Silvana sudah menyimpan ketertarikan pada Pak Leon, dosen tampan mereka semenjak semester pertama. Tidak mengherankan gadis itu terus saja memasukan nama pria itu dalam daftar kelas yang dia hadari sepanjang semesternya. Dalam bidangnya, tentu Pak Leon akan membantu siapapun yang membutuhkan dirinya. Tapi dalam segi romansa Pak Leon jelas jenis pria yang sulit untuk dicapai. Cukup sulit bagi Silvana untuk melakukan pendekatan padanya, terlebih pria itu selalu saja memiliki cara terbaik dalam membuat sebuah batasan jelas antara dirinya dengan para mahasiswi yang memiliki niatan yang sama dengan Silvana.
“Tapi bila aku punya kesempatan untuk tidur di ranjang Pak Leon, kenapa tidak?” gumam gadis itu sambil bersenandung.
Pagi ini saja saat dia menggoda Jiyya, gadis itu malah mendapatkan peluang lebih dekat dengan dosen mereka yang satu lagi. Orang dengan predikat nomor dua sebagai primadona pria dewasa di kampus menurut Silvana, Pak Joan. Malam ini saja dia pergi dengan pria itu. Jika sahabatnya punya peluang sebagus itu, lantas kapan gilirannya dengan Pak Leon?
Dia mengutuk situasi romantik yang selalu saja tidak bagus untuknya.
Saat dia sibuk pikiran soal romansa impiannya, tiba-tiba Silvana mendengar suara yang datang dari arah kanannya. Kedengaran seperti napas berat tapi agak aneh. Dengan lugu, Silvana berpikir bahwa barangkali itu adalah suara orang yang terluka. Sebab suara itu terdengar seperti seseorang yang berjuang melawan rasa sakit. Namun spekulasi itu berubah ketika suara itu berubah menjadi erangan keras.
Kaget, wajah Silvana jelas langsung memerah. Dia tidak bodoh, dia cukup tahu tentang hubungan pria dan wanita sehingga mudah baginya untuk menebak suara apa itu. “What the hell? Orang gila mana yang berbuat m***m di luar ruangan seperti itu?”
Meski begitu secara tidak sadar, tubuhnya malah mendekat kearah sumber suara. Makin didekati, rupanya berasal dari arah gang sempit diantara bangunan bar dengan pertokoan yang sudah tutup malam itu. Suara erangannya makin mengecil dan rasa penasaran makin menguasai dirinya.
“Seberapa bagusnya permainan si pria sampai bisa mampu membuat wanitanya mengerang seperti itu?” bisik Silvana untuk dirinya sendiri.
Gadis itu tahu bahwa dia sudah melakukan hal yang buruk. Dia yang mengendap mendekati gang tersebut untuk mengintip adalah hal random yang seumur hidup tidak pernah dia pikirkan.
Tetapi berkat itu pula dia jadi melihatnya walau tidak begitu jelas, dua siluet manusia yang terkena cahaya bulan. Bersandar pada dinding dan mereka terlihat begitu liar.
Si wanita terlihat makin merapat ke dinding, napas mereka memburu, erangan si wanita semakin keras lagi namun bibir wanita itu ditutup rapat oleh satu tangan si pria. Meredam suaranya agar tidak terdengar, tapi mereka tidak tahu bahwa aksi keduanya telah disaksikan oleh Silvana.
“f**k ….” suara baritone si pria menggeram.
Silvana kontan merasa menggigil, rasanya suara itu seperti merayap naik dan juga turun dari sekitar tulang punggungnya. Dia mengenal suara itu.
Wanita yang sibuk dia gagahi terus mendesis, tapi Silvana tidak peduli sedikitpun padanya. Dia justru lebih tertarik memastikan pria yang membuat tubuhnya terasa membeku ditempat. Gadis itu bersembunyi agar keberadaannya tidak dapat disadari kedua orang itu, tetapi cukup untuk menuntaskan kecurigaannya. Pria itu punya kulit sewarna perunggu dengan kedua kakinya yang berotot. Silvana melihat tas selempang yang terlempar dibawah kakinya, dan gadis itu membelalak tidak percaya.
Itu tas milik Pak Leon! Seratus persen Silvana bisa memastikannya karena dia selalu memperhatikan dosen tampannya itu dan menganalisa penampilannya setiap hari dan ta situ adalah tas yang dia pakai hari ini.
“Tidak mungkin!” Silvana mencicit sambil menutup mulutnya. Bagaimana mungkin seorang pria yang terhormat di kampus mereka sebagai seorang pengajar melakukan hal memalukan seperti ini di muka umum. Dia bertaruh bahkan bila dia menceritakannya pada Jiyya gadis itu pasti akan memukulnya dibandingkan mau percaya. Bukannya pergi Silvana malah tidak bisa beranjak dari sana sama sekali.
Gadis itu malah meneliti tubuh sang dosen saat dia sibuk dengan wanita-nya malam ini. Silvana tertegun akan setiap lekukan ototnya yang tidak terhalang kemeja sialan yang dia kenakan setiap kali mengajar. Khusus malam itu Pak Leon menggulung kemejanya hingga ke siku dan tidak dia duga bahwa ada bekas luka yang tersebar disana, anehnya itu malah membuat pria itu tambah terlihat seksi. Silvana terpesona, dan tergelitik untuk tahu lebih banyak. Sebab meski pasangannya sudah berantakan, Pak Leon masih tetap berpakaian utuh kecuali bagian celananya yang sedikit melorot.
Sensasi aneh muncul diperut Silvana. Rasa panas malah menjalar kebagian bawah tubuhnya. Sial, dia malah terbawa suasana. Ini menjijikan, pikirnya. Gadis itu memutuskan untuk beranjak darisana. Tapi baru beberapa langkah dia malah mendengar suara tubuh yang melekat dan saling menampar, menggema di udara.
“Kau begitu panas.” Wajah Silvana merah padam mendengar suara Pak Leon dari balik gang sempit itu.
“Kau sempurna, aku tahu sejak aku melihatmu. Ah!” Wanita itu berteriak, Silvana tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya tapi yang jelas gesture tubuh wanita itu benar-benar menandakan bahwa dia telah dimabuk oleh kenikmatan. Mereka terlihat saling terpuaskan satu sama lain dalam puncak gelombang yang diraih bersamaan.
Seluruh tubuh Silvana tergelitik lagi melihat adegan panas itu. Silvana tidak tahu siapa perempuan itu, tapi gadis itu iri mengingat betapa beruntungnya dia mendapatkan Pak Leon meski untuk satu malam.
“Sangat hebat,” komentar si wanita. Ada sedikit desahan yang dibuat-buat disana.
“Aku hanya melakukan apa yang biasa aku lakukan,” balas Pak Leon. Suaranya lebih serak daripada biasanya, sekali lagi Silvana merasa perutnya melilit.
Silvana masih mengamati mereka, terutama Pak Leon yang kini sudah merayap mengambil sesuatu dari tas selempangnya yang ada dibawah kakinya. Mengeluarkan sebatang rokok dan juga pematiknya sekaligus.
Pria itu menyalakan rokoknya. Wajah wanita yang menjadi teman mainnya sedikit buram karena penerangan yang minim. Tapi Silvana optimis bahwa wanita itu tidak lebih cantik darinya. “Kenapa harus dia yang punya kesempatan seperti itu dengan Pak Leon yang dia kagumi?” bisiknya dalam hati.
Tapi perhatiannya teralihkan pada Pak Leon yang sedang mengulum rokoknya. Lalu menggerakan tangannya untuk mengambil rokok yang dia hisap dari mulutnya. Anehnya pergerakan kasual itu jadi terlihat sensual sekarang.
Belum lama kekaguman merajai, rasa panas oleh amarah mematiknya lagi. Itu terjadi tepat ketika Pak Leon dengan lembut meletakan rokok bekas mulutnya kepada wanita itu sembari menepuk kepalanya dengan penuh sayang. Seperti perlakuan yang pernah Pak Leon lakukan pada Silvana saat dia berhasil mendapatkan nilai sempurna dalam ujiannya.
“Kita akan melakukannya lagi?” Wanita itu bertanya penuh harap, menghisap rokok yang diberikan oleh Pak Leon seolah takut rokok itu akan diambil kembali olehnya.
“Entahlah,” balas Pak Leon, pria itu menyelempangkan tasnya lagi ketubuh tegapnya dan kemudian berjalan kearah sebaliknya. Meninggalkan si wanita begitu saja. Silvana cukup beruntung dosen tampannya itu tidak mengambil jalan menuju kearahnya.
Tapi selepas dia pergi dan melihat wanita itu terkulai di gang sempit sambil menghisap rokok bekas Pak Leon membuat Silvana marah padanya tanpa alasan. Dia merasa punya dorongan gila untuk mencabut rokok itu dari si wanita asing tersebut. Namun dia tahu, dia tidak mungkin melakukannya.
Setelah semua adegan itu berakhir, pada akhirnya dia benar-benar memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulangnya yang tertunda. Ini hari yang gila. Meski kakinya melangkah menuju kerumah, tapi pikirannya masih tetap berkelana pada setiap adegan yang dia lihat. Bahkan pada saat Silvana sudah sampai didepan pintu rumah dan masuk kedalam kamarnya. Gadis itu malah membayangkan dirinya yang ada diposisi wanita tadi dan melakukannya dengan sang dosen.
Silvana sudah tidak waras, dia tahu. Baru siang tadi dia bilang bahwa Pak Leon menarik, malamnya dia malah mendapatkan pembuktian konkret. Padahal pagi tadi dia hanya senang membercandai Jiyya, dengan mengatakan pria yang lebih dewasa lebih berpengalaman. Dan pendapatnya soal itu tidak salah.
“Target sudah ditetapkan, Pak Leon kau adalah mangsaku selanjutnya.”