Naina sedang sarapan dengan Clarisa ketika dering teleponnya berbunyi.
“Siapa?” tanya Clarisa sambil ikut menoleh ke arah layar ponsel milik Naina meski tangan dan mulutnya tetap terampil menyantap pie tinggi protein yang diberi selai buah alpukat dan madu.
“Mommy.”
“Angkat! Angkat cepet!” seru Clarisa antusias.
Padahal yang menelepon adalah Lala. Mommy-nya Naina. Tapi yang tampak semangat malah Clarisa.
Meski begitu Naina tidak pernah marah apalagi cemburu. Ia jelas tahu alasan dibalik Clarisa menyayangi keluarganya, begitupun sebaliknya.
“Mommy! Aku kangen… muach… muach… muach…” seru Clarisa begitu layar memunculkan wajah Lala yang tampak sedang ngemil sambil menggunakan baju kebangsaan ibu rumah tangga favoritnya. Daster batik.
Padahal baru dua hari lalu mereka bertelepon sampai berjam-jam. Namun, rasa bosan seperti enggan singgah acap kali ketiganya melakukan komunikasi.
“Waalaikumsalam,” cibir Lala dengan seraut malas.
Clarisa terkekeh lalu mengulang sapaannya yang lebih baik bersama Naina dan dibalas Lala dengan kalimat hangatnya.
“Waalaikumsalam sayang-sayangnya Mommy. Sarapan apa hari ini?”
Clarisa lantas menunjukkan isi piringnya pada Lala sedang Naina, sambil meletakkan ponsel pada dudukannya agar ia tetap bisa bicara sambil menikmati sarapannya.
“Mommy kok masih pake daster, sih? Nggak jemput trio pulau sama duo bungsu?” omel Naina.
Waktu di Jerman masih pagi pukul tujuh, sedang di Indonesia… tepatnya di Bandung, jam sudah menunjuk angka setengah satu siang.
“Daddy ‘kan ke Malang dari kemarin, Sayang. Adik-adik kamu juga les dulu nanti. Lagian ada Onti Mayang sama supir juga. Mbah ‘kan lagi di sini.”
“Mentang-mentang nggak ada Daddy nggak dandan, ya. Diculik penculik bapak-bapak nanti kejer loh, Mom,” timpal Clarisa ikut mengomeli ibunda dari sahabatnya itu.
“Eh!”
“Hush!” Naina dan Lala kompak mencebik.
“Justru kalau Mommy pake daster begini bahaya. Bisa-bisa Naina punya adik lagi, Risa,” sarkas Lala yang sengaja menggoda anak sulungnya.
Clarisa langsung tergelak sedang Naina memutar bola mata jengah menanggapi ucapan mommynya itu.
“Gimana, Kak? Kamu mau punya adik lagi? Kalau mau, Mommy susulin, nih, Daddy nanti sore.” Lala malah sengaja mengajukan pertanyaan provokatif bernada candaan tersebut pada sang anak.
“Mom, inget umur kenapa?” desis Naina sebal sedang Lala puas tertawa kemudian.
Ya, usia Lala sudah akan menjelang lima puluh tiga tahun. Namun siapa yang akan percaya jika setiap kali tampil dengan outfitnya, Lala malah terlihat seperti ibu-ibu muda di usia tiga puluhan awal.
Dan hal itu lah yang membuat Lala selalu percaya diri di depan semua orang. Termasuk suami dan anak-anaknya.
“Mommy masih menstruasi lancar loh, kak. Mana Daddy kalau nembak tokcer banget.”
“Wuih, Pantes aja Daddy hot banget. Mommy sama Daddy memang top.” Clarisa mengacungkan kedua jempolnya pada Lala.
“Itu mah Mommy aja yang ganjen. Suka nantangin Daddy. Makanya aku sampe punya adek lima.”
Lala dan Clarisa tergelak bersama. Clarisa bahkan sampai memukul-mukul meja makan saking merasa lucunya mendengar obrolan ibu dan anak itu pagi ini.
“Lagian Mommy nih, kalau Daddy dines jauh tuh kintilin aja kenapa, sih?” Clarisa masih heran dengan sikap dari ibu sahabatnya itu.
Ayah Naina yang mana seorang pilot jet tempur angkatan udara dulunya merupakan sosok yang diidamkan banyak wanita di luaran sana.
Namun alih-alih sering memamerkan dan bersikap posesif pada sang suami, Lala juga memilih untuk tidak aktif dalam kegiatan istri-istri prajurit yang menurutnya sangat banyak dan melelahkan. Sehingga sosoknya sering kali tak dikenali banyak rekan Janu. Terutama karena sang suami juga bukan seorang anggota TNI biasa.
Terlahir dari keluarga kaya raya, sebelum menjadi prajurit Janu–sang suami sudah mulai merintis usaha dan bakat pengusahanya sejak masih duduk di bangku sekolah.
Di usianya yang belum genap dua puluh tahun, Janu dan adiknya sudah memiliki puluhan kos-kosan dan aset saham di beberapa perusahaan dalam dan luar negeri.
Karenanya, menjadi abdi negara adalah cita-cita yang menjadi kebanggannya. Bukan sesuatu yang diambisikan untuk mengejar karir meski pada kenyataannya karir Janu juga melesat dengan baik berkat kemampuan intelektual dan pengalamannya selama menjalani dinas.
Karena itu juga Janu tidak pernah memaksa Lala mengikuti kegiatan yang banyak dilakukan istri-istri prajurit pada umumnya.
Janu justru mendukung dan menyerahkan semua kepemilikan aset yang ia miliki untuk dikelola oleh Lala.
Meski untuk melalaui proses itu tanpa halangan, ia harus mengupayakan banyak hal dan menorobos beberapa tradisi yang untungnya dipermudah oleh atasannya sendiri.
Atasan yang kala itu juga adalah paman dari mendiang suami pertama Lala. Ayah kandung dari Naina yang juga seorang dokter di kesatuan angkatan darat.
“Mommy ‘kan nggak pernah aktif giat ibu-ibunya, Risa.”
“Ya tapi ‘kan dampingin Daddy mah nggak apa atuh, Mom,” sangkal Clarisa. “Salah-salah nanti Daddy dikira duda. Anaknya mulu yang dibawa dines. Istrinya malah nggak keliatan.”
“Istrinya sibuk ngurusin kontrakan sama restorannya yang katanya mau buka cabang lagi di Bali coba,” cibir Naina lagi-lagi membuat Lala tertawa renyah.
“Nggak papa dong. Makin kaya sahabat aku ini. Jadi kalau Mommy nggak mau angkat aku jadi anaknya, ‘kan kamu bisa angkat aku jadi sodara.”
Naina berdecih. Padahal dalam kenyataannya kedua orangtua dan keluarganya juga sudah menganggap Clarisa seperti keluarga mereka sendiri.
Lala diam-diam tersenyum melihat kedua gadis kesayangannya itu saling mencebik.
“Kamu udah telepon papi kamu belum?”
Dan pertanyaan Lala itu sukses membuat Clarisa tersentak. Namun tak lama karena gadis itu kembali mencoba untuk tetap ceria.
“w******p-an doang, Mom. Pake voice note. Papi lagi di Hongkong. Katanya urusan bisnis di sana sampai dua minggu,” kilahnya membuat Lala menyadari sesuatu.
Clarisa sepertinya sedang menyembunyikan kekecewaannya lagi pada sang ayah.
Lala pun terlihat mendesah sendu sambil menatap Naina dan Clarisa bergantian.
Kedua gadis itu sama-sama lahir dari keluarga yang berada. Bedanya, nasib Naina lebih beruntung daripada Clarisa.
Keduanya sama-sama kehilangan orang yang mereka cintai bahkan sebelum keduanya sempat mengenal masing-masing dari orang yang dicintainya itu.
Namun Naina sudah memiliki Janu sejak sang ayah meninggalkan dunia ini. Sedang Clarisa, ayah Clarisa tidak menikah lagi setelah ibu Clarisa meninggal.
Namun sayangnya sikap ayah Clarisa pun menjadi kurang perhatian pada gadis itu oleh sebab kematian sang istri yang membuatnya trauma dan begitu kehilangan.
Karenanya, Clarisa dan Naina cenderung memiliki sikap yang berbeda. Meski dari tampak luar kedua gadis itu memiliki banyak kesamaan pisik yang membuat orang di sekitarnya tertarik.
Baik Naina maupun Clarisa termasuk gadis yang ramah dan dermawan. Selain itu keduanya juga memiliki kecantikan dengan khasnya masing-masing.
Naina dengan darah campuran Sunda-Jawa-Belandanya, sementara Clarisa yang juga mewarisi darah Jawa-Ambon-Tionghoanya terbilang tumbuh menjadi gadis yang spesial.
Clarisa juga lebih atraktif dan senang menjadi pusat perhatian, sementara Naina lebih kalem dan tertutup dengan orang baru. Mirip dengan mendiang ayahnya.
Karena itu lah, meski terlahir menjadi anak konglomerat, dalam kesehariannya Naina jarang menggunakan fasilitas yang diberikan keluargannya dengan bebas.
Gadis itu lebih suka hidup dengan caranya. Seperti kisah hidup mendiang sang ayah yang selalu diceritakan Lala dan keluarganya yang lain setelah sang ayah meninggal tepat setelah ia dilahirkan ke dunia ini.
Ayah yang tak pernah bisa ia lihat dan peluk dalam wujud nyatanya, namun selalu hadir dalam mimpi-mimpi dan ingatannya.
Obrolan mereka pun terus berlanjut hingga sarapan yang mereka buat tandas ke dalam perut tepat ketika bel pintu rumah mereka terdegar dipencet berulang kali oleh seseorang.
Naina dan Clarisa saling melempar tatapan dan bertanya dengan bahasa tubuh mereka masing-masing.
“Mas Bear kali,” lirih Clarisa dalam hati.
“Pagi gini?” balas Naina lalu menatap layar ponsel. “Udahan dulu, ya, Mom. Kayaknya ada tamu.”
“Kalian udah punya temen?”
Untungnya mereka mengangguk kompak. Seperti mengerti satu sama lain agar tak membuat Lala cemas di sana.
“Cewek cowok?” desak Lala penasaran.
“Cewek.”
“Cowok.”
Dan jawaban mereka kali ini membuat Lala mengernyit heran.
“Kalian bohong, ya?”
“Nggak!” kompak keduanya lalu saling membatin.
“Memang temennya cewek cowok, Mom. Clarisa kenalannya sama cewek. Namanya Emma. Dia yang nolongin Clarisa waktu di toilet, Mom,” imbuh Clarisa diangguki Naina dengan cepat.
“Terus kalau yang cowok?”
“Itu loh, Mom. Yang Kakak cerita kemarin waktu Clarisa kopernya ketuker. Mahasiswa Indonesia yang lagi studi S2 di sini.”
“Yang namanya Gatot?”
Keduanya mengangguk cepat. Berusaha santai meski jantung mereka mulai tak tenang karena bel pintu terdengar kembali dibunyikan mengingat orang-orang yang mereka ceritakan jelas bukan teman mereka sampai saat ini.
“Udah dulu, ya, Mom? Kasian belum dibukain pintu. Kedinginan nanti jadi manusia salju,” seloroh Clarisa membuat Lala tertawa dan akhirnya terlihat lega setelah mendengar jawaban keduanya.
“Ya udah. Kalian hati-hati, ya, kegiatan hari ininya. Have a good day, sayang-sayangnya Mommy.”
“Love you, Mom.”
“Love you too, Kakak Sayang.”
“Risa juga sayang Mommy Lala dan Daddy Janu.”
“Genit!” cibir Naina sambil mendelik sebal.
“Dih! Cembokur,” ejek Clarisa lalu melambaikan tangan ke kamera dan berlalu setelah Lala memungkasi percakapan mereka dengan ucapan,
“Mommy juga sayang kamu, Risa. Baik-baik, ya, kalian berdua di sana.”
Naina lantas segera mencuci piring dan gelas yang mereka gunakan untuk sarapan setelah membereskan meja makan terlebih dahulu.
Sedang Clarisa yang terus berjalan menghampiri pintu berseru agar tamunya tidak terus memencet bel rumah mereka.
“Ya, tunggu sebentar,” teriaknya lalu menarik gerendel pintu dan memutar handel. “Cari si… kamu?”
Emma berdiri dengan wajah gusar sambil memegangi tali tas selempangnya. Clarisa sendiri hanya berdiri di depan pintu tanpa berniat mempersilakannya masuk.
Kedua tangannya terlipat di d**a. Menunjukkan gestur tak senang sekaligus mengintimidasi lawan bicaranya.
“Mau apa lagi ke sini? Aku sudah bilang bukan kalau kami nggak bisa–“
“Apa Emelie ke sini?” potong Emma ragu.
“Dia saudaramu. Kenapa kamu bertanya padaku?”
“Dia tidak pulang sejak hari itu.”
“Lalu apa hubungannya dengan kami?”
“Aku kira dia ke sini untuk membujuk kalian. Karena hari itu–“
“Siapa, Clarisa?” suara Naina terdengar dari dalam.
Baik Clarisa maupun Emma langsung menoleh ke arah punggung Clarisa. Tak lama Naina muncul dari sana.
“Emma.” Naina menyapanya dengan suara dan bahasa tubuh lebih ramah. “Ada apa datang ke sini?”
“Aku mencari Emelie, Naina. Apa dia datang ke sini?”
Naina menggeleng dengan seraut aneh. “Dia tidak datang ke sini. Memangnya dia tidak bersama kamu?”
Emelie mengangguk. “Dia tidak pulang. Dan aku sudah mencarinya ke mana-mana.” Wajahnya terlihat sendu.
“Tapi Emelie tidak ada di sini. Kami jelas tidak akan menyembunyikannya,” ucap Clarisa datar.
“Kalian bertengkar?” Seperti mengerti, Naina sekarang membuat bola mata Emma mulai memupuk telaga. “Masuk dulu! Ayo bicara di dalam. Di luar dingin.”
“Nai!”
“Dia tamu. Setidaknya dia datang dengan baik-baik Clarisa. Dan di luar dingin.”
Clarisa berdecak. Terpaksa membuka pintu rumah lebih lebar agar Emma bisa masuk.
Naina lantas membuatkan segelas cokelat panas untuk gadis itu. Namun Emma malah menangis setelah meminumnya sedikit.
“Aku membentaknya. Aku kesal karena dia terus memaksaku. Aku pikir dia hanya pergi sebentar. Tapi sampai keesokannya dia belum juga pulang.
“Kutunggu sampai hari ini pun sama. Nihil. Keberadaannya menghilang. Aku tidak tahu dia pergi ke mana. Emelie tidak punya banyak teman. Dan aku juga tidak mungkin bertanya pada teman-temannya.”
“Kenapa?” Naina bertanya sementara Clarisa masih dengan mode diam dan membentengi dirinya agar tidak terpengaruh dengan cerita Emma.
“Emelie gadis lemah. Dia sering dibully oleh teman-temannya. Karena itu kami bertukar sekolah tanpa sepengetahuan orangtua kami selama satu bulan.”
Emma tampak menarik dan menghembuskan napas beratnya sesaat.
“Selama satu bulan itu aku membalas orang-orang yang membullynya. Berharap setelahnya mereka tidak akan berani mengganggunya lagi.
“Tapi usahaku sia-sia. Padahal sejak kecil kami tidak tinggal bersama. Dan seseorang yang mengenali kami membuka rahasia kalau kami anak kembar. Sehingga ketika Emelie kembali ke sekolah, ia malah dibully lebih parah bahkan sampai masuk rumah sakit.”
“Semengerikan itu?”
Emma mengangguk. “Dulu kami tinggal di Perancis karena Ayah bekerja sebagai diploma. Dan setelah kejadian itu ibu membawa kami ke Jerman.”
Naina mendesah pelan. Sementara Clarisa masih dengan mode yang sama. Tak sedikitpun tersentuh dengan cerita Emma meski ia sendiri pernah mengalami hal serupa.
“Kamu punya sesuatu yang menjadi milik Emelie?” Emma menatap Naina bingung. “Seperti benda. Misal bandana kesayangannya atau sepatu?”
“Untuk apa?”
“Mungkin aku bisa membantu dengan mencari keberadaan kembaranmu dengan benda kesayangannya itu,” terang Naina membuat Clarisa sengaja mendengus.
“Ada. Tas ini benda yang Emelie sukai dan sering kugunakan sejak pindah ke tubuhnya.”
Emma menyerahkan tas itu pada Naina. Naina menatapnya sesaat sebelum meletakkan telapak tangannya di atas tas selempang itu dan memejamkan mata.
Kening dan alisnya tampak berkerut-kerut tajam. Tak biasanya Naina seperti itu jika sedang melakukan penerawangan. Dan hal itu membuat Clarisa cemas.
“Hah! Hah! Hah!”
Naina membuka mata sambil tersentak dan membuang napas ngos-ngosan. Seperti orang yang kehabisan napas karena berlari jauh.
“Kenapa?” Emma bertanya lebih dulu.
“Nai, kamu nggak kenapa-kenapa ‘kan?”
Naina menggeleng seraya menenangkan Clarisa yang terlihat panik dan mencemaskannya.
Namun Clarisa yang kesal langsung mengambil tas itu dan memberikanya dengan kasar pada Emma.
“Pulanglah. Temanku jadi tidak baik-baik saja karenamu.”
“Tapi–“
“Emelie ada di perkebunan. Di rumah nenek, kakek dan bibimu.”
“Benarkah?”
Naina mengangguk. “Aku melihat percakapan beberapa orang di dalam rumah kayu yang indah dan dikelilingi taman bunga. Benar?”
“Iya. Itu rumah nenek, kakek dan bibiku tinggal.” Emma langsung bangun dari duduk, mengenakan tas selempangnya lagi dengan seraut berbinar-binar.
“Terima kasih, Naina. Aku janji tidak akan mengganggu kalian lagi.”
Naina mengangguk lalu ia dan Clarisa mengantarnya hingga ke pintu.
Emma tampak berlari tak sabaran ke arah jalan dan menyetop sebuah taksi. Wajahnya kemudian menoleh ke samping kaca begitu masuk ke dalam mobil.
Tangannya melambai riang ke arah Naina dan Clarisa yang masih berdiri di depan pintu.
“Nai!”
“Aku nggak papa, Clarisa.”
“Ini yang terakhir kali. Kalau kamu kayak gini terus, aku nggak mau ngomong sama kamu lagi.”
“Clarisa.”
“Hantu kok kabur. Kenapa nggak sekalian aja pergi ke alam baka? Nyusahin aja. Ah tapi semua hantu yang kita pernah temuin ‘kan memang nyusahin. Bahkan sampai bikin kamu sakit,” desisnya tajam.
Clarisa lantas masuk lebih dulu, meninggalkan Naina yang kemudian memilih duduk di tempatnya tadi.
Wajahnya tampak berpikir keras. Ada sesuatu yang sebetulnya ingin ia utarakan setelah melakukan penerawangannya untuk mencari keberadaan Emelie.
Namun, Clarisa yang sedang marah membuat Naina memilih diam dan memberikan sahabatanya itu waktu untuk menenangkan diri.
Selagi itu, Naina lantas menghubungi Bernand untuk menanyakan sesuatu.
“Bisa kamu carikan saya nomer teleponnya?”
“Untuk apa kalau saya boleh tahu, Nona?”
“Tidak ada. Aku hanya ingin minta maaf dan bertanya tentang tempat tinggalnya di Indonesia.”
Bernand tampak terdiam di seberang telepon sana.
“Baik. Akan saya carikan segera.”
“Terima kasih, Bernand.”
“Apa hari ini anda mau ditemani?”
Naina menoleh ke arah tangga dengan tatapan sendu. Clarisa pasti masih marah dan mengurung dirinya di kamar.
“Tidak. Sepertinya kami akan di rumah seharian ini.”
“Baiklah, Nona. Jika ada sesuatu atau anda perlu bantuan kami, segera hubungi saya.”
“Iya. Terima kasih sekali lagi, Bernand. Semoga harimu menyenangkan.”
“Anda juga, Nona.”
Merebahkan punggungnya ke sandaran sofa, Naina memejamkan matanya sejenak. Tak lama lalu terbuka diiringi gumaman,
“Bayangan hitam itu kenapa seperti bisa kayak ngeliat aku, ya, tadi?”