"Tidak selalu yang tampak baik itu demikian adanya. Sebab, terkadang tampilan luar hanya kedok untuk menutupi sebuah rahasia dibaliknya."
-Zirena Nameera Ahmad-
***
"Kamu beneran resign, Zi?"
Zirena mengangguk tanpa menoleh ke asal suara di belakangnya. Dia duduk bersila di dekat sebuah rak buku, bersisian dengan lemari pakaian dua pintu. Buku-buku di rak kayu itu telah dikeluarkan, diletakkan acak pada lantai. Dengan cekatan, Zirena mengelap satu persatu koleksi bacaannya dari lapisan debu.
Dua minggu telah berlalu sejak kejadian ibunya pingsan. Di hari itu juga, Zirena memantapkan niat untuk mengundurkan diri agar leluasa membantu dan menemani perempuan tersayangnya itu. Sebagai anak semata wayang, hanya ini yang bisa dia lakukan.
"Surat resignku sudah diapprove pekan lalu. Dan mulai jum'at kemarin dulu, aku resmi nganggur," ujar Zirena santai, sembari menyusun buku yang telah dia bersihkan ke dalam rak. "Eh, tidak nganggur, sih. Kan aku bantuin Ibu jualan." Sambil cari kerjaan yang dekat dari rumah.
Sagita manggut-manggut sekaligus ber-oh ria. Sejujurnya dia sedikit menyayangkan keputusan sahabatnya itu, apalagi Zirena pernah bilang akan ada promosi jabatan di kantornya dalam waktu dekat ini. Dan, salah satu kandidatnya adalah Zirena.
"Omong-omong, Sagita, sudah kabari Tante Dewi kalau kamu ke sini?" Zirena bangkit dari posisinya. Sesaat melirik gadis berkacamata di ranjang yang berbaring sambil ngemil snack ketela big size, sebelum berjalan mengambil sapu di samping lemari. "Nanti beliau khawatir loh."
Heran juga, Sagita hobi snacking tapi badannya begitu-begitu saja. Pantas Indira menyebutnya kutilang darat, kurus-tinggi-langsing-d**a-rata. Berbeda dengan dirinya, yang barangkali hanya menatapi foto makanan bisa membuat berat badannya naik.
"Belum. Aku balik dari Gorontalo pun Mama gak tahu." Sagita berucap datar. Dia bangun, beringsut duduk di tepi ranjang, dan menaruh bungkusan ketela di atas nakas. "Kamu kayak gak kenal mamaku aja, deh, Zi. Mana pernah dia peduli? Palingan juga sekarang dia sibuk mengurusi arisan mingguan dengan genk sosialitanya."
Mendadak rasa bersalah mengerumuni hati Zirena. Dia tahu betul kondisi keluarga Sagita, dan kali ini dia justru salah bertanya. Zirena mendesah.
Beberapa saat usai menyelesaikan kegiatan menyapunya, Zirena menghempaskan diri di samping Sagita. Berpikir sejenak.
"Hmm ... sorry to say ya, Git. Tapi menurut aku, mau Orangtuamu peduli atau tidak, kamu tetap harus mengabarinya. Jika ketidakpedulian dibalas ketidakpedulian, maka sampai kapanpun tidak akan ada yang berubah di antara kalian." Gadis itu menyelesaikan kalimat dalam satu tarikan napas. Tegas dan jelas.
Rambut panjang sedadanya yang dicepol asal nampak berantakan. Bulir-bulir keringat menghiasi dahi hingga pelipisnya.
Sementara Sagita terdiam, memikirkan kata-katanya barusan, Zirena merebahkan diri ke kasur kapuknya. Menikmati desau angin yang leluasa berhembus masuk ke kamar lewat jendela kaca yang terbuka lebar.
"Yelah, Zi," sahut Sagita kemudian. Dia ikut merebahkan diri dekat Zirena. "Kamu tahu, kadang aku sebel saat apa yang kamu ucapkan itu benar adanya. Kenapa gak sekalian jadi motivator aja sih, Zi?" Sagita bersidekap, mencebikkan bibir seolah kesal sungguhan.
Dan, Zirena menanggapi celoteh karibnya itu dengan tawa sumbang yang samar.
Wah, Zi, seperti biasa, kamu pandai sekali berkata mutiara pada orang lain. Padahal sebenarnya kamu yang butuh itu... Zirena membenak, miris.
Enak ya jadi anak kecil? Tahunya makan, main, dan tidur. Lebih banyak happy ketimbang susahnya..., pikir Zirena saat memandangi Asiyyah yang anteng berada di pangkuan Sagita. Mata mungilnya kemerahan, sisa tangisan saat Zirena mencoba menggendongnya. Selalu saja begitu.
Ah, waktu tahu Sagita berada di rumah Zirena, Indira bergegas menghampiri ke sini. Membawa serta Si Kecil Mungil, Asiyyah.
"Tuh, baby Iyya' saja tahu kalo mukamu serem, kurang senyum! Makanya gak mau deket-deket," ledek Sagita yang kini tergelak bersama Indira, puas melihat wajah cemberut gadis di depannya.
Zirena mendengkus, lalu tersenyum tipis. Senang sekali rasanya jika formasi mereka selengkap ini. Jarang terjadi soalnya karena kesibukan masing-masing, Indira dengan rumah tangganya, Sagita dengan kerjaannya yang sering menuntut ke luar kota, dan dirinya-yang dulu-bekerja dari pagi pulang malam.
"Eh, ngomong-ngomong," Indira meletakkan botol s**u Asiyyah di meja, "si Adam-adam itu udah hubungin kamu soal ganti rugi, Zi?"
"Belum—Ibu...." Zirena bangkit dari duduknya, mengambil alih nampan berisi tiga cangkir teh hangat dan setoples kue kering cokelat dari pegangan Ibunya.
"Ini loh Zi, masa teman-temannya tidak disuguhkan apa-apa. Ckck." Ibu Zirena geleng-geleng kepala. Rambutnya sebagian besar telah beruban, namun tetap kelihatan cantik.
"Ibu kok repot-repot, sih. Entar mereka juga ambil sendiri ke belakang kalo haus," celoteh Zirena yang dibalas pelototan dari Sang Ibu. "Harusnya Ibu istirahat saja di dalam."
"Hush, tidak sopan, Zi!" Ibu Zirena menoyor kepala anaknya pelan.
"Zi benar, Bu," sahut Indira, membela.
"Dia mah emang gak sepeka itu, Tan. Padahal Gita dari tadi kode-kode loh biar diambilin cemilan," timpal Sagita, cengengesan.
Zirena menaruh nampan ke meja kaca bertaplak kain rajutan bermotif bunga. "Huu, dasar tukang makan."
"Tukang makan tapi tetap langsing, kan? Emang kamu, lebarrrrr." Segera saja gumpalan tissue mendarat di kepala Sagita, jatuh melalui pundaknya terus ke lantai. Aksi Zirena melempar mengundang tawa lucu keluar dari bibir mungil Asiyyah. Bayi itu mengerjap cepat, sambil menepuk-nepuk tangannya antusias.
Ibu Zirena cepat melerai sebelum ruang tamunya dipenuhi sampah tissue. Dua anak gadis ini kalau lagi kumat sukanya berantem tidak jelas. Dari tempat duduknya, Indira mengambil alih Asiyyah dari pangkuan Sagita.
"Sudah, sudah. Kalian lanjut mengobrolnya, ya. Tante ke belakang dulu." Perempuan paruh baya itu berbalik, menjauh dari ruangan.
"Makasih cookies enaknya, Tante." Sagita berseru riang, tangannya sibuk memutar tutup toples.
"Tadi sampai di mana, Zi?" tanya Indira, melanjutkan percakapan yang tertunda.
Bicara soal si Brewok itu, Zirena sendiri bertanya-tanya kenapa pria itu belum menghubunginya? Kasihan kartu tanda penduduknya ditawan lama-lama oleh orang asing.
Zirena ingin mencari tahu agar bisa menebus kerugian secepat mungkin, tidak baik menyimpan beban lama-lama. Namun, selain nama dan umur, dia tidak tahu apa-apa lagi tentang pria itu.
***
Pukul 05.00 sore. Hujan turun, deras. Saat mengantar Sagita pulang, cuaca masih cerah. Meski tampak beberapa awan kelabu bergelayut, Zirena meyakini paham 'mendung tak selalu berarti akan hujan'. Jadilah dia tidak membawa jas hujan—kalaupun bawa, dia lebih memilih berteduh—, dan terjebak di emperan jejeran ruko di Jl. Perintis Kemerdekaan bersama pengendara motor lain yang senasib dengannya.
Zirena menatap cemas ke arah simbahan air yang dengan cepat membasahi bumi, dan membuat genangan di pinggir jalan akibat buruknya sanitasi. Kedua tangannya saling menggenggam erat, berusaha mengusir ketidaknyamanan tiap kali langit menangis.
Jika di dunia ini ada orang-orang yang teramat menyukai hujan, maka pastilah ada yang tidak menyukainya. Dan, salah satu orang itu adalah Zirena.
"Ya, Ibu?" Zirena mengangkat telepon setelah bergetar beberapa kali di sakunya.
"..."
"Iya, Bu. Zi lupa tadi. Ini lagi berteduh, kok. Tenang, Bu, Zi baik-baik saja. Alhamdulillah tidak disertai kilat dan guntur, jadi Zi bisa sedikit mengendalikan diri. Sudah, ya, Bu? Assalamualaikum." Zirena menutup panggilan dari ibunya di rumah yang jelas sekali mengkhawatirkannya.
Gadis itu menunduk, memandangi tempias di sekitar pijakannya. Sembari berdo'a agar hujan ini lekas reda.
"Zi-rena?" Sebut seorang pria berbadan gempal dan bermata minimalis yang baru keluar dari indomaret di belakang Zirena. Dua kantungan entah berisi apa berada dalam tentengannya.
Gadis berjaket hitam itu memicing, mencoba mengingat sosok familiar di sampingnya. "Mm ... Bang Beny?" gumamnya pelan, tidak yakin. Beny yang terekam terakhir kali di benaknya tidak begini, maksudnya tidak berpipi gembil dan perut buncit. Memang sih, rumah lelaki ini berada di perumahan yang tak jauh dari sini. Tapi masa iya Bang Ben?
Beny mengangguk cepat. "Ngapain di sini, Zi?"
"Berteduh, Bang." Astaga, Bang Ben berubah banyak, sampai pangling aku.
"Abang apa kabar? Makin subur ya, Bang, habis nikah?" Zirena terkekeh pelan. Walau lama tak bertemu, dia tidak segan mengobrol santai dengan mantan bosnya ini. Pria baik hati yang menerimanya bekerja partime sambil kuliah beberapa tahun silam sebagai operator warnet.
"Kamu belum nikah, tapi gak kalah subur juga," balas Beny, bercanda.
Double astaga! Zirena menggerutu dalam hati, memangnya sekentara itu ya berat badannya kelebihan? Padahal dia merasa biasa saja, lima puluh enam kilogram untuk tinggi badan seratus lima puluh enam sentimeter termasuk ukuran normal.
Tapi, biar begitu, dia bersyukur ketemu Beny di sini. Sedikit banyaknya perhatiannya teralihkan dari derai hujan.
"Sibuk apa sekarang, Dek?" Beny bertanya lagi.
"Sibuk jadi pengacara, Bang."
Kening Beny mengkerut, seingatnya anak ini kuliah Manajemen deh.
"Pengacara, pengangguran banyak acara kepanjangannya, Bang. Hahaha."
"...."
Zirena mengatupkan bibir, berhenti tertawa, sadar candaannya garing sebab Beny memasang wajah serius.
Lelaki itu seperti memikirkan sesuatu, lalu 'sesuatu' itu dia sampaikan ke Zirena.
"Hemm...." Gadis berkucir kuda itu menimbang-nimbang penawaran Beny. "Dekat sih, Bang. Tapi aku pikir-pikir dulu deh, ya?"
(*)