Meja Sarapan Bergetar

1379 Kata
Menjelang tengah malam, ada yang menggedor pintu kamar keras sampai Nora terbangun kaget. Ia masih mengawasi sekitar, memandang langit-langit kamar yang dilukis menyerupai langit, lalu menyadari bahwa ia berada di kamar orang lain. Apalagi tidak ada meja rias di sudut kiri, hanya sebuah nakas minimalis biasa. Ini jelas bukan kamar pribadinya. “Nora, apa kau tidak ingin kembali ke rumah? Hah?” Ia mengenali suara itu. Tubuhnya yang masih melengkung di pinggir ranjang bergerak menuju ke pintu. Dengan tatapan setengah malas, ia membuka pintu kamar yang terkunci. “Iya, Ma. Tidak perlu teriak seperti itu!” “Kita akan merepotkan Taka kalau kamu ngotot tidur di sini. Ayo!” Vina yang memiliki tubuh lebih gemuk menarik lengan si anak gadis. Di dekat pintu rumah, Taka sudah terbangun dengan wajah yang tampak lelah, tapi ia masih berusaha menyunggingkan senyum. “Maaf merepotkanmu terus, Nak,” ucap Vina ramah sekali. Bahkan Nora memajukan bibir dua senti mendengar sang mama memanggil Taka begitu lembut. Sangat kontras bila dibandingkan dengan caranya memanggil Nora setiap hari. Mama pilih kasih, batin Nora masam. “Tidak apa-apa, Te. Aku tidak keberatan direpotkan, kok, “ jawab Taka ringan. Vina tersenyum lagi. “Kalau begitu, kamu harus ikut sarapan di rumah kami besok pagi, ya! Tadi aku beli gudeg kering di perjalanan buat sarapan besok pagi.” Taka mengangguk patuh. “Ya, terima kasih, Te.” Setelah mengucapkan terima kasih pada Taka secara pribadi, Nora bergerak mengikuti langkah Vina lebih dulu. Ia menoleh ke belakang sebentar dan menyadari Taka memperhatikannya sampai ke belokan pagar. Seharusnya kamu melihat Taka sebagai pria dewasa bukan tetangga saja. Nora mendadak teringat petuah Ino yang langsung membuat ia bergidik. Enyahlah! *** “Sarapan gudeg kering?” tanya Nora saat melihat menu khas Jogja itu tersaji di meja makan. “Makanlah apa yang ada, Nora!” tegur Vina galak. Nora memutar bola mata bosan, lalu duduk di samping Taka yang memenuhi undangan sarapan keluarga itu. “Mama sangat sibuk sehingga tidak punya waktu untuk memasak sendiri. Aku paham, kok,” ujar Nora sengaja. Menyindir sang mama di depan orang lain memang keterlaluan, tapi ia merasa kesal luar biasa. Sebagai single parent, Vina memang sangat sibuk bekerja mengurus bisnis kue yang memiliki cabang baru sehingga jarang memasak di rumah. Kadang-kadang keluarga kecil itu memanggil ART kocokan untuk membersihkan rumah, memasak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. “Ayolah, Nora. Besok Mama pesan katering sehat untuk kamu, ya!” Nora masih cemberut begitu menatap gudeg kering itu. Ia tidak terlalu suka gudeg, tapi ia tidak menolak sepuluh tusuk sate klatak. “Masih ada waktu setengah jam untuk pergi ke sekolah, ‘kan?” tanya Taka yang memecah suasana kurang menyenangkan di meja makan, lalu memandang Nora yang masih bermuka masam. “Mau omelet sayur?” tawar Taka lagi mengerling pada Nora. “Eh?” ulang Nora tidak paham. Taka mengeluarkan kotak makan dari dalam tas, lalu menyodorkan bungkusan itu pada Nora yang mengernyit. “Kamu bisa sarapan omelet sayur di sekolah nanti.” Nora memandang takjub pada bekal makan itu, lalu mendongak pada Taka yang mulai mengambil sepiring gudeg kering. “Ini bekal makan siangmu, ‘kan?” Nora jelas merasa tidak enak pada Taka, tapi pria itu hanya mengangguk kecil. “Tidak apa-apa. Sesekali aku perlu makan di kantin atau makan di luar, ‘kan?” Nora tersenyum lemah. “Sebenarnya, tidak perlu, Mas.” “Tidak apa-apa. Aku tidak begitu suka omelet.” Nora memandang Taka tidak percaya. “Tidak suka omelet, tapi kamu bikin omelet.” Taka tertawa renyah. “Sebab omelet lebih simpel daripada menu lain, lho!” Sesaat tidak ada yang bicara lagi sebab Taka dan Vina sibuk menikmati sarapan, sedangkan Nora hanya menikmati segelas s**u rendah kalori. Baru beberapa teguk saja, Vina membuyarkan konsentrasi dengan menanyakan sesuatu yang langsung membuat perut Nora mulas. “Kapan hasil SNMPTN diumumkan, Nor?” Kepala Nora terangkat, tapi ia tidak mengeluarkan jawaban yang membuat Vina menunggu lama. “Kamu sudah mengisi formulir kemarin, ‘kan? Jadi, ambil jurusan Ekonomi, to?” Vina mulai mengintogerasi. Topik obrolan baru itu membuat suasana meja makan agak berubah. Taka bisa merasakannya, maka ia memutuskan untuk berhenti menyuapkan cecek favorit ke dalam mulut. Perhatian pria itu teralih pada Nora yang masih enggan menjawab pertanyaan Vina. “Err …,” jeda Nora yang menatap mata Vina dengan sisa keberanian yang ada. Gadis manis itu mengambil sesuatu dari tas yang diletakkan di bawah kursi, lalu mengambil amplop coklat dan meletakkannya di atas meja. “Aku tidak ingin kuliah jurusan Ekonomi, Ma.” “Nora!” tegur Vina dengan nada yang mulai meninggi satu oktaf. “Aku punya mimpi sendiri dan Mama tidak bisa memaksaku untuk mengambil jurusan kuliah yang tidak aku minati.” Vina melotot. “Kamu harus melanjutkan bisnis Mama. Kita perlu tenaga keuangan yang kredibel untuk mengurus manajemen perusahaan nanti. Mama ingin kamu bisa melakukan itu.” “Mama tidak pernah mengerti aku!” sahut Nora tidak kalah tinggi. Dadanya agak kembang kempis sebab menahan emosi yang meluap. Sudah lama ia ingin mengatakan pada Vina mengenai masa depan yang ia inginkan itu. “Kamu yang tidak mengerti kemauan Mama. Mama melakukan segala hal yang terbaik untuk masa depan kamu. Mama sibuk bekerja untuk kamu!” “Mama selalu begitu,” protes Nora kecewa. “ Sibuk bekerja sampai tidak punya waktu untukku.” “Mama harus bekerja untuk menghidupi kamu, Nora. Mama sendirian, kamu tahu itu!!!” Nora menatap Vina dengan bola mata yang berkaca-kaca. Air sudah nyaris membuncah keluar dan membuat bendungan akan ambrol sebentar lagi, menciptakan banjir bandang yang meluap. “Itu tidak akan terjadi bila Mama tidak menceraikan Papa.” “Nora!” Nora yang sudah emosi langsung mengambil tas, lalu pergi meninggalkan meja makan tanpa bicara lagi. Vina menatap sedih kepergian sang putri semata wayang itu, lalu ia menatap Taka dengan bibir yang bergetar seolah mengucapkan kata maaf. Seharusnya pertengkaran ibu dan anak macam itu tidak terjadi di meja makan. “Maafkan kami, Taka!” Taka mengangguk kecil, lalu berkata lirih, “Hanya perlu waktu untuk membuat Nora memahami situasinya, Te. Aku akan mengantar Nora ke sekolah.” Vina menatap Taka lagi. “Terima kasih, kamu sangat baik pada kami.” Taka tersenyum lemah, lalu mengambil kotak makan berisi omelet sayur yang Nora lupakan tadi. Buru-buru ia mengejar Nora yang sudah keluar lebih dulu menuju ke SMA Cendekia. *** “Ini,” ujar Taka menyerahkan helm bogo begitu pria itu berhasil mengejar Nora yang sudah berjalan sampai ke pos satpam. Nora memicingkan mata dan menyahut ketus, “Aku alergi debu.” “Tinggal lima belas menit lagi atau kamu akan terlambat masuk ke sekolah.” “Bodo amat,” sahut Nora masih tidak bisa menahan amarah. Taka menarik lengan Nora, meminta gadis itu berhenti. Tanpa permisi, ia memasangkan helm bogo di kepala Nora, lalu menarik si gadis duduk di kursi belakang. “Pegangan erat, ya! Aku mau ngebut,” ucap Taka melirik pada jam di pergelangan tangan kanan. Lima belas menit menghadapi kemacetan Jogja pada pagi hari membuat Taka mencari ide menelusuri jalan alternatif. Mereka nyaris terlambat, tapi Taka berhasil tiba di depan pintu gerbang sekolah yang belum ditutup. “Jam tujuh kurang lima menit. Lumayan cepat juga,” ujar Taka saat ia melepas helm Nora yang masih manyun. “Thanks,” bisik Nora singkat. Taka mendekatkan kepala pada Nora yang agak kaget, lalu buru-buru memundurkan wajah. Laki-laki berperawakan jangkung dengan berat badan kurang proporsional itu tersenyum tipis, lalu berdeham, “Tante Vina melakukan yang terbaik untukmu.” “Kamu pasti membela Mama. Akan selalu begitu,” sahut Nora semakin ketus. Taka tidak ingin berdebat, maka ia mengambil kotak makan yang ada di penyimpanan jok, lalu menyerahkannya pada Nora yang tampak terkejut. “Kamu belum sarapan tadi. Makanlah pas jam istirahat nanti! Oh ya, nanti aku jemput di sini. Kamu tidak perlu naik bus, ya!” “Eh?” Taka tidak menyahut, tapi ia segera menaiki motor matic putih itu, kemudian melaju meninggalkan Nora yang mematung di depan pintu gerbang. Ia baru tersadar begitu mendengar suara bel yang berdering dari kejauhan. “Alamak! Aku bisa terlambat masuk kelas!” “Nora, tunggu! Hei!” Nora terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Ia bisa mendengar suara Indra yang sangat menganggu di belakang punggung. Cowok itu benar-benar sulit menyerah! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN