13. Mantan

1189 Kata
Hari ini Chelsea telah selesai dengan penampilan yang menarik. Dia berdandan dengan make up minimalis, memakai rok span dan blazer gelap dilengkapi dengan high heels setinggi lima sentimeter. Rambut Chelsea sendiri digelung rapi di belakang, mirip seperti pramugari di pesawat maupun pegawai di hotel-hotel. “Suit ... suit ... Serius deh Chel. Kalau aku itu cowok, udah pasti aku jatuh cinta sama kamu!” puji Manda sambil bersiul. Berbeda dengan Chelsea yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat untuk interview, Manda justru baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah dan hanya dibungkus dengan kain handuk. “Iya, cuma kamu doang. Dan sayangnya kamu lahir di dunia ini dengan jenis kelamin perempuan,” jawab Chelsea. Dia duduk di meja makan dan mulai membuat sepotong sandwich dengan selai kacang kesukaannya. Manda terkekeh kecil. Dia menyusul duduk di seberang meja Chelsea. “Tapi beneran, kamu itu cantik. Seksi lagi.” “Seksi apaan. d**a aja gedean kamu!” tukas Chelsea yang langsung membuat Manda tertawa terbahak-bahak. “Kenapa dek? Mau aku kasih tutorial cara besarin d**a?” “Nggak usah makasih. Aku suka ukuran normal,” jawab Chelsea. Tinggal berdua selama bertahun-tahun membuat mereka terbiasa membahas hal-hal random seperti hal ini. Tidak ada rasa risih sama sekali karena mereka tahu mereka hanya sekedar membahas, bukan untuk yang lain-lain. Beberapa menit kemudian, baik Chelsea maupun Manda sudah tenggelam dalam obrolan ringan. Chelsea sempat menggerutu kesal sebab dengan tidak tahu diri Manda mencomot sandwich buatannya dan melahapnya hingga habis. “Bikin sendiri dong!” “Hehehe, sorry. Udah lapar banget soalnya.” Chelsea hanya mampu berdecak sebal, lantas membuat satu sandwich lagi untuknya sendiri. “Gajinya berapa? Udah tahu belum?” tanya Manda kemudian. Penasaran. “Belum, Man. Kan belum interview.” “Ya kali aja kemarin tertera juga di email,” tukas Manda. “Nanti kapan-kapan aku main ke perusahaanmu deh!” “Oke,” angguk Chelsea. Dia telah selesai makan. “Ya udah aku berangkat duluan. Bye Manda sayang!” pamit Chelsea. Tak lupa mengambil tas kecilnya yang berisi benda-benda penting. “Bye juga sayang. Semangat Chel!” balas Manda berseru. “Jangan lupa minta gaji yang banyak, kalau bisa yang di atasku!” tambahnya. Chelsea hanya mengibaskan tangan di udara saja, dan tak lama kemudian sosoknya sudah menghilang ke balik pintu keluar. *** Sebenarnya firasat Chelsea sudah tidak enak sejak bangun tidur tadi. Tapi perasaan itu sempat menghilang saat dia sarapan bersama Manda. Sekarang dia tidak tau kenapa firasatnya menjadi buruk kembali, bahkan jauh lebih buruk saat dia sudah mendekati perusahaan tempat dia akan melakukan sesi wawancara dengan HRD. PT Semen Empat Roda. Di sinilah akhirnya Chelsea berada. Gadis itu menatap bangunan yang menjulang tinggi mencapai langit sebelum kakinya melangkah masuk lebih jauh. Dia mengucapkan doa singkat dalam hati agar terhindar dari apapun yang firasatnya rasakan. “Permisi, Mbak. Saya mau ketemu bagian HRD karena ada jadwal wawancara kerja,” ucap Chelsea pada seorang resepsionist. “Nama saya Chelsea Olivia Putri, dan ini berkas-berkas data diri saya,” lanjut Chelsea sambil menyerahkan sebuah map berisi berkas-berkas yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan. “Terus ini juga email yang saya terima kemarin,” tambahnya sambil menunjukkan ponsel berisi email penerimaan kerja. “Oh oke, Mbak Chelsea. Ruangan HRD ada di lantai lima. Nanti lurus saja terus belok kiri. Setelah belok kiri nanti lurus, sampai ketemu dua belokan pertama kamu pergi ke kanan saja. Tapi jangan berhenti di belokan pertama karena itu toilet. Mbak Chelsea lurus saja terus sampai belokan berikutnya. Terus ... bla bla bla ...” Chelsea melongo saja selama resepsionis itu memberi arahan panjang kali lebar. Hampir-hampir tidak paham karena bingung. Kenapa ada seorang resepsionist seribet ini di dunia? Protes Chelsea dalam hati. “ ... Nah, sampai sana barulah ada ruang HRD. Tenang aja, di depan pintu ada tulisan HRD besar kok, jadi Mbak Chelsea nggak akan salah ruangan. Paham kan petunjuk arah dari saya?” tanya si resepsionis ramah. Meski penjelasan tadi sebenarnya membuat siapapun akan pusing tujuh keliling mendengarnya, Chelsea hanya mengangguk saja. “Iya, Mbak. Sip. Makasih.” “Sama-sama. Kalau ada yang perlu ditanyakan lagi, silakan tanyakan kembali ke sini, kepada saya,” senyum wanita itu ramah. Chelsea meringis, lalu cepat-cepat berbalik pergi dari sana. Benaknya terbesit seandainya dia ada sesuatu yang mau ditanyakan akan lebih baik jika dia bertanya pada orang lain dari pada kembali ke sana dan hanya akan mendengar jawaban yang memusingkan. Sampai di lift, Chelsea segera naik. Berdasarkan infromasi tadi ruang HRD ada di lantai lima. Maka Chelsea langsung menekan tombol lima tanpa ragu. Sesampainya di lantai yang dituju, Chelsea keluar. Dia celingukan ke kanan dan ke kiri, mencoba mengingat kembali petunjuk dari resepsionis tadi. Sia-sia, bukannya ingat Chelsea malah ingin membenturkan kepala ke tembok. Beruntung, saat itu ada seorang pegawai yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Dia berjalan membelakangi Chelsea. Merasa inilah kesempatan yang bagus untuk bertanya, Chelsea berlari mengejar pegawai tersebut. Setelah dekat, dia menepuk bahu pria itu. “Permisi, boleh tanya?” tanya Chelsea. Pegawai pria itu menoleh. Iris matanya langsung mengunci Chelsea. Tubuh keduanya membeku di tempat, terlalu tidak percaya dengan apa yang di lihat oleh masing-masing. “Chelsea?” “Brian?” Keduanya menyebutkan nama bersamaan. Lalu sama-sama membuang muka setelah itu. “Apa-apaan ini? Nggak cukup di luar jam kerja bahkan sekarang aku ketemu cowok b******k ini di sini? s**l banget!” gerutu Chelsea pelan sekali. “Kamu ngomong apa?” tanya Brian, memiringkan kepala untuk mendengar. “Nggak, bukan apa-apa. Cuma ... mau tahu aja kenapa kamu ada di sini?” “Justru aku yang harusnya nanya sama kamu. Kenapa kamu ada di perusahaan ini?” Brian menyipitkan mata, menyelidik terhadap Chelsea. “Jangan-jangan kamu masih nggak terima kita putus dan sekarang sedang menguntitku? Astaga Chelsea, aku nggak tau kamu seromantis ini,” kata Brian bangga. Merasa paling tampan sedunia. Chelsea sendiri menatap Brian ilfill, tidak habis pikir kenapa dulu dia begitu jatuh cinta pada pria ini. “Maaf ya, aku ke sini nggak ada hubungannya sama kamu tuh. Aku itu lagi nyari ruang HRD,” tukas Chelsea, merusak ekspektasi berlebihan dari sang mantan. “HRD? Emang kamu mau apa? Ngelamar kerja?” “Lebih tepatnya sudah diterima kerja di sini dan tinggal wawancara.” “Seriously?” tanya Brian tidak percaya. “Udah ah kasih tahu aja, ruang HRD sebelah mana? Kamu tahu nggak? Eh, kamu nggak tahu kali. Kamu kan—“ “Aku tahu,” sela Brian cepat. “Karena aku salah satu staff HRD.” Mata Chelsea terbelalak lebar mendengarnya. Bagaimana mungkin Brian tiba-tiba menjadi HRD di perusahaan besar ini? Seingat Chelsea dia dulu hanya mandor di sebuah pabrik tembakau. “Kamu pasti bercanda!” seru Chelsea refleks. “Serius, Chel. Dan jangan tanya bagaimana karena ceritanya ... akan menyakitkan untuk kamu dengar,” ucap Brian sok dramatis. “Ya sudah ayo ikut aku. Kebetulan aku juga mau kembali ke ruanganku. Santai aja, bukan aku yang akan wawancara kamu tapi temanku. Heran, kok dia nggak ada cerita nerima kamu kerja di sini?” Chelsea tidak menanggapi pertanyaan Brian. Bahkan ketika setelahnya Brian membicarakan banyak hal tentang hobinya akhir-akhir ini, Chelsea tetap diam. Sesekali Chelsea memutar bola mata karena jengah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN