CHAPTER THREE

3063 Kata
“Baru pulang ya? Gimana kegiatan kamu hari ini?”  Suaranya mengalun dari balik ponsel yang sedang aku tempelkan di telinga, suara kekasihku ... Raefal yang sudah 2 minggu lamanya tidak kutemui. Dia pergi ke Tianjin, China, untuk mewakili perusahaan tempatnya bekerja menerima penghargaan.  Lagi-lagi membuatku bangga padanya. Bisa dibayangkan dari sekian banyak karyawan yang bekerja di perusahaan itu, Raefal-lah yang terpilih untuk terbang ke China menerima penghargaan itu. Padahal jika kuingat-ingat kembali, baru sekitar satu setengah tahun dia bekerja di perusahaan itu.  Ternyata talenta dan kecerdasan tak akan menipu hasil. Meskipun terhitung sebagai pekerja baru tapi jika kemampuannya bisa diandalkan oleh perusahaan, tentu bukan sesuatu yang mustahil para pekerja senior pun bisa dikalahkan olehnya.  “Indira,” panggilnya, aku tersenyum tipis saat menyadari betapa bodohnya aku, saat sedang bertelepon ria seperti ini pun masih bisa-bisanya aku melamun.  “Maaf, ada yang aku pikirin barusan,” jawabku, mencoba untuk jujur. “Mikirin apa? Pasti mikirin aku ya? Kamu kangen sama aku?” tanyanya bertubi-tubi dan terdengar menyebalkan karena dia terlalu percaya diri. Diam-diam aku terkekeh di sini.  “Kapan kamu pulang ke Indonesia?”  Aku mencoba mengalihkan pembicaraan daripada harus meladeni dirinya yang pasti akan semakin besar kepala jika tahu aku memang merindukannya di sini.  “Hm, aku udah ada di Indonesia kok.” “Haah? Serius?” Aku terpekik kaget. Jika dia benar sudah pulang ke Indonesia, kenapa dia tidak memberitahuku?  “Iya, aku udah di Indonesia. Baru nyampe kemarin sore.” “Kenapa gak ngasih tahu?” “Sengaja, buat kejutan. Kamu udah di rumah kan sekarang?”  Aku mengerucutkan bibir, kesal karena sikapnya yang sering seperti ini. Diam-diam melakukan sesuatu tanpa memberitahuku terlebih dahulu.  “Kamu kebiasaan kayak gitu. Aku gak suka ya kamu nyembunyiin sesuatu dari aku kayak gini,” ucapku sedikit ketus, sengaja agar dia menyadari perasaanku yang sedang jengkel padanya. Kudengar dia terkekeh di seberang sana.  “Bukan kejutan namanya kalau ngasih tahu dari awal udah pulang ke Indonesia,” jawabnya. “Aku gak suka kejutan-kejutan kayak gini. Aku lebih suka kamu ngomong jujur sama aku. Ngasih tahu semua kegiatan kamu sama aku. Aku juga gitu kok, semua kegiatan aku sehari-hari suka aku ceritain sama kamu.”  Dia kembali terkekeh di seberang sana, sukses menyulut emosiku semakin naik ke permukaan.  “Aku males kalau kamu kayak gini. Kebiasaan gak bilang-bilang kalau ada apa-apa.”  Aku hendak memutuskan sambungan telepon, jika saja suara lirihnya tak tertangkap indera pendengaranku.  “Maaf, aku gak akan nyembunyiin apa-apa lagi dari kamu,” katanya. Aku memicingkan mata di sini tanpa sepengetahuannya. “Janji dulu, mulai sekarang kalau ada apa-apa kamu langsung cerita sama aku. Jangan ada yang disembunyiin apalagi dirahasiain. Langsung cerita kalau punya masalah. Kita harus saling berbagi, itu fungsinya menjadi pasangan,” ujarku panjang lebar. “OK, Sayang. Aku janji.”  Aku pun tersenyum puas mendengarnya.  “Sekarang kamu ada di mana?” “Coba tebak di mana?” Dia bertanya balik padaku dengan nada suara jahilnya. Aku memutar bola mata malas. “Jangan bilang kamu lagi di rumah aku. Kamu lagi ngumpet ya di salah satu ruangan di rumah aku?”  Kulangkahkan kaki menelusuri rumahku. Membuka satu demi satu pintu ruangan yang berjarak paling dekat dengan tempatku berada.  “Raefal,” panggilku karena tak terdengar lagi suaranya di seberang sana meski setelah kupastikan telepon masih tersambung.  “Kamu beneran lagi sembunyi di rumah aku? Cepet keluar, candaan kamu gak lucu. Gak lucu sama sekali, nyebelin malah. Aku gak suka main kucing-kucingan kayak gini.”  Aku menggerutu sedangkan kakiku tak hentinya melangkah dan tanganku tak hentinya membuka satu demi satu pintu ruangan di rumahku. Tapi sosoknya tak kutemukan di mana pun.  “Coba sekarang kamu pergi ke kamar kamu,” katanya, akhirnya kembali menyahut.  Sudah kuduga, dia memang sedang bersembunyi di rumahku. Sungguh ini sama sekali tidak lucu.  Aku menuruti perkataannya, aku bergegas menaiki tangga menuju kamarku yang terletak di lantai dua.  “Aku bakalan pukul wajah kamu ya bentar lagi. Ini aku udah berdiri di depan pintu kamar.” “Kalau mau mukul, kenapa harus bilang dulu? Kamu lucu banget. Harusnya pukul aja langsung gak usah bilang-bilang dulu supaya aku kaget. Gak seru dong kalau aku keburu tahu kamu mau mukul aku. Gimana kalau aku kabur sebelum kamu bisa mukul aku?” “Ck, berisik. Kamu nyebelin,” sahutku jengkel karena di seberang sana dia sedang menertawakanku.  Tanpa membuang waktu lagi, aku pun membuka pintu kamar. Bersiap-siap melontarkan makian pada kekasih jahilku itu. Namun, tak kutemukan sosoknya di dalam kamar. Kamar itu kosong seperti biasanya karena hanya aku yang boleh masuk ke kamar ini.  “Kamu kok gak ada di kamar aku? Kamu sebenarnya ada di mana?”  OK, aku mulai geram sekarang. Raefal sepertinya benar-benar sedang menjahiliku.  “Kamu nyalain radio. Kamu bakalan denger suara aku bentar lagi.”  Setelah itu sambungan telepon terputus, dia memutuskannya sepihak. Aku menggerutu memandangi layar ponsel. Meski hatiku kesal bukan main dengan permainan konyol pacarku ini, tapi toh aku tetap mengikuti perkataannya.  Kunyalakan radio di kamar. Membiarkan musik mengalun dari station radio favoritku. Sudahkah aku mengatakan bahwa aku memiliki hobby mendengarkan radio? Entah itu mendengarkan musiknya atau acara-acara lainnya yang disiarkan di station radio kesayanganku ini. Karena itu, begitu kunyalakan radio akan langsung terhubung dengan station radio kesayanganku itu.  Aku melemparkan tas selempang ke atas kasur. Membuka kardigan yang membungkus tubuhku, kubiarkan tubuhku hanya terbungkus kaos tanpa lengan dan celana jeans biru tua yang super ketat ikut membungkus kakiku.  Aku baru pulang dari rumah sakit. Setelah lulus kuliah keperawatan, aku memutuskan untuk bekerja. Terhitung sudah hampir satu tahun aku bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Jakarta.  Ketika kupikir tidak ada salahnya aku merebahkan diri di kasur empukku sejenak untuk menghilangkan rasa lelah sebelum aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, aku tersentak kaget saat mendengar suara Raefal.  Ya, aku sangat yakin baru saja mendengar suaranya, bukan di kamarku, bukan pula di telepon melainkan ... dari radio.  Cepat-cepat aku melangkah menjauhi ranjang, beralih menduduki kursi yang kuletakan tepat di dekat radio.  Setelah kuperhatikan lagi, benar suara Raefal terdengar di radio. Sepertinya dia sedang mengikuti acara wawancara di sana. Mungkinkah pacarku itu sedang ada di studio radio? Sepertinya dia memang ada di sana mengingat acara talkshow ini memang acara live.  Awalnya kudengar mereka membahas tentang bisnis, tentang penghargaan dari China yang diterima perusahaan tempat Raefal bekerja. Hingga kini mereka mulai membahas tentang kehidupan pribadi seorang Raefal Shahreza. Aku di sini masih setia mendengarkannya, tetap duduk di kursi yang kuletakkan tepat di depan radio.  “Kamu udah punya pacar?”  Pertanyaan yang ditujukan host pada Raefal terdengar mengalun. Jantungku entah kenapa berdetak lebih cepat dari biasanya saat untuk beberapa detik suara Raefal tak terdengar, seolah dia ragu untuk menjawabnya.  “Udah.”  Aku pun mengembuskan napas lega begitu jawabannya akhirnya bisa kudengar.  “Udah lama kalian pacaran?” “Hm, lumayan. Kita berdua udah pacaran sejak masih kelas 3 SMA. Bisa dibilang ini tahun ketujuh kami pacaran.” “Woow ... itu sih lama banget. Kok bisa langgeng gitu ya? Kasih tahu dong rahasianya. Pasti pemirsa di rumah juga pengen dengar.”  Aku meneguk saliva mendengar pertanyaan sang host, lebih tepatnya penasaran ingin mendengar jawaban Raefal.  “Intinya harus menjaga kepercayaan. Kalau kita saling percaya, mencoba saling memahami kondisi masing-masing, pasti hubungan akan langgeng.”  Tanpa sadar aku menganggukan kepala, setuju dengan jawaban brilian Raefal.  “Dia tipe cewek kayak gimana?” Sang host kembali bertanya. “Pasti dia cantik banget ya?” lanjutnya.  Lagi-lagi aku yang merasa gugup menantikan jawaban Raefal. Bisa dibilang inilah pertama kalinya aku mendengar pendapat Raefal tentangku di hadapan banyak orang.  “Dibilang sangat cantik sih nggak, itu berlebihan. Dia cantik tapi pasti masih banyak cewek yang jauh lebih cantik dari dia di luar sana,” jawabnya, aku memberengut di sini. Entah mengapa aku tak suka mendengar jawabannya ini.  “Tapi ada beberapa hal yang membuatnya spesial di mataku,” lanjutnya. Aku seketika tertegun. “Oh, iya? Apa itu? Bisa disebutkan?” pinta sang host, permintaan serupa yang kini menari-nari di dalam kepalaku.  “Dia ... punya inner beauty yang bikin aku tergila-gila sama dia. Hatinya baik dan lembut banget. Dia selalu ngertiin di saat aku gak bisa selalu ada di deket dia saking sibuknya, dia gak pernah ngeluh apalagi marah. Dia juga tipe cewek pemaaf, gak kehitung seringnya aku bikin kesalahan sama dia. Tapi dia selalu bisa maafin aku.” Raefal menjeda ucapannya, sedangkan aku di sini menahan napas, tak percaya dia mengatakan semua ini di depan publik.  “Dia juga cewek mandiri, selalu berusaha mewujudkan keinginannya dengan caranya sendiri. Sesulit apa pun kondisinya tanpa merepotkan orang lain. Dia juga tegar dan sabar. Hebatnya lagi, dia selalu berpikir positif setiap kali menghadapi masalahnya. Tujuh tahun pacaran sama dia, aku jelas tahu seberat apa masalah yang pernah dia hadapi, tapi dia gak pernah menyerah. Dia selalu nyari jalan keluar untuk tiap masalah dia tanpa minta bantuan orang lain.”  “Woow ... dia cewek hebat ya?” sahut host. Kudengar Raefal bergumam mengiyakan.  “Bukan hanya itu aja sih spesialnya dia di mata aku. Dia itu orang yang paling memahami aku baik sifat aku, tabiat aku, kepribadian aku. Intinya dia selalu tahu aku lagi punya masalah tanpa perlu repot-repot cerita sama dia.”  “Waah ... hebat banget ya cewek kamu. Jangan-jangan dia punya kemampuan cenayang?”  Aku terkekeh geli mendengar candaan host radio. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu tentangku.  “Hahahaha ... bisa jadi. Tapi kayaknya dia yang terlalu kenal aku luar dalam yang bikin dia bisa tahu suasana hati aku hanya dengan ngelihat ekspresi wajah sama sikap aku. Menurut aku sih gitu,” jawab Raefal yang lagi-lagi membuatku tersipu malu di sini.  “Berarti kamu beruntung ya punya cewek kayak dia?” “Iya, beruntung banget. Oh, iya. Boleh gak aku ngomong sesuatu sama dia di sini?”  Aku membulatkan mata saat mendengar permintaan Raefal ini. Apa yang ingin disampaikannya padaku? Aku coba memfokuskan pendengaran, tak ingin ada satu pun kata-katanya yang terlewat.  “Hallo Indira Gianina, aku tahu kamu pasti lagi duduk di depan radio kamu sambil senyum-senyum sendiri kan sekarang?” katanya, aku terenyak kaget, darimana dia mengetahuinya? Tanpa sadar aku menganggukan kepala.  “Aku mau bilang maaf karena selama ini aku udah sering ninggalin kamu, apalagi sejak aku mulai kerja. Aku jarang banget bisa habisin waktu berduaan sama kamu. Kebiasaan aku yang sering jahilin kamu juga, pasti bikin kamu kesel, kan? Tapi kamu selalu sabar ya ngadepin aku yang kayak gini? Makasih ya, Sayang.”  Senyumanku semakin lebar tanpa dia ketahui, meskipun berbanding terbalik dengan kedua mataku yang mulai berkaca-kaca.  “Aku tahu gak ada orang sempurna di dunia ini, termasuk aku dan kamu juga. Tapi di mata aku, gak ada cewek yang bisa nandingin kamu di hati aku. Ibaratnya hati aku itu sebuah ruangan, cuma kamu yang bisa masuk ke ruangan itu karena kunci pintu ruangan cuma kamu yang pegang. Intinya gak akan ada cewek lain yang bisa gantiin posisi kamu di hati aku.”  Sungguh kali ini aku meneteskan air mata, aku terharu mendengar kata-katanya.  “Makasih ya, Indi, selama ini kamu selalu ada buat aku. Selalu dukung aku, ngertiin aku, nerima aku apa adanya di saat aku punya segudang kekurangan. Bagiku kamu sempurna banget. Cuma nama kamu yang aku sebut dalam doaku, memohon sama Tuhan supaya hingga ajal menjemput, kamu selalu ada di samping aku.”  Suara isak tangisku mulai mengalun di dalam kamar, bahkan lelehan air mata tak bisa kubendung lagi.  “Gak kerasa ya, udah tujuh tahun loh kita pacaran. Boleh kan aku mulai mikirin menjalin hubungan yang lebih serius sama kamu? Kamu udah siap belum?” tanyanya yang sayangnya tak bisa kujawab sekarang. Dia berada jauh dariku, seandainya dia ada di sini bersamaku sekarang, pasti akan kujawab tanpa ragu pertanyaannya ini.  “Ya, ya, aku tahu kamu pasti lagi kesel sekarang, aku nanya kayak gini padahal aku gak lagi ada di sana. Lagi gak ada di deket kamu.”  Aku terbelalak lagi, untuk kesekian kalinya dia bisa menebak dengan tepat pemikiranku. Bukankah harusnya host radio itu lebih mencurigai Raefal yang memiliki kemampuan cenayang dibandingkan aku?  “Aku pengen denger jawaban kamu sekarang juga. Jadi, bisa kan sekarang kamu keluar dari kamar kamu. Pergi ke halaman belakang rumah kamu, di sana lilin-lilin akan menuntunmu padaku.”  Aku mengerjap-ngerjapkan mata kali ini, tak paham sedikitpun maksud perkataannya.  “Aku tunggu jawaban kamu ya. Telepon ke station radio ini buat ngasih aku jawabannya. Aku tahu kamu punya nomor telepon station radio kesayangan kamu ini.”  Spontan aku bangun dari posisi duduk, berniat melangkah menuju pintu.  “Aku kasih waktu 15 menit ya. Dan 15 menit kamu dimulai dari sekarang,” lanjutnya sukses membuatku tersentak kaget untuk kesekian kalinya.  “Raefal sialan!!” teriakku seraya cepat-cepat berlari keluar dari kamar.  Halaman belakang menjadi tujuan utamaku sekarang. Begitu kubuka pintu yang akan membawaku ke halaman belakang rumah, aku tak tahu harus mengekspresikan keterkejutanku seperti apa.  Di depan sana ... kulihat pohon-pohon yang tumbuh di halaman belakang rumah sudah dihias sedemikian rupa. Banyak balon warna-warni yang diikat di sana. Cahaya lampu-lampu yang menghiasi pohon-pohon itu berkerlap-kerlip layaknya bintang-bintang di langit sana. Halaman rumahku yang biasanya tampak gelap dan suram di malam hari, kini terlihat gemerlap layaknya taman hias.  Yang membuatku semakin takjub, ada lilin-lilin dalam keadaan menyala yang diletakan di sepanjang jalan.  Aku ingat Raefal mengatakan lilin-lilin ini akan menuntunku padanya. Lantas tanpa berpikir dua kali, aku pun mengikuti lilin-lilin itu.  Lilin berhenti tepat di sebuah pot bunga mawar merah. Ketika kuperiksa pot itu, aku terenyak saat menemukan sebuah amplop. Cepat-cepat kuambil amplop itu, melihat isinya.  Selembar fotolah yang kutemukan di dalam amplop. Aku ingat foto ini. Foto diriku dan Raefal yang pergi ke salah satu Mall, lalu kami mengambil foto bersama di sebuah foto box. Raefal tiba-tiba mencium pipiku tepat di saat kamera memotret kami.  Beginilah jadinya penampakan foto di tanganku ini. Selembar foto di mana aku sedang berekspresi terkejut karena Raefal yang tengah menempelkan bibirnya di pipiku.  Aku terkekeh geli saat kupandangi foto ini. Ternyata dia masih menyimpannya padahal sudah 8 tahun berlalu ketika kami mengambil foto ini.  Aku hendak mengembalikan foto ke dalam amplop, tapi kuurungkan. Aku menyadari ada tulisan di belakang foto.  ‘SAAT KAMU MELIHAT WAJAHKU DI FOTO INI. SAAT ITULAH KAMU SEDANG MELIHAT EKSPRESI PRIA YANG SEDANG JATUH CINTA.’  Aku membekap mulut, iya aku melihatnya. Melihat wajah Raefal yang memerah saat mencium pipiku. OK, kini aku tahu sejak kapan dia mulai mencintaiku karena selama ini dia tak pernah menjawabnya setiap kali aku bertanya.  Saat kami mengambil foto ini, kami masih berstatus sebagai teman. Kuingat baru sekitar dua bulan kami dekat saat itu. Dekat dalam artian sebagai teman sesungguhnya, bukan hanya sekedar teman sekelas.  Kugenggam foto itu erat ketika aku melanjutkan langkah mengikuti lilin-lilin yang menuntunku.  Ketika kulihat lilin itu berhenti di sebuah pohon belimbing kali ini. Kembali kutemukan sebuah amplop diikat di salah satu dahan pohon. Bergegas kuambil amplop itu dan melihat isinya.  Sama seperti tadi, aku kembali menemukan sebuah foto. Foto ketika aku dan Raefal sedang makan bersama di sebuah restoran sky dining. Aku sedang memegangi sebuket bunga mawar merah bersama Raefal yang tengah tersenyum lebar di sampingku. Wajah kami saling menempel dalam foto ini, terlihat bahagia, terlihat seperti pasangan yang sedang dimabuk cinta.  Aku membalik foto, ada tulisan Raefal kutemukan di belakang foto seperti tadi.  ‘KALI INI KAMU LAGI LIHAT EKSPRESI WAJAH PRIA YANG LEGA KARENA PERNYATAAN CINTANYA DITERIMA.’  Aku terkekeh, iya benar ... saat kami mengambil foto ini merupakan hari di mana kami resmi berpacaran.  Masih ada beberapa lilin yang harus kuikuti. Sepertinya itu lilin-lilin terakhir karena setelahnya aku tak melihat cahaya lagi.  Aku pun kembali berjalan mengikuti lilin, dan berhenti melangkah tepat di lilin terakhir. Kutemukan sebuah amplop tergeletak kesepian di atas rumput. Bergegas kubuka amplop itu, sudah tak sabar ingin melihat isinya.  Tak ada foto yang kali ini kutemukan di dalam amplop, hanya ada secarik kertas di mana di dalamnya tulisan Raefal tercantum jelas.  ‘KAMU MAU LIHAT EKSPRESI WAJAH PRIA YANG LAGI BAHAGIA GAK? KALAU MAU, CUKUP JAWAB AJA PERTANYAAN INI YA.’  Setelah k****a tulisan itu, tiba-tiba saja cahaya menyilaukan mataku. Cahaya yang berasal dari dinding pagar halaman belakang rumahku yang kini berdiri kokoh tak jauh dariku. Entah sejak kapan ada lampu-lampu kecil yang dipasang di sana. Lampu-lampu itu mati pada awalnya dan kini tengah menyala dengan terangnya sehingga aku berhasil menemukan hal luar biasa tertempel di dinding pagar.  Ada sebuah foto berukuran seperti poster ditempel di sana. Foto beberapa orang yang sedang berdiri di Great Wall of China tengah memegangi beberapa huruf. Ada beberapa orang yang tampak familiar di foto itu, aku tahu mereka rekan kerja Raefal. Kutebak mereka mengambil foto ini pasti saat mereka berkunjung ke China kemarin.  Mataku tak kuasa menahan tangis saat membaca kalimat yang terbentuk dari huruf-huruf itu.  ‘WILL YOU MARRY ME?’  Detik itu juga aku lari meninggalkan halaman belakang rumahku. Sebelum melewati pintu tanpa sengaja ekor mataku menangkap dua orang yang sedang mengintip seraya tersenyum lebar. Mereka ART dan penjaga kebun rumahku. Sekarang aku tahu darimana Raefal mendapatkan bantuan untuk membuat semua kegilaan ini. Aku bergegas menuju kamarku. Kuraih ponsel dan sudah tertebak apa yang kulakukan setelah itu, bukan? Karena bisa dilihat sekarang aku berstatus sebagai istri sah seorang Raefal Shahreza.  “Mom ... Mom ... Mommy!!”  Aku tersentak luar biasa terkejut. Suara melengking dari putraku yang berteriak nyaring membawa kesadaranku yang tengah melanglang buana ke masa lalu akhirnya kembali ke masa kini.  Aku terkekeh mendapati putraku tengah merajuk disertai kedua alisnya yang mengernyit tajam, mengingatkanku pada Raefal. Raffa memang duplikat suamiku, mereka sangat mirip.  “Kenapa, Sayang?” tanyaku seraya kuusap lembut kedua alisnya agar kernyitan itu menghilang.  “Mommy melamun ya?” tanyanya. “Nggak kok. Mommy gak melamun.” “Bohong! Buktinya aku panggil dari tadi gak nyahut-nyahut. Iya, kan, Pak?”  Aku menoleh ke arah sopir taksi yang diajak bicara oleh Raffa. Tersenyum kikuk mendapati Pak Sopir sedang tersenyum padaku.  “Sudah sampai, Bu,” kata sang sopir.  Aku pun menoleh ke samping, dan benar saja ... bangunan bertingkat lima yang merupakan kantor tempat suamiku bekerja, kini berdiri menjulang tinggi di hadapanku.  “Iya, Pak. Terima kasih,” sahutku.  Aku membayar ongkos kami, lalu bergegas keluar dari taksi. Kuulurkan tangan untuk membantu Raffa turun dari taksi.  Tatapanku kini tertuju sepenuhnya pada kantor suamiku. Tempat awal penyelidikanku untuk membuktikan benarkah suami romantisku itu selingkuh di belakangku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN