Awal Cerita Baru

1145 Kata
“Halo, Nora,” ucap Taka pertama kali, kemudian ia melihat pada Ino yang memiliki tinggi lebih rendah dari Nora dan melanjutkan, “Ino.” “Hai, Mas Taka,” ucap Ino langsung memamerkan deretan gigi putih yang rapi. “Oh,” timpal Nora agak bingung, ”hai, Mas Taka.” “Pulang sekolah?” Nora jelas tahu pertanyaan itu sekadar basa-basi. Namun, bukankah Taka jarang melakukan basa basi konyol macam itu? “Iya,” sahut Nora singkat yang membuat Taka menautkan alis. Di samping Nora yang agak jutek, Ino menyodok lengannya keras. Nora mendelik pada sang sahabat yang memang tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka. “Mau pulang bersama denganku? Tante Vina menitipkan kunci rumah kalian padaku. Ia bilang akan pulang terlambat nanti. Aku bawa motor sendiri kalau kamu tidak keberatan. Jadi, kamu tidak perlu naik bus.” “Apa?” Nada suara Nora meninggi sampai membuat penjaga toko buku melirik jengkel. Hanya tinggal menunggu waktu ia bakal diusir dari toko itu. Beruntung mereka berkunjung pada hari Selasa sehingga kondisi toko buku tidak seramai akhir pekan. “Sebaiknya kamu selesaikan urusanmu dulu,” ujar Taka melirik pada deretan buku new arrival yang ada di rak belakang Nora. Setelah kepergian Taka kembali ke sudut semula, Ino menyenggol lengan Nora secara sengaja. “Kamu memang membiarkan pria itu sengsara lama sekali, Nor.” “Aku sudah mengatakan berapa kali padamu, Ino, kami hanya berteman. Toh, aku tidak tertarik pada pria yang lebih tua sepuluh tahun dariku,” bisik Nora pelan sekali. “Ia sudah menunjukkan hal itu padamu berulangkali, Nor. Kamu saja yang tidak begitu peka. Tidak ada salahnya berkencan dengan pria dewasa. Kamu tahu, pria dewasa jauh lebih berpengalaman dibandingkan berondong.” Nora menggeleng keras-keras. “Ia tidak akan pernah membawa teman wanita ke rumah kalau mengharapkan gadis sepertiku.” “Kalau begitu kamu harus memenuhi tipe standar Taka. Kamu lihat bagaimana lengan kokoh dibalik kemejanya tadi. Aku membayangkan kalau diriku—“ Mata Nora memicing. “Mulai deh, genit!” Ino tersenyum lebar. Jelas sang sahabat puas menggoda Nora yang memang tidak pernah punya pacar selama SMA. Terlalu lama mengharapkan Rendi yang sama sekali tidak meliriknya. Ino sampai jengkel membuat Nora sadar bahwa cowok di dunia bukan hanya Rendi. Duh! “Ah, sebaiknya aku memang pulang bersama Taka saja. Terlalu lama bergaul denganmu bisa membuat aku ikutan tidak waras hari ini,” komentar Nora yang langsung mengembalikan buku ke rak. “Ia punya bibir yang seksi, lho!” bisik Ino yang membuat telinga Nora langsung merah. Melenggang pergi, Nora tidak mendengarkan komentar Ino lagi begitu ia menghampiri Taka yang menunggu di dekat kasir. “Sudah selesai?” tanyanya ramah. “Ayo pulang bersama! Aku tidak ingin tertular virus Ino.” Taka mengernyit tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Pria yang memiliki tinggi satu kepala di atas Nora itu hanya melambai pada Ino yang balas melambaikan tangan lebih ceria. Kebalikan dengan Ino, Nora mengabaikan isyarat sang sahabat untuk menggandeng tangan Taka. Berteman sejak SMP membuat Nora paham karakter Ino. Gadis yang memiliki lesung pipi itu bisa menjadi gadis SMA paling tidak waras yang ia kenal. Bila ia melayangkan protes, maka Ino akan menjawab bahwa mereka sudah legal. Mereka sudah berusia 18 tahun, sudah memiliki kartu identitas dan berhak menentukan hidup sendiri, begitu pembelaannya. “Nora, jangan terlalu lama mengabaikan dessert yang manis!” Nora menyesal membuka voice note yang dikirimkan Ino sesaat ia tiba di halaman parkir. Benar, ‘kan? Ino memang sudah tidak waras! Nora benar-benar merasa wajahnya terbakar api di depan Taka saat pria itu menautkan alis mendengar VN Ino. *** “Baik, Ma,” balas Nora dengan nada kesal, lalu mematikan sambungan telepon itu. Gadis yang masih memakai seragam abu-abu itu mendudukkan diri di sofa merah milik Taka. Menunggu kepulangan sang mama jelas membosankan bila ia berada di rumah sendirian. Katakan saja ia penakut, maka ia memilih menunggu di rumah Taka. Mereka sudah bertetangga sejak beberapa tahun terakhir dan Vina sangat mempercayai Taka dalam hal apa pun. Seperti kakak laki-laki untuk Nora yang semata wayang, sudah dianggap keluarga sendiri, begitu kata Vina setiap Taka diundang makan malam di rumah mereka. “Mas Taka, bolehkah aku menginap di sini nanti malam?” tanya Nora ragu-ragu, kemudian buru-buru menjelaskan saat Taka mengangkat sebelah alis, “kalau Mama benar-benar pulang sampai larut.” Taka berdeham ringan. “Tentu saja. Tante Vina sudah mengatakan hal itu, kok.” “Ah,” ucap Nora cerah. Setidaknya ia tidak harus tinggal di rumah tanpa siapa pun. Kompleks perumahan mereka terbilang aman dengan petugas keamanan yang berjaga di pos dekat gerbang masuk, tapi Nora tetap takut berada di rumah sendirian. Apalagi sang mama memang sibuk mengurus cabang baru, ia terpaksa harus mengusir rasa takut dengan main ke rumah Taka atau menginap di rumah Ino. “Kamu bisa tidur di kamarku nanti malam.” “Bagaimana denganmu?” tanya Nora yang dilanda perasaan tak enak. “Aku bisa tidur di ruang tamu. Kamar Ibu sudah lama tidak terpakai, tapi aku belum membersihkannya dengan baik.” Nora mengangguk saja. Rumah Taka memang minimalis sebab hanya memiliki tiga kamar tidur saja. Satu kamar lebih besar untuk kamar pribadi laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu, sedangkan kamar tamu digunakan untuk menaruh semua benda kesayangannya. Ada kamar milik mendiang Tante Mira dulu, tapi Taka tidak pernah menggunakannya sejak sang ibu berpulang setahun lalu. “Maafkan aku, ya!” bisik Nora lirih sekali. Teringat ia yang berhenti mengunjungi rumah Taka sejak seminggu terakhir hanya karena pria itu tampak tidak ramah saat ia mengatakan ingin menembak Rendi. Kata-kata yang terucap mungkin bagian dari khilaf yang manusiawi, tapi Nora terlalu berlebihan. Ia menganggap Taka tidak memahami perasaannya saat itu. “Apa aku pernah tidak memaafkanmu?” Taka mengacak rambut hitam Nora penuh sayang. “Hehehe,” gelak Nora. Taka sudah seperti kakaknya sendiri sejak Nora masih kanak-kanak. Bagi Nora, rumah Taka seperti rumah kedua yang selalu terbuka untuknya. Taka juga tidak keberatan membantu semua pekerjaan rumah Nora. Ia pandai sekali melakukan riset dan senang membantu Nora belajar, apalagi otak gadis itu tidak begitu encer. Bisa dikatakan nilai Nora sedang-sedang saja, tidak bisa dikatakan bagus tapi tidak terlalu buruk juga. Keberadaan Taka yang selalu membantu Nora benar-benar mirip kakak sendiri. Kini Nora merasa sangat bersalah pada Taka yang masih mau menampungnya setelah mereka tidak bertegur sapa seminggu ini. Kebaikan hati pria itu benar-benar tulus. Tidak heran bila Vina begitu percaya pada Taka untuk menjaga Nora. Selama bertahun-tahun tinggal berdampingan, terkadang menginap di rumah Taka pun, Nora merasa aman. “Oh ya, bagaimana rencanamu menembak Rendi minggu lalu?” tanya Taka tiba-tiba yang langsung membuat perut Nora terasa jungkir balik. “Eh?” Kedua alis Taka kembali bertaut menunggu jawaban. Dilanda perasaan gundah sekaligus malu, Nora mencoba tersenyum samar. “Apakah kalian sudah jadian?” ulang pria berwajah oriental itu. Oh God, Nora bahkan lupa kalau ia belum menceritakan bagian itu pada Taka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN