Raefal kembali ke kantor begitu makan siang kami selesai, sedangkan aku dan Raffa memilih untuk pulang ke rumah. Aku tak tega melihat putraku yang kelelahan. Meski masih ingin menyelidiki sesuatu di kantor Raefal, akhirnya aku memutuskan membawa Raffa pulang.
Setibanya di rumah, kutemani Raffa tidur di kamarnya. Dia memang terbiasa tidur siang. Tak perlu menunggu lama, dia pun tertidur dengan nyenyak. Kondisi ini kumanfaatkan untuk mengecek email, berharap pesan dari Susi sudah masuk.
Aku mengurung diri di kamar ketika kubuka email. Dan saat kulihat pesan yang kutunggu dari Susi ternyata sudah masuk, aku tersenyum lebar detik itu juga. Lega karena Susi benar-benar bersedia mengabulkan permintaanku untuk mengirimkan data seluruh karyawan yang bekerja di kantor suamiku.
Kubuka pesan itu dengan jantung berdetak tak karuan. Aku takut sebenarnya, takut kecurigaanku tentang Raefal yang berselingkuh terbukti benar. Meski lebih dari apa pun aku ingin segera mengungkap identitas seseorang berinitial ZK yang beruntung mendapatkan hadiah kalung mahal dari Raefal.
Setelah daftar nama itu terpampang di depan mata, k****a seteliti mungkin nama-nama yang tercantum dalam pesan tersebut. Kulihat satu demi satu nama seluruh pekerja di kantor Raefal, mengantisipasi agar seseorang berinitial ZK tak terlewat olehku. Namun, tidak. Seteliti apa pun aku mencari initial nama itu, tak kutemukan di antara 74 nama karyawan yang terdaftar dalam pesan ini. k****a sekali lagi, khawatir aku melewatinya tadi. Akan tetap, hasilnya tetap nihil, tak ada satu pun yang memiliki nama berinitial ZK.
Aku mendesah lelah, menyandarkan punggung di kepala ranjang. Mungkinkah kecurigaanku salah? Sepertinya seseorang yang kucari-cari itu bukan salah satu karyawan di kantor Raefal. OK, aku memutuskan untuk berhenti memandangi daftar nama itu, memilih mengistirahatkan tubuh sejenak karena jujur aku begitu kelelahan hari ini. Meski kali ini gagal, tapi aku tak akan berhenti menyelidiki sampai aku menemukan wanita itu. Wanita yang berhasil mencuri perhatian suamiku.
***
Seperti hari-hari biasa, Raefal sampai di rumah pukul 7 malam. Tak ada yang mencurigakan dari tingkahlakunya. Selama Raffa belum tidur, dia akan menghabiskan waktu bermain dengan Raffa. Namun, aktivitas main mereka tak bertahan lama malam ini, dia beralasan besok harus mengikuti meeting penting karena itu dia pergi ke ruang kerjanya. Menyibukkan diri dengan tumpukan dokumen yang sengaja dia bawa dari kantor.
Saat dia mengatakan akan bergadang malam ini untuk memeriksa laporan, aku tak menanggapi apa pun selain hanya mengangguk. Aku selalu memahami kondisinya, bukankah seperti ini tugas seorang istri? Mencoba memahami kesibukan suami meski seharusnya saat berada di rumah, seluruh waktunya dicurahkan untuk kami, keluarganya.
Tepat pukul 10 malam, aku membawakan camilan dan kopi untuk Raefal. Saat aku memasuki ruang kerjanya, benar ... dia tak berbohong. Dia memang sedang sibuk dengan laporan-laporan yang harus diperiksanya. Bahkan ponsel miliknya yang tergeletak di meja, tak dia sentuh sedikit pun.
“Ini kopi sama camilan buat kamu. Istirahat dulu kalau capek.”
Raefal menoleh saat suaraku menggema di telinganya. Dia mengangguk disertai senyuman manisnya padaku. “Iya, Sayang. Makasih ya. Kamu belum tidur?” tanyanya.
“Ini baru mau tidur. Aku tidur duluan ya. Kamu jangan terlalu malam tidurnya.”
“OK, sebentar lagi juga selesai kok.”
Aku mengusap punggungnya pelan sebelum melangkah meninggalkan ruang kerjanya. Tak ingin terlalu lama berada di sana karena keberadaanku hanya akan mengganggunya.
Aku mencoba merebahkan tubuh di ranjang setibanya di kamar. Berulang kali mencoba memejamkan mata, tapi selalu gagal karena pikiran yang tak lepas sedikit pun dari kejadian tadi siang. Kejadian saat Raefal mengangkat telepon dari seseorang yang berhasil membuatnya terlihat begitu bahagia.
Siapa sebenarnya yang meneleponnya tadi siang? Ingin kutanyakan langsung hal ini pada Raefal, tapi aku sangsi dia akan menjawabnya dengan jujur. Jadi, aku berpikir akan menyelidikinya sendiri, nanti saat Raefal sudah tertidur.
Tepat tengah malam. Aku mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Tak perlu menoleh, aku tahu yang masuk itu sudah pasti Raefal. Aku belum tidur, tentu saja. Karena bayangan kejadian tadi siang terus terngiang-ngiang di kepalaku. Tapi, saat kudengar Raefal naik ke atas ranjang kami, aku berpura-pura memejamkan mata agar dia berpikir aku sudah tertidur pulas. Posisiku kini membelakangi Raefal, tak ingin sedikit pun membuatnya curiga, jadi menurutku inilah posisi yang pas untuk menghindarinya.
Sekujur tubuhku merinding ketika dia tiba-tiba memelukku dari belakang. Meletakan wajahnya tepat di leherku, membuatku menggelinjang karena geli tapi sebisa mungkin aku tetap memejamkan kedua mata.
Setelah itu, kurasakan dia mengelus puncak kepalaku dengan lembut. Menyisir rambut panjangku yang berantakan di atas bantal serta menyampirkan rambut yang menghalangi wajahku. Aku juga merasakan dengan jelas saat jemari tangannya menelusuri lekuk wajahku. Mengusapnya perlahan seolah takut gerakan kasar sedikit saja akan membuat wajahku terluka.
Puncaknya dia mencium puncak kepalaku serta berakhir dengan mengecup lembut keningku. Dilihat dari perlakuan manisnya ini, aku sempat berpikir mungkin aku terlalu berlebihan mencurigai suamiku. Mungkin memang aku satu-satunya wanita dalam hidupnya.
Tapi, entahlah ... kalung berinitial ZK yang kutemukan di tasnya, serta kejadian tadi siang di restauran kembali menggoyahkan kepercayaanku padanya. Sepertinya aku memang tak akan bisa hidup tenang sebelum menguak kebenarannya.
Raefal mengubah posisi tidurku dengan amat perlahan hingga kini aku menghadap ke arahnya. Meski kedua mata masih terpejam, tapi aku tahu dia sedang memandangi wajahku. Tak berselang lama, kurasakan dia menggenggam tanganku lantas mengecup punggung tanganku seperti yang sering dia lakukan saat aku sedang terjaga.
Tindakannya yang tiba-tiba memindahkan kepalaku agar bersandar di d**a bidangnya sungguh membuatku terperanjat kaget. Namun, aku masih sanggup melanjutkan sandiwaraku setelah semua perlakuannya ini, aku tetap memejamkan mata serapat mungkin.
“Aku cinta sama kamu, Indira,” bisiknya pelan, sangat pelan namun telingaku masih bisa mendengarnya dengan jelas.
Benarkah yang dia bisikkan ini? Benarkah aku masih menjadi satu-satunya wanita yang dia cintai? Rasanya ingin sekali kutanyakan ini sekarang juga padanya. Tapi, lidahku terasa kelu. Dengan bodohnya aku masih tetap berpura-pura sudah tidur.
Raefal akhirnya memelukku dalam tidurnya. Aku tahu dia sudah tertidur karena tak ada lagi pergerakan darinya. Aku juga mendengar deru napas pelan dan tenang pertanda dia sudah tertidur pulas. Inilah kesempatan emas untuk mengungkap isi ponselnya.
Dengan amat perlahan, aku menyingkirkan lingkaran tangan Raefal di pinggangku. Bertindak sehati-hati mungkin agar tak membangunkan dirinya. Lantas aku bersandar pada kepala ranjang begitu berhasil melepaskan rangkulan tangannya. Aku melirik ke arah nakas di sampingnya, tersenyum puas tatkala kutemukan benda pipih itu tergeletak kesepian di sana.
Aku turun dengan amat hati-hati dari ranjang. Berjalan mengendap-endap layaknya perampok yang ingin membobol sebuah rumah. Aku meraih ponsel Raefal tanpa hambatan. Lalu aku melangkah menuju sofa setelah sebelumnya kupastikan Raefal masih terbuai dalam mimpi indahnya.
Aku tak bisa duduk santai di sofa, kekhawatiran Raefal terbangun dan memergoki perbuatanku ini terus membuatku was-was. Sejujurnya inilah pertama kalinya aku berniat memeriksa ponsel Raefal. Sebelumnya, aku tak pernah melakukan ini karena bagi kami berdua, menghormati privasi masing-masing itu sangat penting.
Aku nyaris tak pernah memegang ponsel Raefal, dia pun demikian. Tak pernah sekali pun ingin tahu atau mencoba mencari tahu tentang isi ponselku. Namun, kini kulanggar prinsif itu. Tak peduli meskipun tindakanku ini tak sopan sama sekali, aku tetap harus memeriksa isi ponsel ini.
Dengan jantung berdebar bak roller coaster, aku menekan tombol kunci pada ponsel. Sempat terbelalak saat menyadari layar dalam keadaan terkunci. Aku harus memasukan password untuk membukanya. OK, aku kebingungan sekarang. Katakan sudah 17 tahun aku hidup di sekeliling Raefal, tapi percayalah hal sederhana seperti kata sandi untuk password ponselnya saja, aku benar-benar tak tahu. Bukan karena aku terlalu cuek pada Raefal, hanya saja aku selalu mempercayainya selama ini. Menganggap bahwa Raefal adalah The Right Man yang tak mungkin mengkhianatiku. Dia pria terbaik sejauh ini, itulah yang selalu kupikirkan tentangnya sebelum kalung misterius itu tertangkap kedua mataku.
Kata sandi itu terdiri dari enam angka, aku tahu persis karena ada enam kolom kosong yang harus kuisi. Aku memutar otak, memikirkan enam deret angka apa yang sekiranya dijadikan kata sandi oleh Raefal.
Mungkinkah ulang tahunnya? Bepikir begitu, aku mencoba mengetik tanggal ulang tahunnya. Namun, mendapati ada tulisan pemberitahuan bahwa kata sandi itu keliru, aku menghela napas panjang. Pemikiran pertamaku meleset dari kebenaran.
Mungkinkah ulang tahun putra kami? Tak ingin menyia-nyiakan waktu berharga ini, aku pun mencoba memasukan tanggal lahir Raffa. Hasilnya, tetap sama. Kunci layar masih belum terbuka. Aku berdecak kali ini, deretan angka apa yang dia jadikan password sebenarnya? Aku mulai frustasi.
“Mungkin tanggal pernikahan kami,” gumamku pelan tanpa sadar. Secepat kilat mencoba memasukan tanggal pernikahan kami. Untuk kesekian kalinya aku berdecak sebal karena lagi-lagi tebakanku salah.
Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku, suara Raefal yang bergumam dalam tidur dan mengubah posisi. Jantungku serasa mau melompat keluar dari rongga d**a begitu mendengarnya, sempat khawatir Raefal terbangun. Namun, ketika kulihat dia kembali tertidur dengan lelap, aku mengembuskan napas lega untuk kesekian kali. Bersyukur karena masih memiliki kesempatan untuk melihat isi ponsel ini.
Aku pun kembali menatap layar ponsel yang masih terkunci rapat. Mengetuk-ngetuk pelipis dengan telunjuk. Sedangkan di dalam kepala, aku masih memikirkan enam angka yang paling mungkin dijadikan Raefal sebagai password-nya.
Apa iya dia pakai tanggal ulang tahunku? Pemikiranku kali ini terdengar mustahil, tapi tidak ada salahnya mencoba, bukan?
Setelah menyiapkan hati agar kuat menghadapi kemungkinan tebakanku kali ini pun meleset, aku kembali mencoba mengetikkan enam deret angka yang kali ini merupakan tanggal ulang tahunku.
Dan ... Bingo ...
Kunci pada layar ponsel itu terbuka, sukses membuatku terbelalak sempurna. Aku bahkan nyaris menjatuhkan ponsel ini saking terkejutnya. Raefal menggunakan tanggal ulang tahunku sebagai kata sandi untuk kunci ponselnya. Haruskah aku bahagia? Haruskah aku berhenti meragukan kesetiaannya? Entahlah, jawabannya akan kutemukan setelah melihat isi ponsel ini.
Hal pertama yang aku periksa adalah kotak pesan. Ada banyak pesan di sana dari orang-orang yang sama sekali tidak ku kenal. Namun, saat aku membuka satu demi satu pesan itu, isinya tak jauh dari urusan bisnis yang tak kumengerti sedikit pun. Intinya sampai pesan terbawah sudah kuperiksa pun, aku tak menemukan keanehan sedikit pun. Semua pesan itu nyaris dari rekan bisnis Raefal.
Kini aku beralih pada history panggilan di ponsel ini. Terutama seseorang yang bertelepon ria dengan Raefal siang tadi. Kutemukan banyak panggilan yang masuk maupun keluar dari ponsel ini. Namun, tak ada satu pun telepon dari seseorang dengan nama berinitial ZK.
Saat kuperiksa waktu telepon itu terjadi, anehnya aku tak menemukan satu pun telepon pada siang tadi. Aku ingat betul, kami makan siang pukul 12 tepat. Seharusnya telepon itu masuk sekitar jam segitu, tapi di history panggilan ini tak ada daftar Raefal bertelepon ria dengan seseorang pada jam segitu.
Aku memijit pangkal hidung yang mulai berdenyut. Mungkin efek dari kelelahan, rasa ngantuk dan juga semua keanehan yang kudapatkan ini.
Mungkinkah Raefal menghapus history panggilan tadi siang? Jika benar itu yang dia lakukan, betapa telitinya dia. Rasanya aku ingin bertepuk tangan tepat di depan wajahnya sekarang. Betapa waspada dia menyembunyikan kebohongannya dariku.
Aku tak kehabisan akal meski sejauh ini aku belum menemukan bukti apa pun. Kali ini aku beralih melihat daftar kontak. Meski mataku jenuh dan ada cara untuk lebih cepat menemukan seseorang dengan initial ZK, khawatir ada yang terlewati, aku memilih menggunakan cara manual.
Kuperiksa satu per satu nama kontak di ponsel Raefal mulai dari bagian teratas. Baru selesai hingga urutan terbawah setelah kurang lebih satu jam waktu yang kuhabiskan untuk memeriksa ponsel Raefal ini. Hasilnya ... nol besar. Aku bahkan tak menemukan satu pun nama kontak di ponsel ini yang berawalan huruf Z. OK, aku benar-benar lelah sekarang. Aku memutuskan berhenti memeriksa ponsel ini.
Kupandangi wajah Raefal yang sedang tertidur menghadap padaku. Wajahnya yang polos saat terpejam, tak lagi membuatku terpesona seperti dulu. Aku kesal bukan main, kesal karena menyadari kecerdasan Raefal dalam menyembunyikan rahasianya. Sekarang tanpa ragu kusematkan sebuah gelar padanya. Si pembohong Jenius.
Aku kalah malam ini, aku tak berhasil menemukan bukti apa pun untuk menguak kebohongan Raefal. Tapi aku tak akan menyerah begitu saja. Aku masih percaya, serapat apa pun bangkai disembunyikan pada akhirnya akan tercium juga aroma busuknya.