bab 3

2006 Kata
Berlawanan arah - 3 Kata orang cinta anak SMA itu ibarat cinta monyet yang gampang sirna di saat kita udah beranjak dewasa. Dan cinta yang mungkin sekedar singgah karena rasa penasaran. Yah, mungkin itu yang gue rasain sekarang, tapi anehnya, perasaan yang katanya cinta monyet itu malah bertahan sejak lama. Lama banget malah, Sampek gue sendiri aja heran. Setelah bel pulang sekolah, gue langsung membawa Pino dan bergegas pulang, gue inget banget hari ini tuh hari di mana dia selalu ada di taman dekat sebuah kampus swasta di daerah gue, nggak tau kenapa gue seolah hapal sama semua rutinitas dia, walau cuma bisa liat dari kejauhan gue nggak masalah. Lima belas menit waktu yang harus gue habiskan untuk sampai di taman dari sekolahan. Dan setelah sampai seperti biasa, taman udah rame sama beberapa orang yang singgah untuk sekedar beristirahat dari terik matahari sore, atau sekedar singgah untuk bercengkrama dengan keluarga dan menikmati sarana umum yang disediakan di taman ini, seperti contohnya taman bermain untuk anak-anak. Taman yang cukup luas dengan pepohonan dan beberapa bunga di sekitarnya membuat gue harus mengedarkan pandangan, walau sejatinya gue udah hapal di luar kepala tempat di mana gadis itu duduk, dan tempat di mana gue harus duduk untuk melihat dia. Lucu, kan? Di saat banyak orang yang berusaha untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan dan berusaha untuk mendekati gadis yang dia suka. Gue malah memilih diam dan melihat dia dari kejauhan. Sebenarnya gue ngerasa aneh sama perasaan gue sendiri, apalagi ketika sosok yang rumahnya nggak jauh dari rumah gue itu memiliki umur yang di atas gue. Gue anak SMA, sedangkan dia udah kuliah semester empat. Suka sama kakak senior yang udah tau asam garam dunia percintaan, lawan gue yang masih menganggap cinta ini cinta monyet. Dan masih buta dalam sebuah perasaan. Ais, jangan nyanyi, gue cuma mengungkapkan apa yang ada di dalam diri gue aja. Ingat kan? Cinta tuh nggak memandang umur, kadang kala gue sendiri nggak tahu kenapa rasa ini bisa datang gitu aja tanpa gue minta. Kursi di bawah pohong mangga, dan menyorot langsung ke arah kursi yang ada di sebrang jalan adalah akses gue untuk melihat dan memandangi indahnya sosok yang ada di hadapan gue. Cantik dengan rambut panjang terurai, imut, dengan tubuh pendek serta pipi chubby yang terkadang membuat gue gemas sendiri. Kadang gue kepikiran gimana sih rasanya mencubit pipi chubby yang menggoda seolah melambai untuk dicubit. Walau nyatanya bayangan itu cuma sekilas dan hanya bisa gue bayangkan dalam angan, untuk melakukan secara langsung jelas gue nggak akan berani untuk itu. Anggap aja gue pecundang yang paling pecundang di antara pecundang. Karena asal kalian tahu, gua Udeh jadi orang yang persis kek penguntit selama kurang lebih tiga tahun di tempat ini. Lucunya selama tiga tahun itu gue sama sekali nggak berani untuk menunjukkan diri dan hanya menjadi pengamat yang setia tanpa ada sebuah balasan lebih untuk kedepannya. Kini tatapan gue masih dengan setia mengamati tiap gerakan yang di lakukan oleh wanita itu. Mulai dari menyilakkan helai rambut yang terbang karena angin, lalu melihat bagaimana dia asik membaca bukunya dalam diam. Selalu saja seperti itu, jika duduk di tempat ini, dia akan sibuk dengan membaca buku dan tak menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Hingga sore menjelang, dan menunggu malam untuk menyapa, akhirnya dia beranjak dari sana. Gue masih memilih diam dan memperhatikan dia berjalan keluar dari area taman, lalu menyusuri jalan trotoar dengan buku di dalam pelukannya. Kegiatan gue gak berhenti sampai di sana saja. Karena biasanya setelah memperhatikan wanita itu hingga petang, rutinitas gue selanjutnya adalah mengikuti dia dari kejauhan dengan Pino kesayangan gue. Udah persis kek penguntit kan gue? Bodo amat mau di kata apa juga, yang jelas gue nyaman sama kegiatan gue ini. ---- "Baru pulang, kak?" Gue hampir saja melompat karena suar mamak yang tiba-tiba datang dari belakang tubuh gue yang masih melepas sepatu. Menoleh cepat, gue tersenyum kecil lalu mengangguk pelan. "Dari mana?" "Dari nongkrong di taman Mak." Mamak terlihat mengangguk pelan. Kemudian berlalu dari sana dan memilih duduk di sofa ruang keluarga. "Tadi El sama Rangga dateng ke sini. Nyariin kamu." Gue yang masih menyimpan sepatu ke dalam rak langsung mengerutkan kening dalam-dalam. "Lah tumben nggak nelpon dulu." "Katanya nomor kamu nggak aktif." Iya kah? Padahal terakhir gue inget, hp gue masih aktif, ya kali tiba-tiba nggak aktif kan. Segera saja gue merogoh saku celana dan memeriksa ponsel gue. Seketika gue menghela napas pelan. Benar saja, pantas mereka nggak bisa nelpon gue, secara gue memasang mode pesawat di ponsel gue, beruntung ponsel gue nggak terbang ye kan. s****n, padahal gue kira mereka nggak akan nyari gue. "Mamak masak apa?" Kata gue lagi, biarkan saja merek, kalo emang ada yang penting gue yakin bakal nelpon lagi nanti. "Nggak ada. Mamak belum belanja, kali mau makan beli mie aja sana." Yaelah, gue hampir lupa, ini udah akhir pekan di akhir bulan, pantas aja mamak pasang wajah manyun dari pagi tadi. "Adek mana?" "Lagi di rumah Tante." Yah, mau nggak mau gue sendiri yang harus beli mie. Rasanya tuh males banget, padahal letak warung juga nggak terlalu jauh dari rumah gue. Emang dasar gue aja yang malesan. Tapi kalo nggak berangkat, gue sendiri yang bakal kelaperan nanti malam. Bergerak malas Upal melempar tasnya kedalam kamar. "Bapak kemana?" Tanya Upal sembari berjalan keluar. "Kamu nih, laper mau makan, apa mau makan orang? Tanya mulu dari tadi." Ck, bahaya ini mah, mamak dalam mode ngamuk nggak bisa di ganggu emang, lebih baik kabur aja udah dari pada gue kena makan. "Kagak mak, kagak, gitu aja marah, astaga?" "Ngomel lagi?" Tanya mamak dengan tatapan tajam. "Kagak!" Setelahnya tanpa perlu ganti seragam, gue langsung berlari dari rumah dan keluar untuk menuju warung yang ada di persimpangan g**g. Selama berjalan, gue melihat ke sekeliling rumah-rumah, ya siapa tau ada orang yang gue kenal dan tetangga yang ada di depan rumah. Sebagai penduduk yang baik, tentu saja gue harus bersikap ramah untuk itu. Kalo nggak, wasalam, bisa di cap sebagai orang sombong nanti. Orang sombong suka di ghibahin, dan gue nggak suka di omongin dari belakang gitu. Rasanya tuh nggak enak banget. Kek mau makan terus tiba-tiba kesedak, dan ujungnya malah batuk-batuk. Dahlah bayangannya aja gue udah males. Beberapa langkah kedepan, gue melihat tetangga gue yang kelihatannya baru aja pulang. Di sinilah imam kita di uji, apalagi saat tetangga gue ini salah satu kembang desa yang sering menjadi bahan cibir banyak orang. Karena di usia dua puluh sembilan tahun, dia masih melajang dan lebih sibuk kerja, yang entah kerja sebagai apa. Daisy namanya, memiliki paras cantik dan tubuh sintal, terlebih saat gadis itu sering menggunakan baju fit bodi dan rambut yang sering berubah-ubah. Penampilannya itulah yang membuat dia jadi buah cibir untuk beberapa ibu komplek di sekitar gue, apalagi saat mereka belanja di gerobak sayur yang tiap pagi lewat depan rumah. Mbak Daisy sudah mesti menjadi bahan perbincangan hangat dengan gosip yang simpang siur. Gue sih, nggak peduli sama kabar dan gosip itu. Mungkin karena gue masih abegeh makanya gue belum memusingkan hal itu. Dan lagi, di jaman sekarang yang serba moderen, usia bukanlah patokan untuk seseorang menikah cepat, mungkin ada beberapa faktor yang membuat orang nggak memilih untuk menikah dulu, contohnya aja mbak Daisy ini. "Malam, mbak. Baru pulang nih?" Tanya gue bersikap sok ramah dengan senyum manis yang selalu gue berikan, seenggaknya bersikap ramah kepada siapapun itu tidaklah salah. Justru malah akan ada hal baik tiap kali bersikap ramah dan sok peduli dengan orang lain. "Eh kamu ...." Dia keliatan sedikit terkejut, mungkin karena gue menyapa secara tiba-tiba dan membuat mbak Daisy yang baru saja turun serta terlihat kerepotan dengan barang bawaannya itu terkejut. "Adit ya?" Gue melebarkan senyum setelah dia menyebut nama gue, setidaknya dengan dia tau nama gue aja udah cukup untuk menghargai sikap ramah gue ini. "Iya, mbak. Baru pulang kerja nih?" "Iya nih, dit?" Dia berdiri lalu menutup pintu mobilnya dengan kaki, laku menatap gue dengan senyum mengambang. Duh, liat ginian tuh bikin gue berasa gimana ya, mulut jahil dan lomer gue seolah gatal untuk nggak ngeluarin gombalan manis yang biasa gue kasih untuk para cewek di kelas gue. "Sibuk banget, mbak. Mau aku bantuin?" "Eh, nggak usah, cuma ginian doang." Tolak dia dengan halus. "Kamu mau kemana? Tumben sore-sore ini pergi jalan kaki?" "Mau ke depan, mbak, beli mie, kebetulan belum makan juga." "Loh, kok beli mie buat makan malam?" Seketika gue nyengir nggak enak, gimana ya, kalo gue bilang apa adanya, gue yakin muka mamak bakal kecoren dan di cap sebagai mamak yang nggak baik. Kalo bilang bapak belum gajian juga makanya mamak nggak masak, ya sama aja menjelekkan bapak. "Lagi pengen aja sih, mbak. Udah lama juga nggak makan mie." "Em gitu." Dia mengangguk pelan, dengan beberapa bawaan yang keliatan berat. "Mbak, serius nggak mau dibantuin? Keyaknya berat gitu." Dia meringis kecil, bisa gue tebak sih kalo itu bener-bener berat. Cuma gengsi aja dia mau bilangnya. Dengan sok gantel, gue melangkah mendekat, lalu mengambil tas dan juga puperbag di tangannya itu. "Biar Adit bantu." "Loh nggak usah, malah ngerepotin gini." "Nggak papa mbak." Ujar gue tersenyum. Hidup sebagai manusia sosial itu harus saling tolong menolong, itulah yang gue dapat saat belajar di sekolah, jadi nggak ada salahnya kan gue berusaha menawarkan bantuan ke orang yang lagi kesusahan "Duh, maaf ya, malah ngerepotin gini." Gue tersenyum simpul, dan bener aja, baru beberapa detik gue angkat ini barang bawaan, rasanya udah berat aja. Dalam hati gue berharap kalo mbak, Daisy bakal buka pintu dan biarin gue menyelesaikan bantuan yang udah gue tawarkan ini. "Eh iya maaf, sebentar, biar aku buka dulu pintunya." Tergopoh-gopoh dia berlari lalu membuka pintu rumah dan membuat gue langsung mempercepat langkah gue. Walau keliatannya tas dan paper bag ini kecil dan ringan, tapi nyatanya bener-bener berat astaga. "Sini taruh sini aja." Ucap mbak Daisy yang menyuruh gue meletakkan barang bawaannya ke atas meja di ruang tamu. Segera itu juga gue langsung meletakkan barang bawaannya di sana, lalu menghela napas pelan, sumpah sih ini berat, walau nggak seberat itu, tapi lumayan juga. "Isinya apaan dah, mbak. Lumayan gitu bobotnya?" Tanya gue penasaran. Bukannya menjawab, mbak Daisy malah tersenyum simpul di sana. "Bukan apa-apa, cuma kerjaan dari kantor, sengaja aku bawa pulang biar bisa dikerjain di rumah." Gue hanya ber-oh ria saat mbak Daisy menjelaskan walau nggak begitu detail. Setidaknya bisa meringankan rasa penasaran gue. "Oalah ya udah kalo gitu, aku kewarung dulu ya." "Loh, nggak minum dulu?" Gue menggeleng pelan dengan senyum di wajah. "Nggak deh, udah keburu laper." Kata gue meringis. "Laper banget?" Seketika gue menggaruk belakang rambut gue yang nggak gatal. "Dikit sih." Dia terkekeh pelan setelahnya, lalu beranjak dan mengambil salah satu paper bag yang gue bawa tadi. "Kebetulan aku beli makanan agak banyak tadi pas jalan ke sini, mau makan bareng?" Tanya dia sembari mengeluarkan beberapa bungkus makanan dengan logo huruf m dan c di sana. "Ehh, nggak usah mbak malah ngerepotin nanti." Lagi, dia terkekeh pelan di tempatnya. "Nggak lah, kan aku yang ngerepotin kamu tadi." Katanya pelan. "Udah sini makan dulu." Karena sedari kecil gue diajari untuk nggak menolak ketika ada orang yang menawari rezeki, jadilah gue hanya mengangguk malu-malu dan menerima tawaran untuk makan bareng sama mbak cantik yang jadi bahan hangat gosip para ibu-ibu di kompleks ini. Walau gue sendiri nggak tau pasti apa yang bakal mereka omongin lagi setelah melihat gue malah makan bareng sama mbak Daisy di sini. Bodo amat dah, semakin banyak di ghibahin orang malah semakin hilang juga dosa yang gue punya. Itu sih yang gue pernah denger dari pak ustadz pas ceramah di masjid hari Jumat lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN