Roland seketika berdiri mendengar Raziel mengatakan hal yang mungkin memiliki tujuan besar. Di belakang Raziel yang membelakanginya, Roland menyahut. “Yang Mulia. Tidak ada salahnya anda menikahi Aletta dan menjadikannya Permaisuri. Ini juga baik untuk menenangkan para bangsawan yang terus memberikan tekanan. Dengan anda menikahi Aletta—”
“Cukup, Roland! Jika kau memang mencintai Aletta. Tidak seharusnya kau mengatakan ini padaku!" Raziel menoleh ke belakang dengan napas berat. Matanya menatap nyalang pada Roland yang berdiri di belakangnya. "Apa kau tahu, dengan menyerahkan Aletta padaku, itu sama saja dengan memberikan luka besar padanya! Aku tidak mencintainya dan tidak akan mungkin!" Tegas sekali Raziel dalam mengatakannya. Kata-kata nya gamblang membuat Roland tersentak kaget, namun tetap saja diam.
Geram dengan sikap Roland yang pasrah, Raziel pun menekan kedua pundak Roland dan memberikan tekanan pada sorot matanya. Ia menatap tajam pada Roland dan memaksanya untuk mendengarkan nya.
"Sadarlah Roland! Rebut hatinya. Jangan sampai kau biarkan para orang tua kolot itu mengaturnya. Tunjukkan kalau kau pria yang dapat dipercaya untuk menjaganya! Dengan begitu, Aletta perlahan tahu dan mencoba membuka hatinya untukmu."
"Yang Mulia—" Tatapan Roland menyendu. Sosoknya yang selalu tegas dan penuh aura memikat itu seolah hilang di terpa angin bersamaan rasa bersalahnya karena telah berpikiran bodoh dengan menyerah tanpa berusaha berjuang untuk cintanya.
Baru kali ini jantung Roland berdetak kencang, tubuhnya gemetar hebat. Kata-kata yang Raziel ucapkan menggetarkan hatinya. Selama beratus-ratus tahun Roland memendam sendiri rasa cintanya pada Aletta. Namun hanya dengan beberapa patah kata Raziel, dia pun tersadar dan memiliki harapan untuk memperjuangkan cintanya.
“Apakah saya masih memiliki kesempatan untuk lebih dengan dengan Aletta? Dia begitu berharap dapat bisa bersama anda, Yang Mulia. Terlebih lagi, para Penatua pasti tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Karena yang mereka incar adalah posisi Ratu.”
Raziel melepas kedua tangannya dari pundak Roland, “Jangan pikirkan itu. Aku memiliki cara untuk membungkam mulut para Tetua jika mereka berani menekan ku dengan pernikahan.” Raziel kembali duduk di sofa dan melihat wine nya tinggal sedikit. Dia pun menuangkannya ke gelas. Namun sebelum meminumnya, ia teringat dengan beberapa hal. “300 tahun berlalu dengan kesendirian. Jika harus menunggu 100 tahun lagi sekalipun, aku tidak masalah.”
Beberapa saat suasana kembali hening. Roland diam memikirkan semua perkataan Rajanya. Sedangkan Raziel sendiri memikirkan kembali rencana selanjutnya, terlebih lagi para Tetua mulai menekannya untuk memilih Ratu. Hal itu membuat otaknya harus bekerja lebih ekstra.
Bukan perkara mudah untuk menenangkan para bangsawan kolot yang terus mendesaknya mengangkat Ratu. Walaupun posisinya adalah Raja, tapi bukan berarti dia memiliki segalanya tanpa terkecual. Nyatanya posisi Raziel tentu membutuhkan peran para Penatua dan bangsawan. Tanpa mereka, posisi Raja akan roboh saat itu juga. Bisa dibilang, Raziel adalah boneka bergerak yang mempunyai posisi tinggi namun tidak memiliki hak memberi keputusan.
‘Pada akhirnya aku hanyalah Raja yang dikendalikan oleh para orang tua kolot yang selalu melakukan apapun demi mempertahankan gelar bangsawan mereka. Sepertinya aku bertindak tegas kali ini atau mereka akan menekan ku lebih jauh dari ini.’
Kantor Perusahaan General High Corp.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.50. Sudah masuk waktu istirahat dan sepeninggalan Gladys dari kamar mandi karena menghindari Aletta, ia pun menghindari ruang kerjanya agar tidak bertemu dengan Gladys, setidaknya untuk sementara waktu dan memilih langsung ke kantin.
Namun, sepertinya semua itu tidak sesuai dengan yang Gladys harapkan. Begitu ia menginjakkan kaki di luar kantin, tangannya tiba-tiba saja di cekal dari belakang oleh telapak tangan besar. Cengkramannya membuat Gladys yang tadinya acuh pun terpaksa menghentikan langkahnya.
“Tunggu, pandaku. Kita harus bicara,” cegah pria yang tidak lain adalah Steven. Tangannya mencekal erat lengan Gladys hingga mengerang kesakitan.
“Augh! Steve, tolong lepaskan!” erang Gladys, ia terpaksa membalikkan badan dan dengan menggunakan tangan kanannya berusaha melepas cekalan Steven pada lengan kirinya. Dilihat lengannya sedikit membiru, tapi tidak dihiraukannya. Kedua manik matanya menatap benci pria di depannya. Dengan perasaan sakit, Gladys berkata. “Cukup Steve! Aku mohon. Berhenti menggangguku, setidaknya untuk saat ini. Biarkan aku sendiri dan berdamai dengan perasaan ku.” kedua iris mata Gladys menyendu dan basah, tapi tidak mungkin baginya untuk menjatuhkan air mata di depan pria yang telah melukai hatinya.
Mendengar ungkapan Gladys, Steven kaget dan menunjukkan raut wajah kaku, tubuhnya menegang sempurna. Namun, dia sebisa mungkin bersikap biasa di depan Gladys seolah tidak mengerti apapun. “Apa yang kamu katakan, Pandaku? Apa aku tanpa sadar telah melakukan hal yang menyakiti hatimu?”
Tidak ingin kehilangan kepercayaan Gladys, Steven meraih lengannya agar tidak kabur. Namun dengan tegas Gladys menepisnya. “Lepaskan! Jangan sentuh aku Steve! Kau benar-benar menyebalkan!” dengan tatapan kecewa, Gladys tersenyum hambar, “Pffft, hahaha… apa kamu sedang memerankan peran pria setia yang tidak tahu apapun kesalahanmu, Steve? Apa kamu tidak lelah terus membohongiku seperti ini dengan terus memanggilku Panda mu?! Cukup, Steve!”
Perkataan Gladys yang tidak di saring dengan suara menggelegar, rupanya menyita perhatian orang-orang yang tengah menikmati makan siangnya di kantin. Hal itu memang dihiraukannya, tapi tidak dengan Steven.
Dia pun berbisik, “Ap—apa maksudmu, Dys? Bisakah kamu ikut dengan ku dan menjelaskan duduk permasalahannya? Sungguh aku tidak mengerti maksud—”
“ … kamu tidak mengerti maksudmu meski kamu dengan santainya menyebarkan surat undangan pernikahan?!” perkataan Gladys nyolot. Ia mendekat pada Steven dan berbisik, “Steven Morgwen! Aku memanglah orang biasa yang tak memiliki kuasa. Tapi ingatlah! Aku bukanlah wanita yang mudah kau bodohi hanya dengan kata CINTA dan panggilan PANDA KU yang selalu kamu anggap panggilan sayang itu! Berhenti bertingkah bodoh seakan kau tidak tahu apapun!”
Seketika Steven membelalakkan kedua matanya. Dia kaget bukan main bahwa Gladys mengetahui tentang undangan pernikahan yang sedang disebarkan. “Ba—bagaimana kamu tentang undangan pernikahan itu? Tunggu, Dys. Aku bisa jelasin ini padamu.”
Seketika Steven panik karena Gladys tidak menunjukkan sedikitpun rasa simpati atau memberikan kesempatan padanya untuk menjelaskan. Dia sempat kalap dengan menahan kedua lengan Gladys agar tidak kabur darinya. “Dys … beri aku kesempatan. Aku mohon…” wajah Steven memelas.
“Cukup Steve! Aku tidak ingin mendengar penjelasan apapun darimu. Mumpung aku melihatmu, aku sekalian ingin mengatakan. KITA PUTUS! Tidak ada lagi hubungan apapun diantara kita. Selamat tinggal!”