BSM 4
"Sayang!" teriak Naren saat melihat tubuh langsing Nara berjalan menjauh dari tempatnya berdiri.
Naren berdecak kesal. "Ini semua gara-gara kamu!" pekik Naren tertahan sambil menunjuk muka Fara dengan jari telunjuknya.
"Bapak selesaikan ini, biar Nara saya yang kejar," ucap Tania menengahi. Tanpa menunggu jawaban Naren ia berlari mengejar Nara.
"Thanks ya, Tan?" teriak Naren meskipun perempuan yang diteriakinya tidak menoleh. Ia masih terus memandangi tubuh Tania yang berusaha mengejar Nara, berharap kesalahpahaman ini bisa diselesaikan dengan baik.
Bibir Fara tersungging miring. Lagi, ia berhasil menimbulkan pertikaian antara sepasang kekasih yang sedang kalut itu.
"Ini semua gara-gara kamu! Coba aja kamu ngga datang dan semua ini ngga terjadi!" desis Naren seraya menatap tajam wajah yang tampak terlihat santai di depannya.
"Aku?" sela Fara sambil turut menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuknya.
"Kan aku cuma menjalankan perintah dari Tante Sarah? Ya jangan salahin aku dong? Mas sendiri yang tanya aku mau apa buat lakuin apa yang Mas mau," sela Fara tak terima saat disalahkan oleh Naren.
"Ya tapi ngga usah deket-deket gitu juga!" sungut Naren. Raut kesal tak bisa dihindarkan di wajah Naren yang biasanya terlihat berwibawa itu.
"Kan Mas menikmati, kenapa juga ngga mengelak saat aku deketin badan ke tubuh Mas?" ucap Fara santai sambil kembali mendekatkan badannya ke tubuh Naren.
Namun dengan cepat Naren menghindar dari perempuan yang ada di depannya itu.
Naren tercengang mendengar apa yang diucapkan oleh Fara. Hatinya membenarkan apa yang diucapkan oleh perempuan di depannya itu. Seketika rasa sesal tak lagi dapat terelakkan dalam dirinya.
Dengan keras Naren memukul tembok yang ada belakangnya. Amarah yang sedang berkobar dalam dadanya itu sedang butuh pelampiasan. Beruntung Naren masih bisa jaga kewarasannya sehingga tidak melukai wanita penyebab masalah ini terjadi.
Sementara Tania sedang berusaha mengejar Nara. Ia tak bisa membiarkan sahabatnya itu salah paham atas apa yang sedang terjadi.
"Kamu jahat! Kamu tega khianati aku! Kamu sahabatku tapi kamu tega biarin Mas Naren mesra-mesraan sama perempuan itu!" cecar Nara saat Tania berusaha menghentikan langkahnya. Ia masih saja terisak sambil menutup wajah dengan telapak tangannya.
"Bukan mesra-mesraan! Denger dulu penjelasannya!" pekik Tania seraya meraih lengan Nara.
Namun, Nara menepis lengannya dengan cepat. Wajahnya melengos menghindari tatapan Tania yang tengah dilanda rasa cemas.
"Denger dulu penjelasannya, Na!" ucap Tania sambil berjalan menuju hadapan Nara.
"Penjelasan apa lagi? Semua sudah jelas! Kamu jelas-jelas diem aja liat perempuan itu deket-deket dengan Mas Naren! Kamu tega sama aku!"
Nara yang sedang diliputi rasa marah bercampur cemburu belum bisa menerima penjelasan dari Tania. Ia masih membutuhkan waktu untuk menenangkan dirinya agar penjelasan Tania dapat diterima dengan baik.
Beruntung kondisi showroom sedang sepi. Antrian pengunjung bengkel juga sudah habis sehingga pertikaian yang terjadi tidak menjadi tontonan umum. Yang tersisa di showroom hanya beberapa karyawan yang sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
"Aku ngga ada maksud apapun. Sikap Fara tadi itu juga karena kami sedang nego dengannya." Tania mencoba menjelaskan setelah beberapa saat membiarkan Nara sedikit lebih tenang.
"Nego apa sampai kamu bisa diem aja lihat tingkah menjijikkan dari perempuan itu?" sengit Nara.
"Kamu tadi bilang kepo soal perempuan itu? Tapi ya, harusnya jangan diam saja lihat perempuan itu goda-godain Mas Naren!" sungut Nara menyesali sikap Tania.
Tania menghela napas dalam. Ia tak bisa berbuat apapun selain menunggu Nara tenang untuk bisa menerima penjelasannya.
Sahabat Nara itu pun setia menunggui Nara yang masih sibuk menyusut air matanya hingga Naren datang.
"Sayang, kamu salah paham." Naren berusaha mencekal pergelangan tangan Nara agar tidak pergi.
"Ngga ada yang salah paham, Mas. Semua sudah jelas. Mas mesra-mesraan di depan Tania!" pekik Nara tertahan. Pandangannya nanar menatap wajah yang sedang panik di depannya.
"Apa tidak ada tempat lain selain di sini untuk bermesraan?" sambung Nara menggebu.
"Astaga Sayang. Kamu salah paham. Ngga gitu ceritanya!" Sekuat tenaga Naren menekan nada bicaranya agar tidak meninggi.
"Lalu apa? Mau membela diri pake alasan Mas mau berjuang buat dapat restu Ibu? Begitu?"
"Tunggu dulu, dengerin penjelasanku dulu!"
"Apa begitu yang namanya usaha?" sengit Nara tak peduli dengan ucapan kekasihnya itu.
Naren membalas tatapan dalam milik Nara sedang memandangnya dengan tatapan tajam. Ia berusaha menjaga emosinya agar tidak sampai lepas kendali. Embusan napas teratur keluar dari bibirnya agar tubuhnya rileks.
"Mau ngelak apa lagi, Mas?" lirih Nara. Ia tak lagi dapat menahan kepalanya untuk tetap berdiri tegak. Perempuan yang sedang terluka itu menunduk dan kepalanya bertumpu pada kedua lengan di atas meja.
Naraya tak lagi dapat menahan kekesalannya. Ia menangis dalam diamnya. Hanya bahu itu yang bergetar seiring dengan dadanya yang naik turun tak beraturan.
Naren berjongkok. Ia berusaha mencari wajah Nara yang sedang tertunduk.
"Sayang, kamu salah paham. Oke aku salah, aku memang tidak mengelak saat Fara berusaha mendekat. Itu karena kami sedang bernego dengannya. Aku sedang meminta dia untuk bilang sama mama agar dia juga menolak perjodohan ini.
Karena ngga bisa kalau hanya aku saja yang mengelak sementara Fara tetap setuju dengan perjodohan ini. Makanya aku merayu dia agar mau bilang ke mama buat membatalkan perjodohan ini."
"Ini satu-satunya cara biar perjodohan ini gagal, Sayang. Percayalah, aku tak ada niat apapun. Apalagi bermesraan dengan dia!" sambung Naren lagi.
Naren memandang wajah Nara dengan tatapan memohon. Ucapan tulus yang terbit dari dalam hatinya yang masih mencinta.
"Jangan salah paham lagi ya? Aku sedang berjuang, kamu harus bantu aku. Jangan begini," ucap Naren lembut. Telapak tangannya mengusap punggung Nara perlahan.
Mendengar penjelasan Naren, Nara mulai berpikir. Tania yang menjadi sahabatnya juga jelas tidak mungkin diam saja jika tidak sedang ada apa-apa saat itu.
Nara mengangkat kepalanya. Punggungnya bersandar pada sandaran kursi besi yang dilapisi busa empuk. Telapak tangannya terulur di wajahnya untuk mengusap sisa air mata yang membuat wajah itu terlihat sembab.
"Apa tidak ada cara lain selain memohon padanya, Mas?" ucap Nara lirih. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menghalau sisa air yang ada di sudut matanya.
"Mas juga mau berusaha merayu papa agar bicara sama mama. Tapi untuk sementara ini, menurut Mas itu cara yang paling efektif."
Nara menunduk. Bahunya bergerak turun seiring dengan helaan napas panjang yang keluar dari bibirnya.
"Bagaimana jika permintaan Fara melunjak?" tanya Nara berusaha mengungkapkan isi kepalanya.
"Melunjak bagaimana?" tanya Naren tak paham.
"Seperti yang dia bilang tadi, Mas. Menurutku minta waktu sehari buat kencan sama Mas itu ngelunjak namanya!" pekik Nara kesal.
Naren terkekeh pelan. Ia berdiri dan menarik satu kursi yang ada di belakang Nara. Setelah duduk sempurna, Naren memegang tangan Nara dengan lembut.
"Sayang percayalah, selagi dia tidak minta tidur denganku aku pasti akan bisa jaga diri." Naren menjeda ucapannya karena melihat lipatan di kening Nara. Ia khawatir jika mengatakan yang sebenarnya maka Nara akan semakin marah.
"Jadi tadi Mas menerima permintaannya?" sahut Nara cepat.
"Aku belum selesai nego dengannya karena khawatir sama kamu. Makanya jangan marah lagi biar aku bisa nego Fara supaya mau batalin perjodohan ini."
Mendung kembali terbit di mata Nara. Bayangan ketika Naren jalan dengan Fara mulai menari-nari diingatannya. Rasa takut kehilangan kembali menjalari dadanya yang sejak tadi sudah sesak karena prasangka buruknya pada sang kekasih.