Saat Bastian datang menjemput Alex, pria itu sedang berjalan sempoyongan di pinggir jalan raya. Menenteng kemeja luarnya sendiri di pundak. Sementara rambut terlihat acak-acakan dengan kantung mata hitam di bawah mata.
“Alex!” seru Bastian. Dia berjalan cepat keluar dari mobil untuk menghampiri pria tersebut. “Tunggu!”
Mendengar suara yang dia kenal, Alex pun menoleh. Lantas kedua sudut bibirnya terangkat naik. “Bastian. Kamu sudah datang. Hehe.”
“Iya,” jawab Bastian. Dia mengernyit karena indera penciumannya menangkap aroma alkohol yang kuat. “Berapa banyak botol minuman keras yang kamu habiskan tadi malam?”
“Hm? Cuma satu,” jawab Alex sambil mengangkat jari telunjuknya.
Bastian tentu tidak percaya pada perkataan Alex sebab pria itu tidak mungkin dalam keadaan setengah mabuk jika hanya habis satu botol alkohol saja.
“Ayo aku antar kamu pulang,” ucap Bastian. Dia meraih tangan Alex dan menuntunnya ke dalam mobil.
“Aku nggak mau pulang!” protes Alex. “Kita ke rumah kamu saja.”
Bastian menghela napas. Dia sudah melajukan mobilnya ke jalan raya. “Sekali lagi aku tekankan kalau rumahku bukan tempat penampungan orang,” katanya. Heran, kenapa taman-temannya malah menjadikan apartemen Bastian sebagai tempat pertama yang dituju ketika mereka sedang terlibat sebuah masalah. Tidak hanya Alex dan Rafael, kadang Gavin dan Arsenio—sahabat karibnya sejak SMA—juga datang ke sana jika mereka dalam keadaan kacau dan tidak ingin diganggu.
Alex terkekeh kecil. Awalnya terdengar normal. Namun lama kelamaan tawa tersebut berubah menjadi tangis memilukan. Membuat Bastian meliriknya setengah geli.
“Ada masalah lagi dengan Bram?” Bastian bertanya. Namun tak menghilangkan fokus untuk tetap menyetir kendaraan dengan baik dan benar.
“Entahlah. Awalnya aku memaklumi perubahan sikapnya padaku tapi seiring berjalannya waktu aku tidak tahu lagi.” Alex menghela napas panjang. Matanya menatap keluar jendela, pada langit biru yang hari ini terukir tanpa cacat. “Aku merasa hanya aku yang berjuang.”
Bastian mendengar nada sedih dan putus asa dari suara Alex. Membuat hatinya merasa tidak nyaman. Ingin sekali Bastian memeluk tubuh pria itu dan mengelus punggungnya agar kesedihan tidak hinggap di d**a.
Akan tetapi Bastian menahan diri. Bagaimana pun Alex harus bisa melaluinya sendiri. Karena di masa depan nanti siapa yang tahu kalau Bastian sudah tidak bisa seperti ini pada pria itu lagi.
“Oke, ayo ke rumahku dan biarkan aku memasakkan sup untukmu. Setidaknya dengan begitu perutmu akan baik-baik saja,” senyum Bastian. Dia mengacak rambut Alex dengan sayang.
Alex sendiri hanya tersenyum dan memejamkan mata. Menikmati apa yang dilakukan Bastian padanya.
Seandainya saja pria itu Bram ...
***
Sementara itu di perusahaan WINA kantor lantai tiga puluh ...
Chelsea jadi bersemangat mengetahui sebuah fakta baru tentang Bastian. Dia masuk ke ruang rapat, menutupnya pelan hanya untuk menelepon sahabat barunya.
Siapa lagi kalau bukan Nenek Maura?
“Halo?”
“Nek Maura!” sapa Chelsea langsung tanpa menutupi rasa senangnya.
“Hahaha ... kamu terdengar senang, Nak. Apa ada berita baik yang belum aku dengar?” tanya Maura.
“Iya.” Kemudian Chelsea berjalan menjauhi pintu dan berjalan menuju kaca jendela besar di mana dia bisa melihat pemandangan ibu kota Jakarta dari sana. “Sepertinya saya nggak jadi patah hati Nek,” lanjut Chelsea setengah berbisik. “Karena ternyata ... Pak Bastian itu biseksual.”
Hening sejenak.
Hingga sebuah tawa pecah dari seberang.
“Biseksual? Hahahaha! Serius? Dari mana kamu menyimpulkan dia bukan gay tapi biseksual?”
“Itu karena saya melihat laptop Pak Bastian penuh dengan film biru. Dan lagi, itu bukan jenis hubungan ranjang laki-laki dengan laki-laki, Nek. Tapi laki-laki dan perempuan. Bukankah kalau Pak Bastian mengoleksi video itu berarti dia juga sebenarnya punya rasa tertarik pada tubuh seorang wanita? Karena itulah saya yakin kalau Pak Bastian pastilah biseksual.”
Chelsea mengemukakan pendapatnya tanpa keraguan sedikit pun. Sementara Maura mendengarkan dengan seksama dari seberang.
“Oh, jadi begitu. Lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Maura terdengar sangat tertarik.
“Entahlah, Nek. Saya hanya berpikir pasti ada cara bagaimana supaya Pak Bastian bisa lebih tertarik pada perempuan dari pada laki-laki.”
Maura diam saja, dia merasa Chelsea belum selesai berbicara.
“ ... dan saya berpendapat mungkin saya bisa bersaing dengan kekasih Pak Bastian.”
“Maksudnya?”
Chelsea tersenyum penuh arti, lalu mulai menjelaskan rencananya pada Maura, tanpa tahu sama sekali bahwa Maura adalah nenek dari Bastian.
***
“Kalau sudah, istirahat saja. Aku harus pergi ke kantor sekarang.” Bastian berkata sambil melirik arloji di tangan. Dia baru saja memasakkan Alex sarapan pagi berupa sup hangat dan nasi. Bastian memang cukup mahir dalam memasak. Ia sudah biasa melakukannya sejak remaja.
“Nggak mau! Kamu harus tunggu aku!” tolak Alex sembari menyeruput supnya. Rasanya nikmat sekali.
Mengangkat sebelah alis, Bastian menuntut penjelasan. Alex mengindikkan bahu kemudian berkata, “Aku nggak mau di sini sendirian. Yang ada malah aku tambah galau. Aku ikut kamu kerja saja. Boleh kan?”
Bastian mendengus. “Kamu bela-belain bolos bekerja dan malah menyempatkan diri datang ke perusahaanku untuk bermain? Tunggu saja sampai atasanmu mengetahuinya. Dia pasti akan memecatmu saat itu juga! Ckckckck.”
“Bodo amet. Kan aku bisa kerja di perusahaan kamu. Hehe.”
Bastian hanya memutar bola mata. Dia tahu Alex hanya bercanda. Pria itu selalu menolak tawaran untuk bekerja di perusahaan Bastian karena merasa itu bukan passionnya. Dan memang, Alex lebih suka bekerja di restoran, bertemu banyak orang dan melayaninya dengan sepenuh hati.
“Aku sudah selesai. Tunggu aku berganti pakaian dulu,” pamit Alex.
“Mandi dulu jangan langsung ganti pakaian! Kamu bau alkohol!” teriak Bastian.
Alex mengangguk dari kejauhan. Kakinya dengan lincah menaiki anak tangga. Dia tidak memikirkan apakah dia membawa baju ganti atau tidak sebab di apartemen Bastian dia bebas mamakai semua barang-barang Bastian tanpa ijin. Sungguh gambaran yang menyenangkan.
Setengah jam Bastian menunggu, akhirnya sambil mengecek email yang masuk melalui ponsel pintarnya, Alex sudah kembali dengan kaus dan celana jins berwarna hitam. Karena postur tubuhnya tak jauh berbeda dengan Bastian dan tinggi mereka pun hampir sama, jadi Alex tidak kesulitan untuk menemukan pakaian yang cocok untuknya.
“Ayo!” ucap Alex.
Bastian menoleh lalu tersenyum. Dia meletakkan ponselnya kembali ke dalam saku. Lantas membiarkan Alex bergelayut manja di lengan kanannya.
“Hari ini kamu ada rapat di luar?”
“Tidak. Kenapa?”
“Bukan apa-apa. Hanya bertanya. Karena kalau kamu ada rapat di luar, aku akan meminta kamu untuk bawa aku jalan-jalan setelah itu.”
“Cukup bilang aja nggak usah nunggu rapat. Mau makan siang bersama di luar nanti?”
“Boleh?”
“Tentu saja,” jawab Bastian.
Keduanya terus berbincang sambil keluar meninggalkan apartemen.