Perayaan yang Terlupa

1523 Kata
“Happy anniversary, sayang, terima kasih untuk dua tahun yang memberikan banyak kebahagiaan,” ucap Dirga ketika pertama kali membuka mata. Gayatri tersenyum dan merapatkan tubuh pada suaminya. “Maaf aku belum bisa kasih yang terbaik dalam pernikahan ini, Mas.” Gayatri lantas tersipu kala Dirga mengcup cuping hidungnya. “Kamu sudah mengabdikan dirimu, padahal jika mau kamu bisa turut mengembangkan usaha batik ayah, tapi kamu lebih memilih mengurusku.” Benar adanya, Gayatri adalah salah satu pewaris pengusaha batik terbesar di Indonesia. Menikah dengan Dirgayasa dan mengabdikan diri menjadi istri sepenuhnya adalah satu keputusan besar yang Gayatri ambil. Gayatri mengecup lembut rahang Dirga, lelaki itu belum bercukur hingga membuat Gayatri mengernyit karena kegelian. Lalu Gayatri bangun bersiap menghidangkan sarapan. “Ini kemeja aku simpan di sini, ya, Mas. Dasinya mau yang mana?” tanya Gayatri. Dirga menghampiri dan melingkarkan tangannya di perut rata sang istri lalu mengecup pundaknya berkali-kali. “Asal kamu yang siapin aku pakai, aku percaya kamu bisa pilih yang terbaik buatku.” “Aku pakein dasi polkadot, Mas mau?” goda Gayatri dengan senyum jenakanya. Dirga menggelitik pinggang Gayatri, membuat wanita yang dia nikahi tepat dua tahun silam itu tertawa. Keduanya lantas menghapus jarak. Lalu perlahan menggulingkan tubuhnya di atas tempat tidur. Meniti jengkal demi jengkal, menapaki hasrat lalu lebur di antara tumpukan selimut dan bantal yang berserak. *** “Aku ada meeting dulu sama Mr Yun, buyer dari Korea Selatan. Habis ini kita rayakan Anniversary kita di Vila, bagaimana?” tanya Dirga. Dia tahu betul Gayatri tidak begitu suka menghabiskan waktu di tempat umum seperti restoran. “Aku duluan ke vila ya, sama Mbok. Sekalian persiapan.” “Nyuruh orang aja, Sayang, lebih baik kamu di rumah siapin diri biar cantik.” “Tidak apa-apa, aku nanti sekalian dandan di sana.” Dirga akhirnya mengangguk seraya meninggalkan meja makan, Gayatri jika punya keinginan tidak dapat ditolak, dia lantas mengikuti sang suami. Dengan sukarela membawakan gawai dan tas berisi laptop dan beberapa dokumen. Tiba di beranda rumah, dia serahkan semuanya pada Dirga. Lantas lengannya yang kurus dan lentik memperbaiki letak dasi yang dia pilih tadi. Sekilas, Gayatri sama seperti istri-istri yang lainnya. Siapa pun bisa menebak apa kegiatan dari istri seorang CEO, bergaul dengan wanita sosialita, menghamburkan uang suami dengan dalih berinvestasi membeli berlian. Sayanngnya tebakan itu salah, sebagai mana perempuan keraton, Gayatri adalah istri yang patuh dan tunduk pada suami. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan membaca buku. Sesekali jika PT Mutiara Jati memiliki permasalahan yang cukup pelik, kemampuannya sebagai seorang master lulusan Monash University dia kerahkan. Ada yang saja jalan keluar yang akhirnya bisa memecahkan permasalahan pelik. Berkali-kali Dirga menawarkan posisi di perusahaan, tentu saja atas persetujuan Dewan Direksi. Sayangnya berkali-kali pula Gayatri menolaknya. Dia lebih suka di rumah, mengabdi sepenuhnya pada Dirga. Mobil yang akan membawa Dirga ke PT Mutiara Jati telah siap, sopir berdiri di samping pintu yang sudah terbuka. Dirga mengecup ringan bibir Gatatri, di susul dengan kecupan di kening. Gayatri yang memejamkan mata lantas segera meraih tangan sang suami, menciumnya dengan takzim. “Happy Anniversary, sayang.” Sekali lagi Dirga mengatakan itu. Gayatri menjawabnya dengan pipi yang merona, cinta dia terus tumbuh. Bermekaran bagai bunga-bunga di musim semi. Sepeninggal Dirga, Gayatri masuk ke rumah dan buru-buru menghampiri si Mbok yang sedang membereskan bekas sarapan pagi. “Mbok, siap-siap, kita ke villa.” “Sekarang, Den?” “Mas Dirga mau merayakan Anniversary di sana. Sebelumnya kita ke Istana Cake dulu sama belanja buat kebutuhan makan di sana. Kemungkinan juga menginap, Mbok bawa baju ganti, ya,” perintah Gayatri. Perempuan separuh usia itu mengangguk memindahkan piring kotor ke sink lalu mencucinya sebentar. *** Meeting sedang berlansung saat tiba-tiba Dennisa masuk ke ruangan dan membisikkan sesuatu pada Dirga. Air mukanya berubah, tetapi lelaki itu segera menyesuaikan. Apa pun yang terjadi dia harus tetap profesional. Presentasi yang dia lakukan di hadapan Mr Yun dan anak buahnya tetap dilakukan. Kerjasama ini sangat penting untuk PT Mutiara Jati. Meeting ini setidaknya berpengaruh juga pada masa depan Mutiara jati. Sepelik apa pun kabar yang Dennisa bawa, apa pun masalah yang tengah terjadi Dirga berusaha seprofesional mungkin menyelesaikan meetingnya bersama Mr Yun. Dua jam berlalu, pertemuan itu akhirnya di tutup. Dirga menjabat tangan Mr Yun, pria Korea itu puas dengan penjelasan dari Dirga lalu menandatangani kontrak kerja sama. Satu keberhasilan lagi Dirga raih, meski dalam hatinya lelaki itu gundah perihal masalah baru yang Dennisa kabarkan tadi. “Dennisa, tolong persiapkan meeting selanjutnya bersama tim dan perwakilan tim produksi.” Dirga berkata dengan tegas. Selama menjabat menjadi CEO Dirga tidak pernah mendapatkan complain dari buyer. Parahnya kali ini dia langsung mendapatkan komplain dari buyer USA. Salah satu konsumen terbesar yang selalu repeat order furniture dari Mutiara Jati. “Tapi, Pak, bukannya Anda harus segera menemui Ibu?” protes Dennisa. “Istri saya bisa menunggu, dia pasti paham dan memprioritaskan urusan pekerjaan. Lagipula ini benar-benar urgent. Segera, Denn. Dalam waktu lima belas menit semua harus sudah kumpul di sini.” Dennisa mengiyakan seraya meninggalkan ruangan meeting yang luas itu. Dirga mencari kontak Gayatri dan segera menghubungi dia yang kini sedang menunggu untuk merayakan Anniversary di Villa. “Sayang,” sapa Dirga kala panggilannya diangkat oleh sang istri. “Kamu masih di kantor?” tanya Gayatri. “Mr Kevin complain. Katanya, ada beberapa cacat di furniture yang kita kirim bulan lalu, parahnya dia menuduh kami menggunakan bahan grade c dan menjualnya dengan harga grade A.” “Ya ampun, terus bagaimana?” Gayatri tidak kalah kaget. “Tidak apa-apa aku telat, kan? Ini sedang mengumpulkan tim Produksi sama tim QC, meeting urgent.” “Ya sudah, selesaikan saja dulu, aku bisa menunggu.” Dirga mendesah lega, sangat beruntung kala dia memiliki Gayatri istri yang pengertian dan tidak banyak menuntut. “Terima kasih, sayang,” ucap Dirga. Ketika menutup telepon Dirga menyadari di ruangan itu sudah ada beberapa karyawan yang siap untuk mengikuti meeting. Dennisa menyerahkan berkas aduan dari USA, kening Dirga berkerut kala membaca detail-detail aduan yang sebelumnya disampaikan Mr Kevin melalui email. Keheningan di ruangan itu diinterupsi oleh bantingan dokumen di atas meja. Dirga murka, dia lantas meminta pertanggung jawaban tim produksi dan tim quality control yang sudah meloloskan produk untuk dikirim ke USA. “Kami dari tim produksi sudah berkali-kali complain masalah bahan baku, Pak. Kayu yang digunakan tidak sebagus kayu yang sebelumnya. Namun, belum ada tanggapan yang pasti. Kami hanya bisa memilah bahan dengan kualitas bagus dan menyortir kayu-kayu reject.” “Pak Anwar yang seharusnya bertanggung jawab, bukan?” “Betul, saya yang seharusnya bertanggung jawab. Pasokan kayu dari PT Arcadia memang menurun kualitasnya kami masih menggunakan kayu-kayu tersebut, Memang anak-anak dari tim produksi banyak mengeluh karena kualitas kayunya. Bahkan banyak kayu Reject di area produksi. Kami berharap Pasokan kayu dari PT Dewa Jati Sanjaya segera dikirim.” “Mr kevin memberi waktu kurang dari sebulan untuk mengganti seluruh kerugian. Bisa kalian pastikan sesuai dengan target?” tanya Dirga. “Bisa kami kerjakan secepatnya, Pak. Tapi masalahnya persediaan kayu berkualitas sudah habis. Bisakah kami dari tim produksi mendapatkan kayu-kayu yang benar-benar berkualitas sebelum melanjutkan produksi?” “Akan saya usahakan menghubungi PT Dewa Jati Sanjaya. Pak Yos, pastikan tim Quality Control mengerjakan tugasnya dengan benar, jangan sampai ada cacat sedikit pun yang lolos dari pemeriksaan. Kelangsungan kita dipertaruhkan. Mengerjakan pesanan Mr Yun dengan segera dan mengganti kerugian Mr Kevin dengan segera. Saya percaya kalian dapat mengatur managemen waktu dan sumber daya manusia. Sampai di sini pertemuan kita, saya pastikan bahan baku akan kita terima hari ini juga. Terima kasih.” Meeting bubar, semua karyawan dengan sigap mengerjakan apa yang seharusnya mereka kerjakan. Dirga tidak punya pilihan untuk menghubungi Alvira, berusaha mendapatkan pasokan bahan baku di luar kontrak yang mereka sepakati. *** Hidangan ala western tersaji di meja. Dinding kaca membuat siapa saja dapat melihat keindahan kota Bandung pada malam hari. Perpaduan temaram disiram cahaya bulan semakin indah bersatu dengan kerlip-kerlip lampu dari kejauhan. Suasana romantis otomatis tercipta. Api dari lilin meliuk-liuk bak gaun penari yang tertiup angin. Dua sejoli tidak banyak bercakap. Yang satu fokus dengan makanannya yang satu sibuk dengan pikirannya yang terbang jauh ke tempat lain. Dirga terpaksa berada di sini demi pasokan kayu untuk menyelamatkan perusahaan. Alvira memberikan syarat pertemuan makan malam untuk membicarakan bisnis. Sungguh lelaki itu tidak menyangka makan malam yang Alvira rancang malah seperti makan malam dengan pasangan. “Aku akan usahakan besok semua dikirim ke pabrik. Kualitas paling bagus sebagai pembuka kerja sama kita,” ucap Alvira di sela kunyahannya. “Terima kasih, aku gak tau apa jadinya kalau CEO Dewa Jati Sanjaya bukan kamu.” “KKN nih ceritanya?” ledek Alvira. Dirga tersenyum, lalu menyuapkan makanan dengan ragu. “Vir, aku tidak bisa lama-lama,” ucap Dirga. “Bisnis kita belum selesai, Ga. Ini kan belum ada keputusan dari tim aku. Sabar dulu, kalau kata mereka OK, kamu boleh pulang.” Alvira seakan tahu apa yang dicemaskan Dirga, hal itu membuat dia sengaja berlama-lama menahan Dirga. Padahal seharusnya Dirga tahu, Alvira lah yang memegang kendali perusahaannya, dia sendiri yang seharusnya bisa memberikan keputusan itu. Setengah jam setelah perbincangan itu, Dirga akhirnya bisa melepaskan diri dari Alvira, itu pun karena lelaki itu tidak konsentrasi dan benar-benar resah berkali-kali melirik arlojinya. Setelah mengantarkan Alvira sampai depan rumahnya, Dirga memacu mobilnya untuk pulang. Dia tidak enak hati lantaran membiarkan Gayatri menunggu untuk makan bersama. Mobil menepi, lelaki itu buru-buru masuk rumah akan tetapi rasanya hampa dan sepi. Tidak ada sambutan hangat dari Gayatri seperti biasanya, atau jika tidak, si Mbok yang ikut sibuk meladeni dirinya. Dirga lupa, jika Gayatri berada di Villa menunggu Dirga dari siang untuk merayakan anniversary mereka yang kedua. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN