Chapter 003

1413 Kata
"Sepertinya ada yang tengah berpesta tanpa mengundangku." Para bandit itu serempak menoleh ke sumber suara dan mendapati senyum ramah dari seorang Bangsawan, tapi tidak mirip Bangsawan karena dia mengenakan pakaian layaknya seorang Prajurit, tapi tidak bisa disebut sebagai seorang prajurit karena pakaian yang ia gunakan terlalu mewah untuk ukuran seorang prajurit. Kim Hwa Seung, pemuda yang sebelumnya menyusuri jalan setapak di kaki Gunung Jiri. Seorang Saudagar kaya yang masih muda dengan perawakan yang tegas namun ramah dan murah senyum. Suatu kombinasi yang sempurna. Dia datang jauh-jauh dari bagian selatan Joseon untuk menjemput tunangannya. Seorang putri Bangsawan bernama Shin Hwa Jung yang selalu membawa pedang di tangannya yang saat ini tengah berada di tengah-tengah para bandit. Meski melihat Hwa Seung tersenyum ke arahnya, hal itu tidak membuat Hwa Jung menurunkan kewaspadaannya, bahkan dia tidak menurunkan pedangnya sedikitpun. Melihat hal tersebut, Hwa Seung membuang napas pendek ke udara sembari tersenyum. "Seperti ya kalian berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, Tuan-tuan." "Siapa kau? Kenapa kau datang tiba-tiba dan mengganggu?" ujar pimpinan bandit tersebut. "Aku? Woah ... kalian bertanya padaku?" ujar Hwa Seung dengan nada yang dilebih-lebihkan, membuat pimpinan bandit itu mengumpat. "Kunyuk sialan! Apa kau sedang mencari masalah denganku? Kau ingin mati?!" "Apa?" ujar Hwa Seung dengan suara yang meninggi, namun masih tetap terlihat ramah. Bahkan dia sengaja menaikkan dagunya secara tidak alami, membuat Hwa Jung mendengus kesal melihat sikapnya yang tidak pernah serius. Hwa Seung kemudian berucap, "hey, harusnya aku yang bilang seperti itu. Apa yang kalian lakukan? Mengarahkan pedang kalian ke arah wanitaku, apa kalian ingin cari mati?" "Apa? Wanitamu, kau bilang? Apa kau sedang mabuk? Kami yang menemukannya lebih dulu, jadi nona Kisaeng ini milik kami sekarang, benar bukan?" ujar pimpinan bandit tersebut yang disetujui oleh para anak buahnya dan diakhiri dengan tawa mereka. Bahkan semua penduduk desa hanya berani mengintip dari celah rumah mereka, karena ketakutan. Sedangkan Hwa Seung sendiri, merasa terganggu mendengar bahwa mereka memanggil Hwa Jung sebagai seorang Kisaeng. Terlihat dari rahangnya yang tiba-tiba mengeras. "Apa? Kau menyebutnya apa tadi?" ujar Hwa Seung dengan nada bicara yang lebih dingin sembari mensejajarkan tangannya yang sebelumnya ia taruh di belakang. Perlahan Hwa Seung berjalan mendekati para bandit itu dan menyingkirkan pedang mereka dengan kasar untuk melewati mereka dan berdiri di samping Hwa Jung. "Pergilah, sebelum kalian kehilangan kesempatan untuk merenungi dosa dosa kalian," terdengar lebih dingin dan mengandung sebuah ancaman. Yeo Wol yang mendengar perdebatan mereka, menyaksikannya dari celah pintu yang ia buka sedikit. Dan di antara orang-orang itu, Yeo Wol tidak melihat si bibi. Gadis itu ingin memastikan apakah si bibi baik-baik saja, tapi dia juga tidak berani keluar. Sekilas dia melihat siluet Hwa Seung dan bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah dia Bangsawan yang telah ditunggu-tunggu oleh Hwa Jung. Terdengar suara tawa yang seperti ingin memecah langit dari para bandit itu. "Kau dengar sendiri bukan, percuma mengajari mereka dengan kata-kata," cibir Hwa Jung, tapi Hwa Seung tidak memberi respon. Para bandit itu tiba-tiba saja menyerang mereka secara bersamaan. Hwa Seung menarik sedikit pedangnya untuk menghalangi serangan dari depan dan menggunakan kaki kirinya untuk menghalau serangan dari samping. Dia kemudian memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang dan memukul para bandit tersebut dengan pedang yang masih berada di dalam sarung pedang. Hwa Seung berujar, "jika seseorang memberi kesempatan, seharusnya kalian merenungkannya." "Banyak omong, diam dan segeralah pergi ke neraka!" Serangan dari para bandit tersebut membuat Hwa Jung dan Hwa Seung terpisah cukup jauh. Berbeda dengan Hwa Jung yang benar-benar menghunuskan pedangnya. Hwa Seung lebih memilih bertarung tanpa menarik pedangnya dan hanya menggunakan pedangnya untuk memukul beberapa bagian guna melumpuhkan para bandit itu. Hwa Seung sendiri lebih cenderung tidak menyukai saat ia menarik keluar pedangnya. Karena saat ia menarik pedangnya, dia akan cenderung membunuh lawannya sehingga dia jarang menarik pedangnya jika keadaan masih berpihak padanya. "Habisi dia! Apa yang kau lakukan? Cepat bangun, dasar bodoh! Bagaimana bisa kalian di kalahkan oleh orang seperti dia?" teriak pimpinan bandit itu yang sama sekali tidak melakukan apapun. "Orang bodoh akan cenderung banyak bicara tanpa bisa melakukan apapun," ujar Hwa Seung dengan santai sambil menangkis serangan. Seulas senyum sempat terlihat di wajah Hwa Seung ketika melihat Hwa Jung yang sepertinya tidak mengalami kesulitan. Justru sebaliknya, bandit-bandit itulah yang mengalami kesulitan ketika harus menghindari ayunan pedang Hwa Jung. Hwa Seung tersenyum bangga, tidak sia-sia dia mengajari Hwa Jung selama ini bagaimana cara mengayunkan pedang yang benar untuk membunuh seseorang. "Tidak berguna kalian semua! Menghadapi seorang Kisaeng saja tidak becus. Minggir kalian!" murka sang pimpinan bandit. Tapi bukan hanya pimpinan bandit yang murka, melainkan juga Hwa Seung yang langsung memukul lawannya hingga terpental ketika dia mendengar kata 'Kisaeng'. Hwa Seung menghalau serangan dan mencoba berjalan menuju Hwa Jung yang tengah menghadapi pimpinan bandit tersebut. Tapi tiba-tiba semua berhenti bergerak ketika mendengar suara kain yang robek dan tidak lain adalah lengan pakaian yang dikenakan oleh Hwa Jung. Membuat sorot mata gadis itu semakin menajam. Tapi perhatian semua orang teralihkan oleh suara seperti seseorang yang tengah menarik pedangnya yang tak lain adalah Hwa Seung, dengan raut wajah seperti orang kesetanan. Hwa Jung menurunkan pedangnya dengan satu tangan memegangi bajunya yang robek, sedangkan para bandit itu terlihat panik setelah melihat Hwa Seung mengamuk dan mengayunkan pedangnya dengan sangat kejam. Hwa Seung menjangkau tempat Hwa Jung dan memegang tangan gadis itu yang menutupi bagian lengannya. Keduanya berjalan mundur perlahan. "Masuklah!" ujar Hwa Seung tanpa melepaskan pandangannya pada bandit-bandit di hadapannya. Sekilas Hwa Jung mendongak untuk melihat wajah Hwa Seung yang merah padam, menunjukkan bahwa kemarahan pemuda itu sudah berada di ujung kepala. Tanpa pikir panjang lagi, Hwa Jung pun langsung naik ke teras dan berlari menuju ruangan di mana Yeo Wol berada. "Hey ... apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian membiarkan wanita itu pergi? Cepat bunuh dia dan rebut wanita itu kembali!" Hwa Seung menyahut, "tidak ada lagi waktu untuk merenung, kalian sudah kehilangan kesempatan itu." Hwa Seung mengarahkan ujung pedangnya ke tanah seakan-akan ingin membuang sesuatu dari pedangnya. Dia melemparkan ujung bajunya ke belakang dan menarik satu kaki ke belakang. Kemudian mengangkat pedangnya membuat garis horisontal tepat di bawah dagunya, mensejajarkan pedangnya dengan lengan dan tangan kirinya menyentuh ujung gagang pedang. Tatapan matanya seakan tidak mau kalah tajamnya dengan pedang miliknya yang berkilau saat terkena cahaya matahari. "Kalian akan mati di tanganku hari ini!" ujar Hwa Seung dengan sorot mata yang menggelap. Dia kemudian menebas apapun yang berada di sekelilingnya dan hanya orang yang beruntunglah yang berhasil selamat dari amukan pedangnya. °°°° Tae Hyung keluar dari paviliun belajarnya setelah guru pembimbingnya meninggalkan paviliun belajar. Menuruni anak tangga sembari melihat ke sekeliling untuk mencari keberadaan Chang Kyun. Tae Hyung bertanya-tanya dalam hati, ke mana perginya Chang Kyun. Karena sebelumnya pemuda itu berada di depan pintu paviliun belajar. Kenapa tiba-tiba menghilang? Dan saking seriusnya mencari Chang Kyun, Tae Hyung sampai lupa bahwa dia tengah menuruni tangga batu dan hampir terjatuh karena menginjak ujung bajunya sendiri. Beruntung Kasim Seo yang berada tepat di bawah tangga dengan sigap menahan lengannya. Tapi meski begitu, hal tersebut cukup untuk membuat para dayang dan kasim di sana hampir terkena serangan jantung. "Aigoo, Putra Mahkota ... apa kau baik-baik saja? Apa Putra Mahkota terluka?" ujar Kasim Seo mewakili kecemasan para dayang dan kasim yang melayani sang Putra Mahkota. Tae Hyung memberikan seulas senyum yang terlihat sangat damai dan membuat semua orang tersenyum lega. "Aku hanya sedikit ceroboh, aku tidak akan mengulanginya lagi." "Syukurlah kalau begitu." "Kalian tunggulah di sini, aku akan berkeliling sebentar." Wajah mereka semua tiba-tiba menjadi pucat, tapi mereka tidak berdaya dengan senyum yang mendamaikan dari Putra Mahkota yang mereka layani. Pada akhirnya mereka hanya menunggu dan mengawasi Putra Mahkota dari tempat mereka. Tae Hyung meninggalkan rombongannya, kali ini dia berjalan cukup jauh dan membuat para kasim serta dayang menjadi khawatir karena tidak bisa melihatnya. Tapi apalah daya, mereka tidak bisa menolak keinginan Tae Hyung yang sama sekali tidak memberatkan mereka. Karena apapun yang di lakukan oleh Tae Hyung saat ia sendiri maupun bersama para kasim dan para dayang, dia tidak pernah menyalahi aturan kerajaan. Tae Hyung melangkahkan kakinya cukup jauh dari paviliun belajarnya. Dia tidak memiliki tujuan, tapi entah kenapa berjalan sendirian membuatnya lebih nyaman. Namun saat itu perhatiannya teralihkan ketika dia melihat sesuatu bergerak-gerak di luar tembok bebatuan setinggi dua meter yang menjadi benteng paviliun belajarnya. Tae Hyung memiringkan kepalanya, dan seulas senyum terukir di bibirnya ketika dia mengenali puncak kepala yang saat itu terlihat menyembul dari balik tembok. "Apa yang sedang dia lakukan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN