"Jerat paling mematikan: Jerat luka masa lalu. Tidak tampak, tapi perlahan membunuh dari dalam."
-Zirena Nameera Ahmad-
***
Usai shalat maghrib di mushollah MP yang terletak di lantai 2, Zirena dan Sagita mengayunkan kaki menuju foodcourt. Berencana mengisi perut sambil menunggu jam tayang film yang akan mereka tonton. Butuh beberapa kali naik eskalator untuk tiba di pusat penjual makanan itu.
Aneka aroma masakan seketika menguar menembus indera penciuman Zirena setibanya mereka di sana. Mbak-mbak pelayan perwakilan tiap kios melambai-lambaikan menu sembari mengujarkan kalimat ajakan untuk mampir.
"Mau makan apa,Zi? Aku sih maunya mie ayam. Kita makan itu aja, ya?" Zirena memutar bola matanya, dalam hati bergumam tentang kebiasaan sahabatnya satu itu yang suka bertanya tapi pada akhirnya dia jawab sendiri.
"Iya, itu aja kalau kamu mau," jawab Zi singkat.
Keduanya mengambil tempat di depan kios mie ayam dan bakso usai memesan menu pada pelayan yang menghampiri mereka beberapa saat lalu.
"Mm, Zi?" Sagita tampak ingin mengucapkan sesuatu, namun masih menimbang-nimbang.
"Hmm?" Gumam Zi, enggan menoleh dari pemandangan lantai bawah yang bisa dia saksikan dari sini.
"Beberapa hari lalu, aku gak sengaja ketemu dia——you know who, seseorang yang namanya tidak boleh disebut——dan dia sempat minta kontak kamu ke aku." Sagita menelan salivanya takut-takut begitu Zirena menoleh dan menatapnya lekat. Tatapan tidak suka dan dingin.
"Kamu kasih?"
Sagita menggeleng cepat.
"Bagus," sahut Zirena singkat dengan nada datar. "Jangan pernah kasih kontak aku apapun alasannya."
Bagus. Sagita berhasil menghancurkan moodnya karena salah mengangkat pembahasan. Padahal gadis itu paling tahu betapa tidak sukanya jika ada yang mengungkit bagian masa lalunya itu.
"Please, deh, Zi. Sampai kapan kamu mau kayak gini?" Sagita bersidekap, menyandarkan punggung pada kursi. Ada sesuatu tertahan di tenggorokannya sejak lama, dan sepertinya kali ini dia tidak bisa menahan lagi untuk mengungkapkan.
Kening Zirena berkerut, tidak paham maksud gadis di hadapannya. Masihkah membicarakan dia?
"Kamu harus memaafkan masa lalumu."
"Sudah kumaafkan." Zirena menghela napas. Omong-omong kenapa pesanan mereka belum datang juga?
"Oh ya?" Tantang Sagita. "Pembohong. Kamu tidak pernah memaafkan seutuhnya, Zi. Kamu hanya memendam dan mencoba melupakan. Buktinya sampai saat ini kamu belum bisa membuka hati."
Zirena terdiam. Kecamuk perasaan menari-nari dalam dadanya. Yang dikatakan sahabatnya itu tidak salah. Semuanya benar.
"Kamu tidak mengerti, Git. Mungkin kamu lupa, sudah dua kali aku menyayangi terlalu dalam hanya untuk dikhianati dan ditinggalkan. Dua kali!" Zirena nyaris berteriak jika saja tidak ingat di mana mereka berada. Matanya mulai berkaca-kaca, tidak mengerti mengapa hari ini dirinya begitu sentimen. Efek dari pertanyaan Ibu tadi subuh, kah?
Sagita mengembuskan napas, tidak menyangka reaksi Zirena sedemikian rupa. Tatapannya melunak. Rasa bersalah menyusupi hatinya. Seharusnya dia bisa lebih mengendalikan diri mengingat perangai Zirena yang agak keras kepala dan keras hati.
"Maaf, Zi. Aku gak bermaksud. Aku hanya ingin kamu memaafkan untuk kebaikan dirimu sendiri, bukan untuk orang-orang yang telah melukaimu. I'm so sorry," ucapnya pelan, penuh penyesalan.
Zirena hanya mengangguk samar. Dia sangat paham maksud Sagita. Tapi entah mengapa semua terasa sulit baginya. Tidak ayahnya, tidak pula dia, keduanya sama-sama memberikan kenangan buruk disertai rasa sakit yang teramat. Jauh di dalam palung hati, dia sungguh berharap suatu hari nanti menemukan cara agar terlepas dari jerat lara ini.
Demi menenangkan diri, Zirena pamit sebentar menuju toilet. Telinganya masih sempat menangkap kalimat terakhir Sagita sebelum dia berdiri, "Maafkanlah seutuhnya dengan cara menerima dan memeluk erat segala bentuk luka yang pernah kamu alami. Agar tenang serta lapang hatimu."
Baru akan berbelok, netranya menangkap sosok familiar tengah berdiri di kasir dengan sebuah bungkusan tertenteng di tangan kirinya. Sejurus kemudian, berbagai gejolak perasaan kembali mendera dirinya.
***
"Ayo Zi, kamu pasti bisa, Nak!" seseorang berjarak dua meter dari belakang Zirena bersorak menyemangati. Dengan tertatih gadis kecil itu berusaha mengayuh sepeda mungilnya, sesekali memijakkan kaki di tanah untuk menjaga keseimbangan. Dalam hati dia bertekad kali ini harus bisa, tidak ingin mengecewakan sang Ayah yang telah mengajarinya.
Dari kejauhan, Ibu nampak duduk di beranda sembari menuangkan teh hangat yang baru dibuat ke cangkir. Bibirnya tak henti mengulas senyum menyaksikan suami dan putri kecilnya bermain di taman depan.
Satu dua kali Zirena mampu mengendarai sepeda. Hingga sesuatu menyandung roda bagian depan yang seketika membuat dirinya tersungkur ke samping.
"Ibu. Ayah. Sakit...." Dia merengek, mencoba bangkit sendiri sambil mengelusi luka lecet pada lututnya.
Sontak Ibu bergegas menghampiri. Wanita itu memberi senyum menenangkan sementara sebelah tangannya mengusap lembut puncak kepala Zirena agar tangis putrinya tidak menjadi. "Tidak apa, Sayang. Sini lukanya Ibu obatin."
Disela sesenggukannya, gadis kecil berkuncir dua itu menoleh kiri kanan. Mencari keberadaan Ayah yang entah mengapa tidak ikut menolongnya.
"A-ayah...." Pandangan mata jernihnya tertumbuk pada sosok yang berjalan menjauh menuju pagar. Ada seorang wanita berdiri menunggu di luar.
"Ibu? Ayah mau ke mana?" Mengikuti arah tatapan Zirena, Ibu hanya menatap pasrah langkah kaki suaminya kian menjauh.
Zirena meronta ingin berlari menahan ayahnya, namun Ibu mendekapnya erat. Membisikkan agar dia membiarkan lelaki berperawakan tegap dan lumayan tinggi itu untuk pergi. Air matanya mengalir deras, bukan karena sakit luka pada tubuh tetapi karena dia tidak mengerti kenapa Ayah pergi dan Ibu sama sekali tak menghentikannya.
"AYAH! JANGAN TINGGALIN ZI!!!" sekali lagi dia meronta. Sirat luka terpancar dari kedua mata indahnya. Siapapun yang mendengar suara memilukan memohon dari anak kecil itu pasti tersayat hatinya. Tidak tega. Sayang, sekuat apapun dia berteriak, ayahnya tetap pergi bersama wanita tak dikenalnya itu.
"AYAH!" Zirena berteriak dalam tidurnya sebelum dia mendadak terbangun dari mimpi itu. Dadanya kembang kempis, kesulitan mengatur ritme jantung dan napas. Sekeliling dahi menuju leher gadis itu dipenuhi keringat dingin. "Mimpi buruk, huh?" gumamnya.
Untuk pertama kalinya dalam belasan tahun, Zirena kembali memimpikan sosok itu. Meski kronologis kepergiannya berbeda 180 derajat dengan yang terjadi pada mimpi barusan, tetap saja hati Zirena merasakan sakit sekaligus ketakutan yang sama.
Sedikit gemetar, gadis itu meraih gelas air minum yang terletak di atas nakas. Menandaskan isinya hanya dengan beberapa kali tegukan. Perlahan napasnya mulai teratur kembali.
Tanpa aba-aba, benak Zirena mengilas balik kejadian di Mall Panakkukang tadi saat bersama Sagita. Pemicu dari kembalinya dia memimpikan orang itu.
Zirena percaya tidak salah lihat. Teramat yakin jika sosok yang berdiri di depan kasir itu adalah orang yang sama meninggalkan dia dan Ibu belasan tahun silam. Jikapun ada yang berubah, maka itu adalah kenyataan perawakannya telah menua.
Mendapati fakta di hadapannya, mendadak jantung Zirena bekerja dua kali lebih cepat, mengirim debar tidak nyaman. Kedua kakinya lemas, seolah tulang-tulangnya baru saja dicopoti dari sana.
"Jadi selama ini dia di sini?" gumam Zirena, pelan.
Alih-alih mengabaikan, dia malah berjalan mendekat. Dia juga tidak mengerti mengapa tubuhnya bereaksi di luar kendali sekarang.
Baru selangkah, dan gadis itu terpaku di tempat. Sosok itu berbalik meninggalkan meja kasir, lantas tak berapa lama seorang bocah lelaki usia SMP dan wanita sepantaran usia ibunya menghampiri lelaki tua tadi. Mereka saling melempar senyum 'hangat' sebelum beranjak menuruni eskalator.
Zirena yang sempat termangu, tertawa sumbang pada akhirnya. Menertawai kebodohan dirinya sendiri. Tawa yang terdengar ... menyedihkan. "Hah, apa yang kamu harapkan, Zi?"
Dalam sekejap, kecewa, marah, sedih, benci, serta kerinduan saling bekerja sama menyergap kesadarannya. (*)