STEP 18 - Kabar Duka

1517 Kata
"Mulai mendekap dan menerima masa lalu, agar suatu hari mampu memberi maaf. Baik itu memaafkan diri sendiri ataupun orang lain." —Zirena Nameera Ahmad— *** Aroma asin laut menyeruak ke dalam indra penciuman Zirena, seiring dengan kilasan masa kecil yang tetiba berkelebat. Dia sudah berusaha menampik kenangan itu ketika sepanjang perjalanan melewati kota Bantaeng disuguhi pemandangan lautan. Namun, detik di mana mobil akhirnya terparkir di sebuah lokasi dengan hamparan pantai di bagian depannya, saat itu juga batinnya mengibarkan bendera putih. Zirena pernah begitu menyukai pantai di masa kecilnya. Akan bersorak riang dan teramat antusias apabila sang ayah mengajaknya jalan-jalan ke Losari. Itu dulu. Dulu sekali. Sebab, semenjak ayahnya memilih pergi, gadis itu memutuskan untuk tidak lagi menyukai segala hal terkait lelaki itu. "Are you ok?" Adam tahu-tahu berdiri di samping Zirena, menahan lengan gadis itu agar tubuhnya tidak tersungkur. Beberapa saat setelah turun dari mobil dan mengambil barang, dia tampak limbung. "Kamu minum obat anti mabuk yang saya kasih, kan?" Sebuah anggukan diberi Zirena sebagai jawaban. Masalahnya apa yang dia rasakan sekarang lebih buruk dibanding mabuk perjalanan, dan tidak bisa diredakan oleh obat apapun. Perlahan, gadis itu menarik lepas lengannya dari pegangan Adam. "Yeah, I'm ok, Pak Bos," ucapnya disertai senyum tipis. Kemudian dia mengayunkan langkah pendek-pendek, mengikuti teman kantornya yang lebih dulu berjalan menuju penginapan. Tatapan Zirena menyapu sekitar. Ada tiga bangunan kayu berbentuk rumah panggung khas suku Bugis Makassar. Satu dengan ukuran lebih besar, dan dua lainnya sedang. Dari kejauhan, beberapa orang tengah berjalan menghampiri rombongan mereka. Lalu, menyambut dan menyapa Adam begitu akrab. Sepertinya para lelaki itu merupakan rekan sekomunitas si bos. Meninggalkan Adam yang masih berbincang, Zirena mengekori Dewi, Rahma dan seorang panitia yang menemani mereka menuju penginapan khusus peserta perempuan. *** Rumah panggung ukuran sedang ini hanya memiliki satu kamar dan menurut peserta lain yang lebih dulu datang, kamar itu digunakan untuk menyimpan barang bawaan. Sementara mereka semua akan berbagi tempat untuk tidur di ruangan luas yang sekarang Zirena jejaki. Katanya, agar semua peserta bisa saling berbaur dan mengenal, meski jumlah mereka tidak sebanyak peserta laki-laki. Sembari menunggu yang lainnya antri kamar mandi, gadis itu berjalan ke luar setelah meluangkan waktu sejenak untuk mengabari Ibu. Dia berusaha menenangkan diri begitu matanya sekali lagi mendapati biru laut yang terbentang di depan sana. Tenang, Zi. Semua sudah berlalu, dan segalanya akan baik-baik saja sekarang. Demi mengalahkan perasaan yang tidak seharusnya bersarang sekian lama di alam bawah sadarnya, Zirena menuruni tangga kayu lalu berjalan mendekati garis pinggir pantai. Pepohonan kelapa dilewatinya satu persatu. Sebagaimana namanya, Pantai Kaluku, pohon kelapa memang banyak dan tumbuh subur di sini. Semburat lembayung mulai menghiasi langit senja. Debur suara ombak beradu, meredam irama jantung Zirena yang kian berdentam. Sebesar inilah imbas rasa benci yang diberikan sang ayah, memengaruhi sebagian kecil kondisi kejiwaan gadis itu pada beberapa hal. Salah duanya adalah pantai dan hujan. Cukup. Zirena tidak sanggup melangkah lebih jauh. Kakinya berhenti tepat dua langkah sebelum menyentuh air. Pelan-pelan gadis itu menarik napas dan membuangnya teratur. Matanya terpejam menyesuaikan diri. Sedikit demi sedikit kelopak berbulu lentik itu membuka, menerima dengan tenang apa yang dia saksikan. Meski belum sepenuhnya mampu, setidaknya kali ini dia berhasil mengalahkan perasaan takut miliknya. "Pembukaan dimulai habis magrib. Kenapa kamu di sini dan tidak siap-siap?" Zirena menoleh ke asal suara. Lagi, bosnya yang punya hobi muncul-tanpa-diundang sudah berdiri selangkah dari sampingnya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana. "Antri kamar mandi, Pak." Lagi kedatangan tamu juga, sih. Jadi biar yang mau salat aja duluan. "Oh." Bukannya pergi, Adam malah mendudukkan diri di atas pasir putih. Kakinya berselonjor dengan kedua tangan menopang di sisi tubuh. "Sayang sekali, ya. Pantai di sini menghadap timur. Jadi tidak bisa melihat matahari terbenam." Ah. Zirena manggut-manggut, itu sebabnya hanya warna jingga kemerahan langit yang terlihat sejak tadi. Gadis berkuncir seadanya itu lantas ikut duduk. Dengan kondisi yang jauh lebih baik, sekarang dia bisa menatapi kumpulan air di hadapannya. Lama mereka terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga Adam mulai membuka suara. "Anggun menolak lamaran saya," ujar Adam, singkat dan cepat. Matanya memandang lurus ke depan, tidak beralih satu incipun. Walau sudah mendengar gosip yang beredar, Zirena tetap cukup terkejut oleh pengakuan tiba-tiba dari bosnya. Dia melirik ke tempat Adam. Lelaki itu sedang mengeluarkan sesuatu dari kantong celana sedengkulnya. "Saya tidak tahu, jika terkadang cinta dan cita-cita ternyata tidak bisa berjalan seiringan." Adam tersenyum seraya mengunci tatapan pada benda mungil yang terapit di antara telunjuk dan ibu jarinya. Seutas senyum getir. Selain memberikan telinga untuk menyimak, Zirena tidak tahu harus apalagi. Sejurus kemudian, Adam mendadak bangkit. Menepuk bagian belakang celananya agar bersih dari sisa pasir. Lelaki tinggi itu berjalan mendekat ke bibir pantai diikuti pandangan keheranan Zirena. Dari gerakannya, Adam seperti sedang mengambil ancang-ancang untuk membuang cincin itu. "STOP!" Zirena berteriak, menghentikan. Dia segera bangun, mendekati Adam dan mengambil cincin dari genggamannya. Adam mengernyit penuh tanya, ada apa dengan gadis ini? "Saya tahu kalau cincin ini dibeli pake uang Bapak. Tapi bukan berarti bisa dibuang begitu saja. Pak Adam tau arti mubazir gak, sih?" Adam mengerjap tak percaya saat kata andalan Zirena keluar lagi dari bibir mungilnya. "Lagipula, apa menurut Pak Adam dengan membuang benda ini lantas patah hati Bapak akan terobati? Luka Bapak akan sembuh? Akan lupa dengan Mbak Anggun?" Ketika lelaki di hadapannya bergeming, Zirena menghela napas pendek. Dia sedikit mendongak demi berhadapan dengan mata tajam milik Adam. "Tidak akan ada yang berubah hanya dengan membuang sebuah barang, Pak." Katakan Adam salah fokus, karena detik ini dia seolah terpana oleh tatapan tegas dari gadis yang lebih pendek darinya itu. "Berikan ini pada orang yang membutuhkan kalo Pak Adam sebegitu tidak ingin menyimpannya." Zirena kembali meletakkan cincin permata itu ke genggaman Adam. "Dan, mulai sekarang, jadilah lebih baik dan berbahagialah dalam hidup. Agar kelak Mbak Anggun sadar jika Pak Adam terlalu berarti untuk ditolak." Kedua sudut bibir Zirena tertarik naik, membentuk seuntai senyum bersahabat. "Nah, bentar lagi adzan, Pak. Saya balik ke dalam dulu." Gadis itu membalik tubuh. Baru selangkah, tetapi suara dalam dan berat Adam menghentikan lajunya. "Ehem. Itu ... kamu ...." Adam menggaruk pelipis, ragu menyampaikan. "Tunggu di sini! Jangan ke mana-mana, ok?" Zirena meringis, bingung. Mengapa laki-laki satu itu suka sekali membuatnya heran? Sekarang malah tiba-tiba berlari menjauh dan memintanya menunggu. Segitu sulitnya to the point? "Ini." Tak seberapa lama Adam kembali menemuinya, mengulurkan sebuah jaket. "Maaf, tapi kamu harus pakai itu kalau tidak ingin ketahuan sedang 'tembus'" "Ok. Terima ka—WHAT?!" Zirena membeliak seakan kedua bola matanya akan copot. ASTAGANAGA! BU SUSI, TOLONG TENGGELAMKAN AKU SEKARANG JUGA! T_T *** Berkat insiden paling memalukan seumur hidupnya sore tadi, kini Zirena berusaha mati-matian menghindari Adam. Mencoba tidak terlihat, dan langsung mencari tempat aman begitu batang hidung lelaki itu tampak. Dia tidak sanggup bertatap muka dengan bosnya setelah apa yang terjadi. Masalahnya, sampai kapan Zirena bersembunyi? Dia bisa saja berhasil dengan datang belakangan saat pembukaan, ataupun memilih diam di kamar dan berpura-pura sakit saat dinner bersama semalam. Tapi bagaimana dengan hari ini dan besok? Hanya Tuhan yang tahu. Zirena melirik sudut ponselnya, mengalihkan pikiran dari 'kecelakaan tembus' dan Adam. Waktu subuh masih sejam lagi. Kebiasaan bangun pukul tiga pagi membuatnya tidak bisa kembali memejamkan mata. Gadis itu bangkit dari tempatnya. Mengambil jaket, dan mengendap-ngendap menuju pintu ke luar agar tidak mengganggu yang lain. Dia berniat menelepon Ibu. "Assalamualaikum, Bu." Zirena duduk di atas kursi kayu teras, sebelah tangannya merapatkan jaket, meminimalisir hawa dingin yang menyergap. Suasana masih gelap. Hanya ada penerangan dari rumah penduduk sekitar dan vila-vila di sini. Mendengar suara serak baru bangun milik Ibu seketika membuat Zirena rindu. Dalam percakapan singkat itu, dia menanyakan kondisi Ibu juga tentang Sagita. "Zi. Kamu baik-baik ya di sana biarpun tanpa ibu. Ingat ... meski raga ibu tidak bersama kamu, doa ibu akan selalu menyertai." "Iya, Bu. Zi tahu. Udah ah, Ibu jangan ngomong gitu. Kayak mau pergi jauh aja. Eh, Zi tutup dulu ya, Bu. Bentar pagi kuhubungi Ibu lagi. Wassalamualaikum." Usai memutuskan sambungan, Zirena buru-buru masuk lagi. Suhu udara terlalu dingin sampai menembus tulang rasanya. *** Zirena mengusap matanya kasar. Menghalau buram yang menghambatnya mengemas barang dengan cepat. Dewi dan Rahma yang telah mengenakan pakaian untuk senam pagi, bertanya panik melihat kekacauan gadis itu setelah menerima telepon beberapa detik lalu. Mereka mengikuti Zirena yang kini beranjak menuju teras, memakai sepatu dengan terburu. Orang-orang dari bawah menyaksikan penuh tanya. "Kamu kenapa, Zi? Kamu tenang dulu, jangan langsung pergi begini." Dewi menahan lengan Zirena yang kemudian ditepis cepat. Sesaat mulutnya ingin terbuka menjawab, namun terkatup lagi dan hanya menyisakan butir bening yang mengalir kian deras. "Ada apa, Zi?" Giliran Dika dan Adam yang bertanya cemas, menghalangi Zirena saat tiba di pekarangan. Sambil terisak Zirena berkata ingin kembali ke Makassar, secepatnya. Saking paniknya dia bahkan lupa dengan usahanya menghindari Adam. "I-ibu saya ... tiba-tiba drop dan masuk IGD. Sa-saya harus segera pulang." Tanpa berpikir lebih lama, Adam mendekati salah seorang teman komunitasnya. Membicarakan sesuatu sebelum lelaki itu berlari menuju rumah panggung besar. Lima menit berikutnya, Adam kembali ke tempat Zirena yang sedang ditenangkan oleh Dika juga Dewi. Ransel hitam tersampir di pundak kokohnya. "Dika, saya percayakan anak-anak sama kamu." Dika mengangguk, paham maksud Adam. "Saya akan antar kamu pulang, Zi." (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN