bagaimana Fauzan sendiri pun tidak tahu. Dia tidak mengerti kenapa Fahri bisa bicara seperti itu di depannya dan istrinya.
“Jelas Mas Fauzan ngasih Asisten lah di sini? Ya kali saya harus sendirian membereskan semuanya, Mas? Belum juga kalau aku sudah mulai kerja? Pasti akan kerepotan, dan Mas Fauzan tahu kok, dia katanya sedang menyuruh asisten di rumahnya untuk ke sini,” ucap Labibah.
Seperti mendapat serangan yang bertubi-tubi dari lawannya, Fauzan masih tetap diam dengan diiringi senyuman yang susah diartikan.
“Iya pastilah! Lagian aku bicara seperti itu juga bercanda saja kok? Mana mungkin seorang Fauzan akan membiarkan seorang perempuan dalam hidupnya kerepotan? Tidak mungkinlah?” ucap Fahri.
“Iya makanya kata Mas Fauzan akan memanggil asisten di rumah mama ke sini untuk membantu saya,” ucap Labibah.
“Bagus itu,” ucap Fahri.
Tapi, meski bergurau saja Fauzan sedikit kena mental karena ucapan sahabatanya. Ditambah ucapan Labibah yang seperti sedang melaungkan protesnya secara halus di depan sahabatnya.
“Sudah yuk makan, cicipin masakan istriku, pasti kamu ketagihan?” ucap Fauzan. Padahal dia sama sekali belum merasakan lezatnya masakan Labibah, karena tadi pagi saat sarapan dia memintanya membuatkan roti bakar dan segelas s**u.
“Oke, makanannya sungguh menggugah seleraku untuk langsung menyantapnya, Zan,” ucap Fahri.
Fahri langsung mengambil nasi dan lauknya. Fahri menyantap masakan Labibah, dan sungguh tidak pernah Fahri duga, masakan yang tampilannya sangat cantik dan menggugah selera itu benar-benar membuat lidahnya bergoyang menikmati masakan Labibah yang rasanya sangat lezat. Begitu juga Fauzan, dia juga merasakan nikmatanya masakan istrinya, dan tidak menyangka kalau istrinya juga ternyata jago masak.
“Ini fix, kamu gak nyesel menikahi dia, Zan. Istri idaman sekali ini Zan, masakannya sungguh enak dipandang dan dinikmati,” ucap Fahri.
“Mas Fahri bisa saja,” ucap Labibah.
“Gak dong masa menyesal sih?” ucap Fauzan,
Selesai makan siang, Labibah menemani suaminya mengobrol dengan Fahri di ruang tamu. Dari tadi Labibah merasa Fahri terus mencuri pandang padanya. Mungkin karena Fahri bilang kalau dirinya pernah bertemu dengannya, pernah melihat orang seperti dirinya.
“Oh iya, istrimu kerja di mana, Zan?” tanya Fahri.
“Dia bekerja di rumah sakit, di bagian Farmasi. Dia juga memiliki beberapa apotek dan restoran di sini,” jawab Fauzan. “Oh iya sepertinya Bibah kerja di Rumah Sakit milik keluarga kamu di sini?” imbuh Fauzan.
“Benarkah di RSU Permata Medika?” tanya Fahri.
“Iya, saya bekerja di RSU Permata Medika, di bagian Farmasi. Saya Apoteker di sana,” jawab Labibah.
“Yakin kamu tidak mengenalku? Pantas saja aku sering lihat kamu?” ucap Fahri.
“Lihat saya di rumah sakit?” tanya Labibah penasaran.
“Ya, sudah dua bulan saya ditugaskan papa untuk menjadi direktur rumah sakit baru milik papa di sini. Ya saya menuruti saja,” jawabnya. “Kamu kenal Dokter Fahri?” tanya Fahri.
“Dokter Spesialis Bedah yang masih sangat terkenal dan digandrungi para perawat dan staf lainnya? Siapa yang gak kenal? Tapi, saya belum pernah melihatnya,” jawab Labibah santai.
“Itu saya, dan saya sering melihat kamu di ruangan Farmasi. Ya benar kamu,” ucap Fahri. “Kenapa jarang sekali keluar ruangan?” tanya Fahri.
“Oh, jadi Mas Fahri ini?”
“Iya, saya Direktur baru di rumah sakit tempat di mana kamu bekerja. Papa sudah ingin pensiun mengurus Rumah Sakit, dan hanya ingin mengurus kliniknya saja di rumah,” ucap Fahri.
Tidak pernah Labibah sangka, Dokter Fahri, dokter yang sedang menjadi bahan pembicaraan semua kaum hawa di jagad rumah sakit itu sekarang duduk di hadapannya. Dan, anehnya mungkin dia sendiri yang tidak tertarik ingin melihat ketampanan seorang dr. Fahri.
“Oh, jadi ini rupanya, dokter yang sedang digandrungi oleh kaum hawa seantero Permata Medika? Huh ... ternyata biasa saja. Enggak ada istimewanya. Iya sih tampan, tapi biasa saja sih?” gumam Labibah.
“Ternyata Fauzan menikah dengan gadis pendiam yang ada di ruang farmasi itu, yang selama ini buat aku penasaran dengan bait-bait puisinya yang indah. Tuhan ... kenapa bisa jadi seperti ini?” gumam Fahri.