Untung Sayang

1086 Kata
BSM 11 "Tadi ngobrol apa sih, Mas, sama ibu?" tanya Nara saat keduanya sedang dalam perjalanan menuju mall. Mata Nara menelisik wajah Naren yang sejak tadi fokus menekuri jalanan. "Aku sampe takut loh mau keluar. Sampai nunggu kalian selesai ngobrol dulu." Nara kembali menghadap jendela karena Naren yang tidak merespon ucapannya. "Ngobrolin masa depan," jawab Naren singkat. Seulas senyum terbit dari bibirnya yang kemerahan untuk membuat hati Naraya tenang. "Beneran? Kayaknya serius amat." "Ya kali sama orang tua ngobrolin masa depan pake bercanda?" "Ya kali aja, kan aku ngga tau." "Ya makanya jangan sok tau. Mas cuma ngobrolin masa depan kita. Semoga ada jalan dan dimudahkan ya?" Tangan kekar Naren terulur mengusap pucuk rambut Nara yang sudah rapi. Nara kembali membingkai wajah Narendra dengan senyum sumringah. Ada doa yang dipanjatkan dalam dadanya agar Allah berkenan memudahkan jalannya menuju restu sang calon mertua. Dua sudut garis di bibir Nara tersenyum tipis sambil terus menimati wajah yang sudah mengalihkan pandangannya ke jalanan. Perlahan, rasa syukur mulai berjejalan dalam d**a Nara karena memiliki kekasih yang mau memperjuangkannya di hadapan orang tuanya. "Hari ini kamu boleh pilih apapun barang yang kamu mau." Naren berujar dengan mata berbinar. Sekilas, ia kembali melihat wajah Nara yang masih menatapnya. "Beneran? Tumben nih?" Mata Nara mengerjap. Ia tercengang setelah mendengar ucapan Narendra. "Iya. Mumpung aku lagi baik sama kamu. Ngga suka ya kalau Mas jajanin?" "Ya, mau aja sih. Cuma tumben aja? Dalam rangka apa memangnya?" "Dalam rangka Mas pengen bahagiain kamu." "Bisa jalan begini aja aku udah seneng loh, Mas." "Jalan aja tanpa jajan kayak sayur tanpa garam." Narendra terkekeh setelah menjawab ucapan Nara. "Dih, kayak masakan aja." "Ya kan ibaratnya gitu. Kamu boleh minta apapun yang kamu mau." "Beneran?" "Hu'um. Apapun yang kamu mau." Narendra berujar dengan mantap. "Janganlah, Mas. Sayang uangnya. Mending disimpan buat biaya nikahan kita nanti," tolak Nara dengan halus. "Biaya nikah sudah Mas siapin. Kamu jangan pikirkan soal itu. Mas sudah prepare semua urusan akad beserta biaya lainnya. Ini ada sedikit rejeki, bisa buat nyenengin kamu malam ini." Ada yang basah dalam d**a Nara. Laki-laki di sebelahnya ini sungguh baik dan begitu menghargainya. Bukan karena soal materi yang akan ia berikan. Tapi, persiapan pernikahan sebelum restu didapat membuat Nara merasa begitu berarti. Perlahan, rasa sesal menelusupi dalam dirinya. Kecemburuan yang kemarin sempat terpantik karena kehadiran Fara membuatnya merasa malu sendiri. Jika sudah begini, masih pantaskah ia menaruh rasa cemburu pada lelaki yang telah mempersiapkan masa depan dengan matang? "Eh kok senyum-senyum sendiri? Mikirin apa sih?" ujar Naren yang merasa aneh dengan Nara. Setelah beberapa saat terdiam, kekasihnya itu tiba-tiba saja tersenyum dengan sendirinya. "Aku malu sama Mas. Maaf ya, kemarin aku sempat cemburu sama Mas." Nara menunduk. Jarinya saling memainkan ujung kuku di jari lainnya. "Ngga apa-apa. Wajar, itu artinya kamu sayang sama Mas." Naren membingkai wajah Nara saat mobilnya telah terparkir sempurna di area parkir mall. Tangan itu mengusap pucuk kepala Nara kembali. Lalu mengacaknya dengan gemas yang menimbulkan cebikan di bibir Nara. "Maass! Rusak rambutnya!" sungut Nara sambil kembali membenarkan rambutnya yang sudah tidak rapi. "Ngga apa-apa. Gitu juga masih kelihatan cantik kok." Narendra memainkan kedua alisnya untuk menggoda Nara. Ada gelak tawa yang menghiasi wajah Naren saat melihat wajah sang kekasih sudah bersungut kesal. "Ck! Mas resek ih!" gerutu Nara lagi. "Kamu kalau gondok gitu makin cantik deh." "Mana ada!" "Iya, coba lihat," ucap Naren sambil mengarahkan spion atas ke arah wajah Nara. Saat wajah Nara sudah berada dalam kaca tersebut, Naren kembali menggodanya dengan menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum. Naraya memutar bola matanya malas. Setelahnya bibir yang dilapisi liptint warna nude itu memberenggut. "Seneng banget ya godain aku?" omel Nara yang malah membuat Naren makin tergelak. "Cantik tauukk kalau marah gitu." "Untung sayang! Kalau ngga sayang sudah hiiiiihhhh," omel Nara sambil mengepalkan kedua tangannya. "Mauu dong!" "Maaassss! Lagi nyetir loh, bisa ya godain aku sampai kesel gini?!!" Nara menatap wajah Narendra dengan tatapan kesal. "Bisalah. Kan Mas sayang sama kamu. Cara orang mengungkapkan rasa sayang itu bermacam-macam. Ngga harus dengan sesuatu yang manis, tapi liat kamu memberenggut karena ulah iseng Mas begitu kadang sudah bisa bikin Mas bahagia." "Mana ada orang bikin kesel pacarnya malah bahagia." "Tapi beneran ada. Respon kamu yang lucu gini malah bikin Mas kangen." "Gombal!" "Iya, beneran." "Serah Mas deh." "Uluh-uluh, tayangnya Mas lagi ngambek," goda Naren dengan gaya bicara seperti anak kecil. Keduanya lantas sama-sama tergelak. Ada rona bahagia yang terpancar dari keduanya. Kebersamaan yang natural dan penuh kasih membuat keduanya merasa nyaman satu sama lainnya. Sehingga makin kuatlah rasa saling memiliki satu sama lainnya. Setelah mobil terparkir, Naren menggandeng tangan Nara menuju area mall. Dari satu gerai ke gerai lainnya. Tibalah di sebuah gerai jam tangan kesukaan Naraya. Matanya menatap jam tangan yang didisplay di sebuah etalase di depan pintu masuk. Jam tangan bermerk yang harganya cukup mahal dan itu membuatnya harus menabung berbulan-bulan untuk bisa membelinya. Bahkan hingga saat ini ia masih belum mampu membeli karena harus mendahulukan kebutuhan yang mendesak. Naren menoleh saat kekasihnya berjalan sedikit melambat demi bisa melihat jam tangan tersebut. Seketika Narendra melihat benda yang membuat kekasihnya menoleh sampai sebegitunya. "Bagus ya jam tangannya?" tanya Naren yang membuat Nara berjingkat. "Hehehe, iya, Mas. Bagus banget. Udah yuk jalan lagi," ajak Nara seraya menggandeng lengan Naren kembali. "Ngga jadi beli? Beli aja ngga apa-apa." Narendra membingkai wajah Naraya yang tampak ragu-ragu. "Mau yang mana?" Naraya menggeleng lemah. "Enggak, kok Mas." "Jangan ragu. Bilang aja mau yang mana," ucap Naren sambil menggandeng Nara menuju pintu masuk gerai. "Mas, itu mahal harganya," bisik Naraya. Tangannya menarik pegangan tangan kekasihnya. "Ngga apa-apa. Sesekali belikan barang mahal buat yang disayangi boleh lah," jawab Naren sambil tersenyum dengan pandangan dalam ke arah wajah Nara yang meragu. "Beneran, Mas?" tanya Nara memastikan. "Beneran dong." Nara tersenyum senang. Dalam hatinya sedang bersorak kegirangan mendapati sang kekasih yang peka akan benda yang diinginkannya. Hanya saja ia terlalu malu untuk mengungkapkan secara terang-terangan. Tanpa banyak basa-basi lagi, Naren segera melakukan pembayaran. Tidak ada kata mahal untuk kebahagiaan orang yang disayanginya. Apapun akan ia berikan selama itu bisa membuat kekasihnya bahagia bersamanya. "Makasih ya, Mas?" ucap Nara sambil memeluk box jam tangan tersebut. "Sama-sama, Sayang. Seneng kan?" Naraya mengangguk cepat. Senyum senang tak lagi dapat ia hindarkan dari wajahnya yang ayu dengan polesan mekap natural. "Sekarang kita makan ya?" "Oke." Keduanya lantas menuju restoran cepat saji yang terletak tak jauh dari gerai jam tangan yang baru saja didatanginya. Nara duduk di bangku, sementara Narendra berdiri di meja kasir untuk memesan menu makanan. Saat keduanya sedang menikmati makanan, sebuah suara terdengar menggema dan membuat mereka berjingkat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN