bab 12

1825 Kata
Berlawanan arah 12 "Gue cabut duluan, ya!" Kata Adit ketika mereka semua berjalan keluar dari kelas. Bel panjang baru saja berdering dan itu berarti mereka boleh pulang dan semua mata pelajaran sudah selesai hari itu, mungkin hanya beberapa saja yang masih mengikutinya ekstra kulikuler yang masih bertahan di sekolah. Sedangkan yang lain memilih untuk segera beranjak dari sekolah karena rasa bosan itu sendiri. "Buru-buru amat, mau kemana?" Balas Anjar yang masih berdiri di depan kelas, dia masih menunggu pacarnya datang, lalu Rangga dan El juga masih sibuk di dalam kelas. "Adalah perlu. Penting, gue tinggal. Lo ari-ari pas pulang, jangan ugal, kena marah bini Lo nanti!" "Ck! Cerewet! Gue juga tau elah!" Adit terbahak setelahnya, dia berbalik dan berlari ke arah tempat parkir. "Kabarin kalo udah Sampek, ataupun ada apa-apa!" "Beres!" Balas Adit dengan mengangkat tangan kanannya. Dia ingin segera pergi dari sekolah karena janji pada seseorang. Anya, gadis yang baru saja, tepat di jam terakhir pelajaran mengatakan akan pergi ke perpustakaan kota menghubungi dirinya. Dan saat itu, entah angin apa yang membuat wanita itu repot mengabari Adit, padahal biasanya dia terlalu acuh dan tidak peduli dengan keberadaanya. Dengan senyum mengambang, Adit mencoba menyelip di antara banyaknya murid yang berjalan keluar dari sekolah. Biasanya Adit paling malas juga harus berebut untuk bisa keluar dari sekolah dan harus berdempet dengan banyak murid seperti sekarang. Namun, kali ini tak ada pilihan lain, dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu bersama dengan wanita yang sudah sangat lama dia kagumi itu. Dengan tergesa dia langsung menaiki Pino, memakai helm dan jaket kesayangannya dan segera berlalu dari sana. Lagi, dia harus merasakan antrean yang begituan padat dari kendaraan motor milik siswa siswi lainnya. "Misi!" Ucap Adit mencoba memanggil orang di depannya, sebisa mungkin dia harus bisa mencari celah agar bisa keluar dari tempat ini. "Gue duluan, sorry buru-buru." Dengan kelincahannya, Adit bahkan bisa menyelip dan masuk ke dalam sela dari beberapa motor yang ada di depannya, walau harus menyenggol dan hampir menabrak kendaraan di depannya, dia tidak peduli. "Maaf. Gue buru-buru!" Balas Adit yang terus saja berusaha masuk ke sela-sela sempit padatnya kendaraan, triknya adalah, usahakan ban depan masuk dan mencari celah sebelum ditutup oleh kendaraan lain. Dan ya, tak sampai memakan waktu lebih dari sepuluh menit, dia sudah berhasil keluar dari tumpukan kendaraan itu. Dengan segera dia menambah kecepatannya untuk pergi dari sana. Membelah jalanan padat untuk menuju ke satu tempat yang sudah di sebutkan oleh Anya sebelumnya. "Ck, s**l gue lupa isi bensin pula!" Gumang Adit ketika melihat jarum indikator bensin di motornya sudah hampir mencapai titik merah. "Bodo amat, semoga aja cukup!" Lagi, dengan modal nekat dia langsung melesat dan tak memakan waktu lebih lama lagi dia sudah sampai di depan sebuah toko buku yang cukup ternama di daerahnya. Adit mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Anya. Cukup sabar dia menanti hingga tak lama setelahnya dia melihat seorang wanita tengah duduk di depan toko buku, wajahnya yang tertunduk dengan buku di hadapannya membuat Adit hampir tak mengenali wanita itu. Dia memarkirkan motornya, lalu dengan segera dia turun dan menghampiri Anya. "Udah lama nunggu?" Tanya Adit tiba-tiba. Dia memasang senyumnya tatkala Anya mendongak dan menatap kearahnya. Menggeleng pelan Anya berdiri, dia menatap Adit sebentar, lalu melarikan tatapannya kearah Pino yang terparkir. Seolah mengerti dengan keinginan Anya, Adit langsung beranjak dan mengambil Pino, dia memundurkan motornya dan menunggu agar Anya sergera naik. "Mau langsung ke perpus atau mampir dulu ke kafe?" Tanya Adit setelah Anya duduk di belakangnya. "Langsung aja." "Oke." Sebelum Adit melajukan motornya. Di siang yang cukup panas. Dia melirik kearah Anya sekilas, wanita itu hanya memakai baju tipis lengan panjang yang jelas tidak bisa melindungi kulitnya dari terpaan matahari. Adit membuka jaketnya pelan dan mengulurkan ke arah Anya. Tentu saja perlakuan dari El membuat wanita itu mengerut dan memberi tatapan penuh tanya ke arah Adit. "Panasnya lagi parah, kek lagi ngambek nggak dapet jatah. Paket dulu gih, biar agak mendingan." Kata Adit dengan senyum mengambang. "Nggak usah." Anya mendorong jaket itu dan membuat Adit tetap ngotot agar wanita itu memakainya. "Udah pake aja nggak papa." Kata Adit lagi. "Sorry kalo cuma bisa ajak pake motor, soalnya aku nggak punya mobil." Lanjut Adit dengan kekehan pelan. "Jangankan mobil motor aja masih credits." Kelekarnya lagi. Hanya saja Anya tak menanggapi ucapan Adit, Dane memilih untuk segera memakai jaket itu dan duduk dengan tenang di belakang. Merasa di abaikan, Adit langsung melajukan motornya dengan kecepatan sedang, dia ingin segera sampai di perpustakaan dan segera berteduh karena cuaca dia g itu benar-benar murka dengan panas yang luar biasa. Tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan ke perpustakaan, hingga saat mereka sampai dan Adit sudah memarkirkan motornya. Dia mengingat sesuatu. "Kak! Kakak udah izin kalo mau ke perpus sama aku?" Tanya Adit. Anya terdiam sejenak, lalu menggeleng setelahnya. Sedangkan Adit hanya menghela napas pelan, dia tidak ingin melakukan kesalahan seperti malam lalu, dan sekarang sebisa mungkin dia harus meminta izin agar dia tidak perlu mengelak ataupun membelikan buah tangan untuk orang tua Anya. Karena jujur saja, Adit tidak memiliki uang lebih hari ini. "Boleh tolong telponkan?" Tanya Adit lagi. Anya tak langsung menuruti permintaan Adit, dia malah terdiam sejenak dengan tatapan tertuju pada Adit. Pemuda dengan tingkah yang tak pernah dia duga sebelumnya. Jika mungkin cowok di luaran sana akan menghindari orang tua perempuan agar bisa jalan untuk menghabiskan waktu bersama, tapi Adit malah melakukan sesuatu yang sulit untuk di tebak. "Atau aku minta nomor ayah kakak aja biar aku sendiri yang nelpon. Siapa tau kakak nggak ada pulsa kan? Aku banyak gratisan soalnya." Lanjut Adit ketika cukup lama tak mendapat respon dari Anya. Sejenak Anya terdiam, lalu perlahan tangannya mengambil ponsel di dalam saku celananya, dan setelahnya dia mengulurkan pada Adit. Adit langsung menerima ponsel itu dan menatap aneh ke arah Anya. Entah kenapa Anya seolah tanpa ragu memberikan sesuatu yang jelas sangat privasi itu kepadanya. "Cari aja, nomornya di paling atas." Dan setelah mengucapkan itu, Anya langsung beranjak masuk ke dalam perpustakaan, meninggalkan Adit yang masih terdiam di tempat. "Serius?" Gumang Adit pelan sembari menatap ponsel itu. "Dia kasih ponselnya ke gue tanpa curiga sedikit pun?" Mengangkat wajahnya, dia memandangi tubuh wanita yang kini sudah masuk kedalam perpustakaan. Lalu menoleh ke sekitar dan memilih untuk menepi dari tempatnya sekarang. Dia langsung membuka ponsel yang tidak di beri sandi keamanan itu. Setelahnya dia memeriksa barusan kontak yang ada di dalam ponsel itu. Setelah melihat kontak paling atas, dia langsung menyalin nomornya ke dalam ponselnya, dan setelahnya barulah dia menghubungi nomor itu. Dering terdengar, tapi setelah beberapa kali nada tut, pemilik nomor itu tidak mengangkat panggilan pertamanya. Adit tak menyerah, dia langsung menelpon untuk kedua kalinya. Dan kali ini, tanpa menunggu lagi, sosok di sebrang sana langsung mengangkat panggilan telpon darinya. "Halo, assalamualaikum." "Waallaikumsalam, siapa ini?" "Itu. Maaf, om. saya Adit yang beberapa malam lalu nganterin pulang kak Anya." "Oh kamu, dit. ada apa?" "Itu, saya cuma mau bilang om, hari ini kayaknya kak Anya bakal punya telat lagi, dia sama Adit lagi di perpustakaan kota om." Ucap Adit pelan-pelan, dia berharap jika ayah kak Anya tidak marah kepadanya. Terlebih dia hanya meminta izin melalui panggilan telpon saja. Cukup lama ayah kak Anya terdiam, lalu berdeham sebentar. "Paling lambat pulang jam lima." Jawabnya dengan nada tegas. "Siap, insyaallah sebelum jam lima kita udah di rumah om." "Ya sudah kalo gitu." Dan tanpa menunggu lagi, ayah kak Anya langsung mematikan panggilan telponnya dan membuat Adit sedikit menghela napas pelan. Beruntung, karena dia sudah mendapat izin kali ini. Dan tidak perlu takut lagi jika ada hal yang menyangkut dengan Anya setelah ini. Adit menyimpan ponselnya ke Bali ke dalam saku celana, lalu beranjak masuk menyusul Anya yang sudah ada di dalam perpustakaan. Dengan langkah pasti dia mulai menyusuri seluruh g**g perpustakaan. Matanya mengedar untuk menemukan sosok Anya di sana. Hingga sampai di lorong terakhir, Adit melihat Anya tengah bersama dengan seorang pria yang baru kali ini dia lihat. Adit ingin menghampiri keduanya, tapi ketika melihat kak Anya berlalu dan menurut ketika pria itu merangkulnya, Adit terdiam. Tubuhnya kaku saat itu juga. Jujur, dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi sekarang. Walau dia bisa melihat ketika kak Anya hanya menunduk saat pria itu membawa kak Anya, tapi tetap saja. Adit sama sekali tak habis pikir. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Ingin rasanya dia pergi, apalagi saat mer ia berdua bergerak ke pojok perpustakaan yang terlihat sepi dan sedikit remang. Adit bisa melihat pria itu memojokkan tubuh kak Anya dan setelahnya dia menunduk dalam kearah wanita itu. Tubuh Adit membeku seketika. Tangannya mengepal kuat, mencengkram erat ponsel milik kak Anya di tangannya. Dia benar-benar merasa kecewa, tapi ketika melihat kak Anya berusaha untuk mendorong tubuh pria itu, walau dari segi tenaga kak Anya jelas kalah, Adit benar-benar bingung setelahnya. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Lalu setelah terdiam cukup lama. Adit memutuskan untuk pergi, apalagi ketika dia melihat tangan kak Anya mulai meremas kaus dari pria itu. Hatinya benar-benar sesak melihat kejadian yang kilas terlintas di depan matanya. Dia tak tahu harus berbuat apa, yang dia lakukan hanyalah berjalan dengan gontai dan memilih duduk di kursi meja khusus untuk membaca para pengunjung. Tanpa membawa buku, Adit menjatuhkan tubuh di kursi yang di depannya ada sepasang perempuan yang sedang membaca di sana. Keduanya menatap aneh kearah Adit, terlebih ketika Adit duduk dengan wajah lesu dan tangan menjuntai ke bawah. Kepalanya menunduk. Walau terlihat tangannya masih mencengkram erat ponsel itu, tapi bisa dilihat jika saat ini Adit benar-benar hancur dan terlihat seperti orang bodoh yang tak memiliki raga. Adit terdiam, kilasan masa lalu dan perkataan dari Anjar terngiang di kepalanya. "Berhenti jadi badut, udah jelas dia nggak pernah nganggap lu, tapi dengan bodohnya lu masih aja keras kepala buat nganggap jika masih ada peluang agar lu bisa deketin dia!" Badut.... Hah, mungkin peran itu yang cocok untuk dirinya. Menghibur orang lain, tanpa peduli harinya sendiri yang hancur. Dan lupa bagaimana cara menghibur dirinya sendiri. "Udah gue bilang berkali-kali, dari sekian banyak cewek, kenapa Lo masih peduli sama dia, b**o!" Badut yang tidak pernah tahu cara menghibur dirinya sendiri. Lalu badut yang buta akan keadaan. Mungkin dua kalimat itu akan benar-benar menggambarkan akan dirinya. Badut yang b**o. Adit terkekeh pelan tawa sinis yang terdengar seperti rintihan yang membuat dua wanita di depannya saling tatapan dan beranjak pergi karena merasa takut. Tentu saja, siapa yang tidak takut melihat tingkah dari anak remaja yang terlihat gila itu. Adit benar-benar kacau dengan segala hal yang dia lakukan tubuhnya gontai dengan wajah yang menunduk, lalu tak lama setelahnya tubuhnya jatuh ke atas meja dengan suara yang cukup keras hingga membuat orang-orang di sana terkejut karenanya. Adit masih terkekeh, tak memperdulikan rasa sakit di kepalanya karena benturan tadi. Yang dia rasakan sekarang adalah dadanya begitu sesak. Matanya mulai memerah dan memanas. Lalu perlahan sepasang pandangannya mulai berkaca. Sungguh t***l. Dia hanyalah seorang badut b**o yang hanya di manfaatkan untuk seseorang saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN