Ketika raungan ponselnya berhenti satu pesan masuk tidak sengaja Gayatri buka. Isinya sungguh membuat Gayatri lemas tak berdaya. Kakinya nyaris seperti jelli. Kepalanya pusing, dan telaga menggenang di pelupuk matanya.
Alvira, nama itu dia rekam di kepalanya sebagai wanita dari masa lalu sang suami. Perempuan itu berpikir keras sejak kapan Dirga menyimpan nomor Alvira, sejak kapan pula mereka bertemu. Wajarkah jika Gayatri curiga?
Gayatri melihat pintu kamar mandi yang masih tertutup, dengan tangan yang bergetar dia membuka pesan yang tidak seharusnya dia buka. Persetan dengan privasi.
[Terima kasih, Ga. Rinduku terobati, semoga bisa bertemu lagi]
Wanita berwajah eksotis dengan rambut panjang itu menunjukkan sedih yang tidak ada ujungnya melihat pesan yang dikirim Alvira.
“Sayang, katanya mau bikin kopi, masih di situ?” kata Dirga dia melingkarkan handuk putih di lehernya. Biasanya Gayatri selalu senang melihat Dirga bertelanjang d**a. Kali ini muncul setitik amarah membayangkan Dirga bertemu dengan mantannya.
“Loh, loh, kenapa?” Dirga mendekat melihat Gayatri berderai air mata.
Dirga melihat ponselnya tergeletak di atas tempat tidur. Pesan dari Alvira langsung dia baca. Saking buntunya mau berkata apa akhirnya Dirga hanya memeluk Gayatri dengan erat. Sepanjang usia pernikahannya baru kali ini Dirga melihat sang istri menangis karena cemburu.
“Kamu cemburu, ya?” kata Dirga seraya mengelus puncak kepala Dirga.
“Aku sebenernya kesel, Mas. Semalaman nungguin nyatanya kamu malah ketemuan sama dia. Katanya ada pertemuan bisnis, bisnis apa?”
Dengan cepat Dirga membungkam mulut Gayatri dengan kecupan lembut. Hal itu membuat Gayatri kaget.
“Kamu mau dengar penjelasanku atau tidak?” tanya Dirga.
Gayatri mengerutkan kening. Mau bagaimana lagi, mungkin dengan mendengarkan penjelasan Dirga hatinya yang tengah resah bisa sedikit tenang.
“Apa bisa dipercaya?”
Dirga tidak menjawab, lelaki itu menghujani wajah sang istri dengan kecupan bertubi-tubi.
***
Tart sederhana dengan lilin yang menyala terhidang di meja. Tidak hanya mereka berdua, si Mbok dan sopir pun ikut merayakan kebahagiaan Gayatri dan Dirga.
Dirga belum bercerita, Gayatri yang memintanya. Dia hanya ingin merayakan hari yang tidak bisa dibilang bahagia saat ini juga. Kebahagiaannya rusak, kue dan lilin hanyalah seremonial belaka. Hatinya tak karuan, senyumnya palsu.
Genggaman tangan Dirga rasanya tidak hangat lagi. Jika tidak ada si Mbok Gayatri sudah mencerca Dirga dengan jutaan kata. Mengharapkan penjelasan yang lelaki itu janjikan tadi.
“Semoga langgeng, Den. Semoga Tuhan selalu memberkahi pernikahan kalian, Dan yang paling penting semoga Allah memberikan keturunan secepatnya. Si Mbok terharu, rasanya baru kemarin nganterin Den Dirga Sunat, sekarang Aden sudah dua tahun jadi suami.”
Dirga menatap wanita yang selalu ada untuknya selain Ibunya. Si Mbok yang selalu membela, dia juga selalu telaten menyuapi Dirga sementara lelaki itu asik main game.
“Makasih, Mbok.” Gayatri memecah keheningan yang tercipta di antara mereka. Dia tersenyum lembut dan menyerahkan potongan kue tart masing-masing untuk si Mbok juga sopir.
“Mbok, kayaknya aku kangen disupain, Mbok,” ujar Dirga dengan manja. Gayatri sempat tergelak, namun perih di hatinya belum bisa dia tutupi meski Dirga bersikap manis padanya.
Si Mbok mengambil sesendok kue dan menyuapi Dirga bergantian dengan Gayatri. Acara terus berlangsung hingga mereka sarapan bersama. Lalu, setelah usai si Mbok seolah mengerti Dirga dan Gayatri butuh bicara. Dia pamit untuk belanja bahan makanan ke pasar terdekat.
Kini tinggal Gayatri dan Dirga berdua di Villa itu. Tanpa dikomando Dirga merangkul Gayatri, lalu membawanya duduk di sofa.
“Aku sudah cerita, kan, tentang kerja sama dengan PT Dewa Jati Sanjaya?”
Gayatri mengangguk. Dia berusaha menjadi pendengar yang baik meski ada gemuruh dalam dadanya. Dia berharap apa yang akan didengar selanjutnya dapat meredam gemuruh tersebut.
“Ternyata CEO dari perusahaan tersebut Sakti Prasetya. Kamu tahu siapa lelaki itu?”
Gayatri menggeleng. Dia enggan membuka suara. Biar Dirga saja.
“Dia mantan mertuaku, aku gak tahu soalnya perusahaan sudah ganti nama. Dan Dewa Jati Sanjaya saat ini adalah satu-satunya pemasok yang memiliki kualitas terbaik di Indonesia. Pertemuanku dengan Alvira tanggal 28 kemarin. Aku gak menyangka dia adalah calon penerus Pak Sakti yang konon akan segera pensiun.”
Tanggal 28 adalah tanggal di mana mawar yang diberikan dirga adalah mawar palsu. Bukan bunganya yang palsu, tetapi identitas pengirim yang dipalsukan. Dirga tidak sempat membeli sendiri lantaran sibuk dengan Alvira. Gayatri menarik kesimpulan, dan tepat sasaran.
“Kemarin, di tengah meeting dengan Mr Yun, Dennisa mendapatkan kabar dari USA. Mr Kevin complain dan marah besar. Pasokan kayu dari PT Arcadia menurun kualitasnya tim produksi terpaksa menggunakan kayu-kayu tersebut, Memang anak-anak dari tim produksi banyak mengeluh karena kualitas kayunya. Bahkan banyak kayu Reject di area produksi. Semua pesanan Mr Kevin masih menggunakan pasokan dari Arcadia. Sedangkan kontrak kerja dengan Alvira, ehm maksudku Dewa jati Sanjaya baru berlaku dua minggu lagi. Jujur aku putus asa, akhirnya secara pribadi aku minta pasokan kayu diluar kontrak kerja sama pada Alvira. Mr Kevin hanya memberi waktu satu bulan untuk mengganti Furniture yang reject.” Dirga menjelaskan. Dia yakin Gayatri mengerti mengingat Gayatri adalah perempuan cerdas. Ya, benar Gayatri memang mengerti, tetapi banyak pikiran lain yang melintas di benaknya.
“Secara pribadi?” Pertanyaan Gayatri nyaris berupa bisikan.
“Betul, percayalah, Sayang. Semua hanya bisnis?”
“Kenapa harus minta pada Alvira dan apa yang keputusan ini sudah melibatkan dewan Direksi?”
“Aku panik, aku akan kabari dewan direksi segera. Mungkin ke depannya aku akan sering lembur.”
Gayatri masih belum puas dengan penjelasan Dirga. Dia terus menyelami mata kelam yang selalu dia kagumi sejak beberapa tahun silam itu. Mencari kejujuran yang rasanya kini sedang berubah wujud entah jadi apa.
“Lalu, apa maksud dari pesan itu?” Gayatri menunjuk ponsel Dirga yang membisu.
“Semalam kami dinner. Dia ingin membicarakan bisnis ini sambil makan malam.” Dirga menjawab dengan jujur.
“Dennisa ikut?”
Dirga menunduk, dia melihat cincin kawinnya berkilau tertimpa cahaya yang mengintip. Lalu menggeleng dengan perasaan bersalah yang teramat sangat.
Dada Gayatri begitu sesak. Rasanya seperti jantungnya berhenti berdetak. Matanya mengembun. Gayatri tidak pernah merasa terluka sejak menikah dengan Dirga. Dia tidak tahu rasanya luka itu seperti apa. Namun, kejadian ini membuat wanita itu jadi tahu bagaimana rasanya.
“Sayang,” sapa Dirga, dia berusaha memeluk wanitanya.
“Aku mengerti, aku masih percaya padamu. Hanya saja, aku sedikit kecewa. Mati-matian aku siapkan perayaan Anniversary kita sementara kamu sedang bersama mantan istrimu.” Itulah Gayatri, dia percaya penuh pada lelaki yang sudah meminangnya dua tahun silam.
“Percayalah, meski Alvira adalah yang pertama untukku tapi kini dia masa laluku, ada kamu di sini.” Dirga menyentuh dadanya. “Kamu adalah orang yang akan aku cintai hingga Tuhan mencabut nyawaku.”
“Aku harap kamu bukan sekadar gombal.”
“Aku tidak gombal, mau bukti?” Dirga menggelitik pinggang Gayatri. Gayatri terkikik geli lalu keduanya lebur dalam candu dunia yang memabukkan seperti arak.
***
Dua hari di Vila rasanya teramat sebentar. Apalagi Dirga tetap saja mengurus pekerjaan meski tidak berangkat ke kantor.
Kini keduanya harus rela mengakhiri liburan dan kembali pada rutinitas biasanya dan pulang ke rumah. Gayatri pulang membawa resah yang menggunung dalam dadanya. Dia hanya tidak bilang pada Dirga.
Si Mbok duduk di samping sopir. Sedangkan Gayatri dan Dirga duduk di kursi penumpang. Pohon-pohon di pinggir jalan terlihat seperti melepas kepulangan Gayatri dan Dirga.
“Aku langsung ke kantor, ya, sayang,” ucap Dirga memecah keheningan.
“Hmm .... “ Hanya itu jawaban Gayatri bahkan dia tidak membuka matanya dan tetap menyandarkan kepala di pundak suaminya.
“Jika orderan dari Korea selesai dan complain Mr Kevin teratasi kita bulan madu lagi. Kamu mau ke Melbourne? Napak tilas perjalanan cinta kita.” Dirga berbisik. Membuat Gayatri membuka matanya, dan tersenyum lalu mengecup pipi Dirga hingga lelaki itu tersipu. Lucu juga wajah Dirga saat malu-malu seperti itu.
“Makan malam di rumah?” tanya Gayatri. “Aku mau praktik resep baru.”
“Belum tahu, pulang cepat atau enggak nanti aku kabari kamu.”
“Baiklah.”
Si Mbok mengintip sedikit, dia merasa senang melihat kemesraan majikannya. Sayang, wanita tidak tahu ada sesuatu yang mengganjal sedang dirasakan Gayatri dan Dirga. Keduanya hanya pintar menyembunyikan perasaan masing-masing.
“Pak, ke kantor saja dulu, baru ke rumah,” perintah Dirga pada sopir.
“Jadi kita muter dulu, nih, Mbok,” seloroh Gayatri. Si Mbok senang-senang saja karena bisa keliling kota terlebih dahulu.
“Ndak apa-apa, Den, Si Mbok kangen jalan.”
Gayatri dan Dirga tertawa bersama, andai saja semua tahu, ada sesuatu yang membuat Dirga bingung. Satu sisi lelaki itu enggan mengkhianati Gayatri. Sisi lain sudut hati terdalamnya senang saat bertemu dengan Alvira. Jika boleh berkata jujur dia pun teramat merindukan Alvira.
Kemacetan menghalangi laju mobil. Suara merdu artis tahun 70-an ditingkahi sahut-sahutan klakson menjadi musik pengiring perjalanan mereka.
Ketika kemacetan sudah berhasil dia lalui, dering ponsel Dirga terdengar. Mata Gayatri sedikit melotot kala melihat nama yang terdapat di layar. Alvira. Mau apalagi perempuan itu?
Dirga melirik Gayatri sekilas. Lalu menolak panggilan tanpa ragu.
“Kenapa tidak di angkat? Apa karena ada aku?” tanya Gayatri.
“Aku merasa tidak punya kepentingan sama dia.”
“Siapa tahu ada yang penting,” ujar Gayatri
“Semua urusan pekerjaan sudah aku serahkan pada Dennisa. Jadi kalau ada apa-apa dia bisa hubungi Dennisa,” tegas Dirga. Lelaki itu mengatakan itu bukan semata untuk menenangkan Gayatri. Tapi memang begitu adanya. Sejak malam itu di Vila dia meminta pada Alvira untuk menghubungi Dennisa terkait dengan segala urusan pekerjaan.
Mobil sudah sampai di pelataran Mutiara Jati Furniture. Dirga pamit dan mengecup kening Gayatri. Lalu berdiri dan melepas mobil yang istrinya tumpangi menghilang di tikungan.
Entah apa yang merasuki lelaki itu hingga kini perasaannya gelisah. Dia merasa bersalah karena menolak panggilan dari Alvira. Sebelum masuk gedung di mana dia bekerja, lelaki itu merogoh kantong celananya dan mengambil gawai. Mencari riwayat panggilan dan menyambungkan teleponnya pada Alvira.
Dirga mulai bermain hati, dia merapal maaf dalam hatinya, masih terbayang seraut wajah sendu Gayatri. Namun, ketika suara manja Alvira terdengar di sambungan telepon seketika dia lupa. Lupa bahwa ada sepotong hati yang harus dia jaga.