17. Tak Kenal Maka Tak Sayang

1887 Kata
Chelsea menoleh ketika suara berat familiar yang dia kenal terdengar. Bibirnya masih moncong ke depan saat dia menangkap sosok Bastian berdiri di ambang pintu. Di belakangnya ada Indra yang datang bersama dengannya. Karena sudah kepergok, Chelsea akhirnya hanya bisa memasang senyum lebar, berharap kalau senyumnya itu sangat manis hingga mampu meluluhkan hati CEO tersebut. “Selamat pagi, Pak Bastian. Kok tumben berangkat pagi.” Chelsea menunjuk jam di dinding. “Kan masih jam setengah sembi—lho! Kok jarum jamnya nggak gerak?” Barulah Chelsea sadar jika jam dinding di ruang Bastian mati. Dia pun meringis bersalah. “Ups, sorry,” cicitnya. Lantas dia berlari menghampiri Bastian. “Tolong jangan pecat saya, please ...,” mohonnya dengan dua tangan disatukan di depan d**a. “Please, please... “ “Chelsea!” tegur Indra. Matanya mengisyaratkan agar Chelsea langsung keluar saja. Namun Chelsea berkepala batu, sebelum memastikan Bastian tidak memecatnya dia pantang mundur keluar dari ruangan tersebut. “Lagian ini kan salah jamnya! Kenapa mati di saat yang salah?” kata Chelsea mulai menyalahkan jam dinding Bastian. “Oh, atau memang dia mau mempertemukan kita berdua. By the way, perkenalkan, nama saya Chelsea.” Indra ingin sekali menepuk jidatnya sendiri melihat tingkah random Chelsea. Bisa-bisanya ada perempuan senarsis ini?! Tiba-tiba mengulurkan jabat tangan pada atasannya tanpa rasa takut. Bastian tidak bergeming. Wajahnya datar seperti batu. Namun ketampanan yang menyilaukan mata itu membuat Chelsea langsung bisa memaafkannya. Alih-alih, Chelsea malah mengambil inisiatif sendiri. Dia meraih tangan Bastian—mengabaikan keterkejutan Bastian ketika tangan Chelsea meraih tangan kanannya—kemudian menjabatnya sendiri. “Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Sekarang kita sudah kenal, tinggal menumbuhkan rasa sayang saja,” lanjut Chelsea dengan senyum tanpa dosa, membuat Indra semakin ingin menjedotkan kepala ke tembok. Bastian cepat-cepat menarik tangannya dari Chelsea, namun gadis itu menahannya. Bastian mencoba menariknya lagi dan Chelsea terus menahannya. Alhasil terjadilah kegiatan tarik dan menahan tangan satu sama lain. “Lepaskan tangan saya.” Bastian berkata dingin. Mungkin jika dia berkata pada orang lain seperti para OB atau karyawannya yang lain, bulu kuduk mereka akan langsung berdiri saat mendengar nada suara tidak mengenakkan tersebut. Mungkin mereka akan lebih memilih cepat kabur daripada semakin membuat Bastian murka. Tapi itu tidak berlaku bagi Chelsea, cewek yang sedang jatuh cinta setengah mati pada Bastian. “Kalau aku lepas nanti kamu kangen gimana?” Bastian mendelik. “Lagian nggak sopan. Kan saya sedang memperkenalkan diri baik-baik, masa jawabannya lepaskan tangan saya. Ck, Pak Bastian pas sekolah nggak ada pelajaran tata krama ya? Padahal dulu di sekolah saya ada lho, tiap minggu dua jam. Di mana tata krama benar-benar diterapkan saat itu dan nggak boleh melanggar. Seperti misal tata krama pada orang yang lebih tua, memakai bahasa Indonesia yang baik, menatap lawan bicara ketika sedang mengobrol, dan masih banyak lagi!“ “Bukan urusan saya!” ketus Bastian. “Ya emang sih, tapi saya Cuma ngasih tau—“ “Shut your mouth up! Dan lepaskan tangan saya!” “Kalau saya nggak mau?” tanya Chelsea menantang. “Indra! Bawa dia pergi dari sini!” “Dih, minta bala bantuan! Dasar lemah! Masa kalah sama cewek?” “Saya tidak lemah!” “Oh ya? Lalu kenapa melepas tangan saya nggak bisa?” Chelsea menjulurkan lidah. Bastian mendengus, kesal pada Chelsea. Saking kesalnya, tanpa menoleh pada Indra dia berkata setengah mendesis. “Indra pecat gadis ini sekarang juga!” Mata Chelsea terbelalak lebar. Mulutnya terbuka karena terkejut . Dia pun segera melepaskan tangan Bastian. Lantas kembali memohon, Chelsea menyatukan kedua tangan di depan d**a. Tak lupa memasang wajah puppy ayes agar dikasihani sang majikan. “Aduh, jangan pecat saya dong, Pak! Pleaseeee ... Maaf deh tadi anggap saja saya sedang khilaf . Oke saya pergi sekarang juga! Sampai jumpa lagi calon suami masa depanku!” seru Chelsea dengan nada menggebu-gebu. Tak lupa dia memberikan seulas senyum manis terakhirnya pada Bastian. *** “Chelsea!” Chelsea baru saja melahap satu butir cimol di tangan ketika seseorang menyerukan namanya. Gadis itu menoleh, mengernyit ketika melihat seorang pria berlari kecil menghampirinya. Itu Pak Herman, orang yang Chelsea kenal sebagai salah satu manajer marketing di perusahaan WINA. “Saya cari kamu ke mana-mana,” ujar Pak Herman. Deru napasnya terdengar sedikit berat akibat berlarian tadi. “Memangnya kenapa cari saya, Pak?” tanya Chelsea heran. Bukankah dia seorang office girl? Sama sekali tidak ada hubungannya dengan manajer marketing atau manajer-manajer lain. Terlebih Chelsea hanya bekerja di lantai tiga puluh, di mana dia hanya berhubungan langsung dengan Indra maupun Bastian karena di lantai itu hanya ada mereka berdua. “Oh iya, mau cilok juga, Pak?” Chelsea menawarkan plastik berisi ciloknya . Pak Herman pun langsung menggeleng. “Enggak, makasih. Eh, ada es nggak?” “Di kantin Pak adanya,” jawab Chelsea polos. Mereka memang saat ini sedang berada di halaman perusahaan, lebih tepatnya di depan gerbang. Tadi Chelsea sedang istirahat dan karena bosan dengan makanan di kantin, dia jadi pergi ke depan gerbang untuk mencari penjual jajanan seperti ini. Dan kebetulan tukang ciloklah yang saat itu muncul. Pak Herman mengangguk-angguk. “Ya sudah nanti saya beli sendiri. Oh iya, kembali ke topik. Saya mau minta tolong sama kamu.” “Iya. Mau minta tolong apa?” tanya Chelsea sekali lagi. “Ikut ke ruangan saya dulu yuk!” “Kenapa nggak di sini aja? Aduh kalau Pak Herman mau minta tolong aneh-aneh seperti misal mau nembak saya, saya nggak bisa ya. Kan saya udah ada inceran.” Dahi Pak Herman mengernyit dalam. Penasaran. “Oh ya? Siapa? Masa kamu yang baru masuk berapa hari tiba-tiba udah punya incaran pria di sini? Saya yang udah kerja lima tahun saja belum nemu yang pas.” “Ck, Pak Herman tipenya terlalu tinggi kali. Kayak aku dong Pak, biasa-biasa aja.” “Oh ya? Jadi siapa pria biasa itu?” Chelsea tersenyum hingga menampakkan gigi putihnya yang rata. “Mau tau apa mau banget?” “Udah sih, spill aja!” Chelsea berdehem keras, kemudian meminta Pak Herman untuk mendekat, menocndongkan tubuh sedikit ke samping, lantas dia pun berbisik tepat di telinga pria berperut agak buncit tersebut. “Jadi, laki-laki incaran saya itu ... Pak Bastian.” “Hah?! Chelsea, memangnya kamu nggak tau kalau Pak Bastian itu gay?” seru Pak Herman. “Tau kok!” jawab Chelsea polos. “Tapi kan itu kata orang, bukan yang kata Pak Bastian.” Pak Herman menghela napas, merasa sangat prihatin dengan kepolosan Chelsea. “Gini deh, kamu kira gosip itu ada karena apa? Ya karena ada fakta yang dilihat sama orang!” “Gini deh, emang Pak Herman atau orang-orang lain di sini ada yang pernah lihat pakai mata kepala sendiri kalau Pak Bastian itu gay? Punya pacar pria dan bawa pacarnya ke sini mungkin? Nggak kan? Hayoo,” ucap Chelsea membalik perkataan Pak Herman. “Ada kok!” tandas Pak Herman langsung. “Dan semua karyawan di perusahaan ini saya rasa menyaksikannya sendiri.” “Masa sih?” kata Chelsea, menyangsikan ucapan Pak Herman. “Iya,” angguk Pak Herman. “Dan kadang juga Pak Bastian masih bawa pacarnya ke sini. Minggu lalu saja mereka datang barengan ke sini.” Chelsea terdiam cukup lama, antara percaya dan tidak percaya dengan Pak Herman. Mau percaya tapi hatinya menolak, mau tidak percaya tapi katanya semua karyawan melihat? Lalu Chelsea harus bagaimana? “Ah, sudah, sudah. Kenapa malah membahas ini? Ayo ikut saya!” ajak Pak Herman. Akhirnya Chelsea mengangguk dan mengikuti Pak Herman masuk ke dalam gedung perusahaan. Keduanya naik lift dan berhenti di lantai lima belas. Di sini Chelsea bisa melihat ruangan-ruangan berbentuk kubikel-kubikel kecil. Masing-masing ditempati oleh satu orang lengkap dengan fasilitas telepon kabel dan komputer. Pemandangan yang sangat tidak asing bagi Chelsea yang dulu pernah bekerja sebagai seorang akuntan. Pak Herman mengajak Chelsea melewati kubikel para karyawan, mengajaknya masuk ke sebuah ruang paling ujung dengan pintu bertuliskan Marketing Manager. “Ayo!” Pak Herman membukakan pintu. Dan Chelsea pun masuk. “Sini Chel,” kata Pak Herman, mempersilakan Chelsea untuk duduk. Sejenak, Chelsea mengamati ruang kerja manajer tersebut dan cukup puas dengan desainnya. Bagaimanapun Chelsea harus ingat kalau perusahaan WINA adalah perusahaan mobil terbesar se Indonesia. Banyak orang melamar pekerjaan di sini dan hanya yang terbaiklah yang bisa masuk. “Jadi begini, tolong berikan berkas ini ke Pak Bastian. Ini laporan penjualan bulan lalu dan bulan ini, semuanya sudah saya rekap rapi,” kata Pak Herman setelah mengambil sebuah map file berwarna biru dari atas meja kerjanya. Dia menyerahkannya pada Chelsea. “Langsung kamu taruh di mejanya juga tidak apa-apa.” “Lho, kenapa nggak langsung Pak Herman taruh aja di sana? Ini kan pekerjaan Pak Herman, bukan saya.” “Y-ya kamu tahu lah kenapa. Saya takut.” “Kenapa takut sih? Pak Bastian kan baik, nggak suka gigit-gigit deh. Lagian juga dia kan sedang ga ada di ruangannya. Terakhir tadi saya cek dia pergi keluar sama Pak Indra buat meeting sama klien,” jelas Chelsea, memberi tahu hal ini karena barang kali pria itu belum tau. “Oh lagi keluar?” “Iya,” angguk Chelsea. “Nah, malah tambah kebetulan nitipnya. Langsung kamu taruh saja di meja kerjanya oke?” Kentara sekali jika Pak Burhan benar-benar tidak ingin pergi ke lantai tiga puluh. Sebenarnya Chelsea sedikit heran dengan para karyawan laki-laki yang ketakutan ketika bertemu dengan Bastian. Bisa-bisanya karyawan seperti itu? Sangat tidak profesional! Hmmm ... tekat Chelsea jadi semakin kuat untuk membuat Bastian jatuh cinta padanya dan kembali ke jalan yang lurus. Karena dengan begitu, Bastian pasti akan mendapatkan rasa hormat yang luar biasa alih-alih rasa takut dari para karyawan yang luar biasa. “Sebaiknya sih Pak Herman—“ “Aduh Chelsea saya mohon!” Tiba-tiba Pak Herman meraih tangan Chelsea dan menggenggamnya. Wajahnya menunjukkan isyarat permohonan yang sungguh-sungguh. “Saya trauma pergi ke sana! Jadi tolonglah. Ya ya ya? Nggak ada yang bisa kumintai tolong selain kamu.” “Tapi—“ “Please ... Nanti saya bayar deh seratus ribu. Bagaimana? Mau? Saya bayar cash! Tunggu, saya ambil dompet di laci.” Chelsea jadi tak bisa berkata-kata. Sebegitu mengerikannya kah untuk hanya pergi ke lantai tiga puluh dan meletakkan berkas ini di meja kerja Bastian? “Udah nggak usah Pak. Kalau takut banget, ya udah nanti saya yang taruh di meja Pak Bastian,” ujar Chelsea, menolak uang seratus ribu yang di sodorkan oleh Pak Herman dengan senang hati. “Nggak apa-apa terima saja. Lagian ini mungkin bukan pertama dan terakhir. Kamu mau kan nanti bawain berkas-berkas file saya ke ruangannya Pak Bastian? Ya, ya? Cuma kamu yang nggak takut sama beliau.” “Ah nggak ah Pak. Pokoknya ini yang pertama dan yang terakhir,” tolak Chelsea. “Lagian di mana-mana itu yang nyerahin laporan yang yang ngerjain laporan itu secara langsung. Jadi nanti kalau ada yang mau ditanya-tanya, bisa langsung di tempat dan waktu itu. Lebih efisien menghemat waktu dan tenaga.” Bukannya mendengarkan, Pak Herman justru mengibaskan tangan. Tak mau mendengarkan apa kata Chelsea. “Pokonya kamu saja yang nyerahin. Lagian tetap kok saya akan menemui Pak Bastian kalau memang ada perihal yang mendesak.” Chelsea memutar bola mata malas. “Terserah, deh!” ungkapnya yang kemudian berdiri. “Ya sudah kalau begitu saya kembali ke atas dulu.” “Oke, oke,” kata Pak Herman. “Sekali lagi terima kasih ya.” “Sama-sama, Pak!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN