STEP 05 - Ganti Rugi

1299 Kata
"Salah satu bentuk merdekanya seorang anak ialah ketika tangannya tak lagi menghadap ke atas untuk meminta uang pada orang tua, melainkan menghadap ke bawah untuk memberi. Meski apa yang diberi takkan mampu membalas jasa mereka." -Zirena Nameera Ahmad- *** Dunia benar-benar tak selebar daun kelor. Dari sekian banyak tempat, akhirnya Zirena bertemu lelaki itu di sini setelah lama menunggu dihubungi. Dia terkejut, namun lebih banyak lega sebab satu beban yang selama ini dipikirkannya akan segera selesai. Cepat Zirena menyusul langkah panjang Adam. Ikut berhenti saat lelaki itu meletakkan kantongannya di samping panitia acara. Tanpa babibu, Adam masuk menyapa bapak-bapak berkumis berpenampilan klimis. Sementara, Zirena menyelesaikan urusan dengan bagian konsumsi. Seperti kata Adam tadi, mereka akan bicara usai lelaki itu mengisi materi. Jadilah dirinya menunggui di dalam ruangan seminar, duduk pada baris belakang, berbaur dengan para peserta lainnya. Setidaknya lebih baik daripada menanti di luar kayak kambing congek. "Pekerjaan yang paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar. Begitu kira-kira ucapan pak Ridwan Kamil. Seperti itulah saya memanfaatkan hobi fotografi serta jeli melihat peluang untuk membuka usaha setahun setelah saya lulus kuliah waktu itu," papar Adam, lugas. Zirena menyimak, walau tidak begitu hikmad. Pantesan waktu itu dia pintar berkilah. Ternyata emang pembicara. Well, dia kelihatan cerdas juga berdiri di depan sana. Hmm.... Zirena memerhatikan sekitar. Nyaris tidak ada kursi kosong. Mahasiswa(i) kampus ini rupanya begitu bersemangat mengikuti acara. Dia jadi teringat dirinya sendiri yang tidak terlalu suka mengikuti seminar-seminar seperti ini. Bukan apanya, penjelasan pemateri seringnya mirip dongeng pengantar tidur di telinganya. Serius. "Saya terjun ke dunia wirausaha bukan tanpa resiko. Namun, jika kita sibuk memikirkan resiko itu maka kita tidak akan ke mana-mana, hanya diam di tempat. Sementara orang lain sudah jauh berada di depan." Zirena menguap kedua kalinya meski berusaha mendengarkan Adam di depan sana. "Kalian tahu, saya pernah ditipu hingga rugi ratusan juta rupiah. Bahkan, nama baik saya tercemar sampai kehilangan trust dari banyak klien. Saat itu, saya punya dua pilihan. Gulung tikar atau bangkit. Dan saya memilih bangkit. What doesn't kill you make you stronger." Sebagian besar peserta manggut-manggut, sebagian lagi memasang tampang terkesima. Empat puluh lima menit berlalu, Zirena menghela napas lega. Moderator menutup sesi tanya jawab dan bersiap mempersilahkan pemateri selanjutnya. Melihat Adam pamit undur diri sehabis bersalam-salaman, dia bergegas keluar dari ruangan bernuansa putih gading itu. "Naik mobil saya saja," kata Adam, melewati Zirena yang berdiri dekat pintu. Gadis itu mengikut. Tidak ada pilihan lain sebab dia ke sini menggunakan jasa taksi online. Tapi, tunggu dulu ... perasaan sejak tadi laki-laki ini memberikan pernyataan terus, tepatnya kalimat perintah. Zirena mendengkus, sedikit kesal. Setibanya di parkiran, Zirena meneliti bagian mobil Adam, mencari bekas lecet yang pernah dia sebabkan. Oh, sudah diperbaiki...benak Zirena ketika tak mendapati sisa-sisa kecelakaan waktu itu. Ada perasaan tidak nyaman bercokol dalam d**a Zirena. Duduk diam bersama orang asing merupakan pengalaman yang mengikukkan. "Tadi banyak bicara, sekarang jadi pendiam kayak patung Monas. Ckck," gumam Zirena. "Maaf? Kamu mengatakan sesuatu?" Zirena menggeleng cepat. Jangan sampai dia dengar. Syukur jarak tempuh ke wilayah rumah sakit Universitas Hasanuddin memakan waktu kurang dari sepuluh menit. Lumayan dekat. Mereka turun, lalu berjalan sebentar memasuki salah satu kawasan kafetaria. Menjelang jam makan siang, tempat luas itu berangsur ramai. Zirena mengambil tempat tak jauh dari pintu keluar. Dia dan Adam duduk berhadapan. "Mau p...." "Maaf, Pak. Bisa langsung ke poinnya saja?" Adam mengatupkan bibir, mengerjap cepat. Kemudian mengangguk sekali. Lelaki itu lantas merogoh tasnya. Mengeluarkan secarik kertas putih kusut, kemudian menyodorkannya ke hadapan Zirena. Cekatan, Zirena mengambil nota berstempel itu. Menelusuri rincian hingga matanya tertumbuk pada nominal di bagian bawah. Bibirnya tiba-tiba terasa kering. Jumlahnya cukup besar untuk ukuran pengangguran baru seperti dirinya. Menilik gelagat gadis di seberangnya, Adam kembali mengambil sesuatu dari dalam tas hitamnya. Detik berikutnya, dia meletakkan kartu tanda penduduk milik Zirena ke atas meja, lalu menggesernya ke arah gadis itu. "Sebenarnya ... saya sudah niat untuk mengikhlaskan insiden waktu itu. Jadi kamu tidak perlu—" Zirena segera tahu apa yang akan dikatakan oleh lelaki asing ini. Maka dari itu, dia cepat menggeleng tegas, tidak membiarkan Adam menyelesaikan kalimatnya. Pandangan mata mereka saling tertumbuk satu sama lain. "Saya akan tetap ganti rugi, Pak Adam." Zirena melempar senyum, tenang. Mungkin tabungannya tidak seberapa banyak saat ini, namun cukup untuk menuntaskan urusannya dengan Adam. "Silahkan Pak Adam tulis nomor rekening di sini." Gadis berambut hitam pekat itu menyerahkan bolpoin serta buku catatan kecil. Sementara Adam memerhatikan gambar Winnie the pooh pada sampul buku itu, Zirena melanjutkan ucapannya. "In syaa Allah, akan saya transferkan sebelum sore." Adam menghela napas, bertanya-tanya dalam hati apakah gadis ini tipe keras kepala ataukah berpendirian. Padahal akan lebih mudah baginya jika mengiyakan saja niat Adam. Melihat lelaki di seberangnya ini tak kunjung memberi tanggapan, Zirena meraih KTPnya lalu berdiri dari tempat duduk. "Nanti saya hubungi Pak Adam setelah transfer," ucap Zirena, meyakinkan. "Kalau begitu, saya pamit duluan ya, Pak. Assalamualaikum." Sampai punggung gadis itu menjauh, Adam masih berpikir, jenis gadis seperti apakah yang baru saja dia temui ini? *** Manusia bisa merencanakan, tapi Allah jua yang menentukan. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk Zirena sekarang. Saat merinci kebutuhannya selama menganggur, uang di tabungannya lebih dari cukup. Namun, sejak Negara api menyerang dalam wujud kecelakaan tempo hari, semua berubah. Rencana keuangannya berantakan seketika. Dengan langkah gontai, gadis itu keluar dari minimarket usai menumpang ATM. Dia berhenti sejenak, menunduk lesu menatapi sisa saldonya yang bukan hanya bikin kantong meringis namun juga membuat hatinya miris. Ugh, masa sih aku besok-besok minta ke Ibu? Zirena menggeleng cepat, menangkis lintasan pikiran itu dari benaknya. Tidak. Tidak boleh. Pasti ada jalan lain selain minta ke Ibu. Semenjak mampu menghasilkan rupiah dari jerih payahnya sendiri, pantang bagi seorang Zirena meminta uang ke ibunya. Bukan ... bukan karena dia merasa tinggi hati, melainkan dia menyadari bahwa sudah tiba gilirannya untuk menyokong perekonomian keluarga. Kewajibannya memberi, tidak lagi menerima. "Nanti saya hubungi Pak Adam setelah transfer." Ah, gadis manis itu teringat ucapannya di kafetaria tadi. Dia meng-unlock ponsel, lantas mengirimkan pesan singkat ke nomor yang tercatat sebagai panggilan masuk terakhir di handphonenya itu. "Oh, kebetulan sahabat baikku sedang membutuhkan staff administrasi di studionya. Lokasinya juga dekat sekali dari perumahan kamu, Dek. Siapa tau kamu berminat, nanti kurekomendasikan kamu ke dia." Tawaran Beny padanya beberapa waktu lalu tiba-tiba muncul dalam ingatan. Mungkinkah ini jalan keluar yang Allah tunjukan untuknya? "Ya Tuhan, semoga tawaran Bang Ben masih tersedia. Tapi, aku harus kasih tau Ibu dulu." Zirena mempercepat langkah menuju rumah. Jaraknya dari minimarket tidak begitu jauh. Cukup belok kiri, lalu belok kanan, terus sampai mentok kemudian belok kiri lagi. Nah, istana kecil Zirena bersama ibunya ada di ujung jalan itu. Sesampainya di rumah, Zirena mendapati Ibu tengah duduk santai depan televisi. Dia melirik sekilas siaran yang ibunya tonton. Sebuah acara talkshow dengan tiga orang pemandu. Acara yang lebih mirip komedi live ketimbang talkshow bermutu. "Bu...." Wanita paruhbaya itu menoleh. "Eh, Zi, sudah di rumah toh. Ibu gak lihat kamu masuk." "Gimana Ibu mau lihat kalau nontonnya serius banget," sahut Zirena gemas. Dia mengempaskan diri di samping ibunya. "Emm, Ibu masih ingat Bang Ben, tidak?" Wanita itu tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk kemudian. "Kenapa memangnya, Zi?" "Tempo hari Zi ketemu Bang Ben. Terus ngasih tawaran kerja gitu di tempat temannya. Dekat kok darisini. Emm, menurut Ibu gimana?" Ibu Zirena tersenyum lembut. Tangan rentanya terulur, mengusap pelan puncak kepala Sang Putri semata wayang. "Terserah kamu saja, Nak. Mana baiknya," jeda sejenak, usapan tangan ibu Zirena terhenti. "Satu hal yang harus Zi ingat, jangan jadikan kehadiran Ibu sebagai beban atau bahkan hambatan menuju jalan masa depan kamu. Sebab, Ibu tidak akan memaafkan diri sendiri jika kamu berhenti melangkah hanya karena ibu sakit atau apa." Perasaan hangat menelusup ke dalam d**a Zirena begitu mendengarkan jawaban ibunya. Kedua matanya diselubungi kaca-kaca yang akan segera menjelma butiran bening. Dia merapatkan diri, meringkuk bak anak kecil seraya mendekap erat pahlawannya itu. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN