“Hei! beraninya lo!” teriak salah satu teman Aska yang tidak terima dengan perlakuan Talita ke Aska.
“Beraninya, lo!” ucap Veronica, menunjuk ke arah Talita.
Suasana seketika ricuh, semua mata menatap ke arah Talita dengan tatapan penuh menghakimi.
“Ada apa ini?” tanya Nana yang melihat keributan antara Talita dan langganannya.
“Mbak, ini jongos Mbak bikin ulah!” tunjuk Veronica yang memang tau jika Nana pemilik restoran tersebut.
“Maaf, ini pertama kalinya terjadi keributan antara karyawan saya dengan pelanggan kami. Setahu saya kalau pelanggan kamu baik, karyawan kami pasti menyambut dengan baik,” sindir Nana.
“Hei, Mbak! Kita ini langganan lama di restoran ini, lihat apa yang dilakukan dia ke teman kami!” Veronica menunjuk ke arah Talita.
“Maaf, tempat kami ini untuk makan, bukan tempat untuk cari ribut,” ucap Nana lembut, tapi penuh dengan sindiran keras.
Aska yang sibuk mengelap mukanya, angkat bicara. “Sudahlah, ayo kita cari tempat lain. Lagian aku nggak nafsu harus makan di tempat kek gini.” Aska melirik ke arah Talita.
“Huh! Ayo kita pergi aja!” ajak yang lainnya.
“Ayo!” sahut mereka, berdiri dari tempat duduknya. Aska dan teman-temannya pergi begitu saja dari restoran itu.
Talita yang berdiri mematung, dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan barusan. “Maaf, Mbak,” ucap Talita.
Nana tersenyum. “Sudahlah, Mbak tidak akan tinggal diam jika seseorang menghina kamu. Ngomong-ngomong kamu kenal mereka?” tanya Nana penasaran.
Talita mengangguk. “Cowok yang aku tampar tadi yang bikin aku kayak gini.”
“Apa?! Sialan! Harusnya aku hancurkan mukanya tadi!” ucap Nana penuh emosi.
“Sudahlah, Mbak. Lagian aku udah nggak peduli,” sahut Talita, kembali melanjutkan pekerjaanya karena sebentar lagi restoran akan tutup, kebetulan menu hari ini sudah banyak yang habis.
***
Waktu pulang pun telah tiba, Talita yang tidak mau diantar Nana berjalan seorang diri menuju kontrakannya. Meskipun sangat lelah, dia begitu menikmati pekerjaannya. Talita terus berjalan sendirian di malam yang cukup sepi, hingga tanpa dia sadari sebuah mobil van hitam berhenti tepat di sampingnya, dua orang pria bertopeng turun dari dalam mobil, mereka langsung membekap mulut Talita, memaksa Talita untuk masuk ke dalam mobil van. Talita berusaha berontak, tapi percuma saja karena tenaga mereka jauh lebih kuat, mereka berhasil menyekap Talita dan membawanya masuk ke dalam mobil.
“Siapa kalian?!” tanya Talita begitu sampai di dalam mobil.
“Diam, lo!” bentak salah satu pria bertopeng.
“Lepasin aku!” Talita berusaha berontak, tapi sayangnya tenaga gadis itu terlalu lemah.
“Diam! bentar lagi kita sampai!”
Tidak peduli dengan bentakan mereka, Talita terus berusaha melepaksan diri, hingga tanpa dia sadari mobil sudah berhenti di sebuah gedung tua. Kedua pria tadi memaksa Talita untuk turun, menyeret Talita masuk ke dalam gedung itu.
“Kalian mau apa?!” tanya Talita cemas. Semua prasangka buruk berkecamuk di pikirannya.
“Lepasin!” Talita terus berusaha melepaskan diri.
Kedua pria itu dan si sopir mobil tadi tidak peduli dengan teriakan Talita, mereka terus menyeret Talita masuk ke dalam gedung itu yang ternyata sebuah gudang.
“Diam!” Dengan sangat kejamnya mereka mendorong tubuh Talita, gadis itu sampai tersungkur, ketiganya ikut masuk ke dalam sebuah gudang yang minim pencahayaan, mereka mengunci gudang itu dari dalam.
Talita semakin panik, jika kabur pun tidak ada jalan untuknya kabur. “Apa yang mau kalian lakukan!” Gadis itu mundur, ketiga pria itu semakin mendekat.
“Kita cuman nggak pengen lo mengandung anak itu.” Salah satu pria menunjuk ke arah perut Talita.
“Nggak! jangan lakukan!” teriak Talita.
Talita terus berusaha berontak tapi ketiga pria tersebut tidak menghiraukan teriakan Talita, hati mereka seperti sudah dikuasai iblis. Salah satu dari mereka tetap maju, Talita berusaha bangkit tapi naas si pria langsung menendang perut Talita dengan kuatnya, Talita ambruk seketika, pria yang lainnya maju, tanpa pikir dua kali langsung menginjak perut Talita, gadis itu merintih kesakitan, darah segar mengalir di kedua kaki gadis itu. Dalam keadaan setengah sadar, Talita mendengar pintu gudang terbuka, samar-samar Talita melihat sosok yang tidak asing baginya.
“Aska …,” lirih Talita, rasa sakit sudah tidak bisa dia rasakan lagi, tubuhnya melemah, kesadarannya hilang, darah segar mulai memanjiri bagian bawah tubuhnya. Mungkin ini akhir dari segalanya.
***
Tujuh Tahun Kemudian ….
Tujuh tahun telah berlalu tapi kejadian itu masih terekam jelas diingatannya, semua dosa-dosa masa lalunya kembali mengantui dirinya, rasa penyesalan itu selalu muncul. Andai waktu bisa diputar kembali, andai waktu itu dia tau siapa dia sebenarnya, dia tidak akan pernah menghancurkan masa depan gadis itu.
Gadis cantik yang mencintainya dengan tulus tapi dia mencampakkanya begitu saja. Ini sudah tahun ketujuh dia berusaha menanti gadis itu kembali, tidak peduli dengan reaksinya, dia akan berjuang kembali untuk mendapatkan gadisnya. Pria tampan itu kembali menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya, hatinya selalu hampa meskipun sekarang kesuksesan sudah dia raih, bahkan dengan wajah dan kesuksesannya saat ini sangat mudah baginya untuk mendapatkan seorang wanita cantik tapi tidak baginya. Dia terus berharap untuk kembali bersama dengan gadis yang dulu pernah dia campakkan.
“Lita ….” Ini untuk kesekian kalinya nama itu terucap dari bibirnya. Ya … dia adalah Aska Fernada Prayogo, pria b******k yang dulu pernah membuang Talita. Sejak kejadian malam kelam itu, Aska sudah berubah, dia menyadari semua kesalahannya. Aska yang sekarang adalan seorang CEO muda yang sukses memperbesar perusahaan milik ayah angkatnya, namanya sangat terkenal di kalangan para pengusaha.
Aska menoleh saat pintu ruangannya terbuka, pria tampan itu tersenyum saat melihat siapa yang datang. Seorang pria muda tampan yang mirip dengannya, dia adalah Aron, adik kandungnya.
“Tumben lo ke sini?” tanya Aska, berdiri menghampiri Aron, mempersilaka Aron duduk di sofa.
Aron tersenyum, kelihatan sekali dia sangat bersemangat untuk menemui Aska, kakak yang selama ini hilang. “Iya, dong! Masa mo ngasih kabar baik lewat telpon, nggak serulah,” ucap Aron, duduk di depan Aska.
“Jangan bikin penasaran, emang kabar baik apa?” Aska penasaran.
“Lita!”
Wajah Aska sumringah, dia begitu bersemangat saat mendengar nama ‘Lita’ disebut oleh Aron. “Lo udah tau keberadaan dia? dia ada di mana? apa dia baik-baik saja?”
“Eits! sabar dong! jangan berondong gue dengan pertanyaan lo itu!” protes Aron.
“Sabar, sabar! Udah tujuh tahun gue bersabar, sampai gue kek orang gila!” Aska terlihat tidak sabar.
“Lah, gue juga udah berusaha! Eh, nggak taunya disembunyikan Mama!”
“Apa!”
Aron sampai terkejut mendengar ucapan Aska. “Sialan! Gue hampir jantungan!” Wajah Aron terlihat kesal, Aska tidak peduli, dia hnya peduli dengan Talita.
“Terus ….”
“Terus apanya!” kesal Aron.
“Ya, Lita! Masa lo!” Aska ikut-ikutan kesal.
“Ngelunjak lo! Udah gue bantu bukannya terima kasih, ini malah nyolot!” Aron semakin kesal.
Aska tersenyum, sifat dia sama Aron itu sebelas dua belas. “he-he … iya deh, jangan ngambek kek gitu!” goda Aska. “Itu gimana ceritanya Mama bisa nyembunyiin Talita sampai nggak kecium sama kita?”
Aron menghela nafas, merasa dibodohi mamanya sendiri. “Mama itu emang top markotop soal ngumpet, dulu juga pernah ngumpet bertahun-tahun sampai Papa aja nggak bisa nemuin dia.”
“Emang Lita selama ini di mana?” tanya Aska penasaran.
“Paris!”
Aska terkejut dengan jawaban singkat Aron. “Paris? Kok bisa!”
“Bisalah! Apa yang nggak bisa Mama lakuin buat anak gadisnya, dia bakal jadi garda terdepan untuk Lita. Asal lo tau aja, sejak lo hilang hanya Lita yang bisa menjadi penghibur Mama, sejak lahir Mama udah nganggap Lita kek anaknya sendiri,” terang Aron.
“Gue akan ke paris,” ucap Aska tiba-tiba.
Aron terkejut. “Ngapain ke Paris?”
“Nyari Lita!”
“Lah! Lita udah ada di rumah, ngapain jauh-jauh ke Paris!”
Aska melotot, Aron benar-benar. “Ngapain nggak ngomong dari tadi!”
“Makanya gue bilang ‘sabar’ tunggu orang selesai ngomong—“
“Ayo!” Belum juga Aron selesai bicara, Aska sudah berdiri di depannya, menarik tangan Aron untuk bangkit dari duduknya.
“Hah! Ke mana?”
“Ke rumah!” jawab Aska singkat, tidak peduli dengan wajah Aron yang kesal, Aska langsung mengajak Aron ke rumah orang tuanya.
***
Rumah Adel
Adel terlihat sangat bahagia melihat Talita yang sekarang, gadis itu sudah berhasil menjadi seorang super model berkat usahanya, Adel sudah berhasil membantu Talita keluar dari masa kelamnya dulu.
“Kamu sudah yakin sama keputusan kamu?” tanya Adel.
“Iya, Tan. Lagian Lita nggak mungkin selamanya tinggal di Paris, Lita ingin menetap di Jakarta,” ucap Lita.
“Terus kamu nanti tinggal di mana?”
“Mama nggak ngijinin aku tinggal sendiri, aku tetep tinggal sama Mama.”
“Kamu ….”
Talita tersenyum, menggenggam erat tangan Adel yang terlihat khawatir. “Tante tenang aja, aku bukan Lita yang dulu. Aku nggak ingin larut dalam kesedihan, dukungan kalian segalanya bagiku,” ucap Talita tulus.
Adel menitikkan air matanya. “Maafin Tante ….”
Talita terlihat heran, gadis itu mengusap air mata Adel. “Tante nggak perlu minta maaf, Tante nggak salah! Justru karena Tante, aku bisa sampai di titik ini, Lita yang harus berterima kasih sama Tante.”
“Enggak! Kamu harus tau semuanya,” ucap Adel.
“Aku sudah tau kalau Aska sebenarnya anak kandung Tante.”
Adel terkejut, bahkan setelah tau kebenarannya, Talita masih berbesar hati untuk menemuinya. “Maaf, Sayang … bukan maksud Tante menyembunyikan ini dari kamu, Tante tidak ada maksud lain, Tante hanya ingin melindugi kamu …,” lirih Adel.
Talita tersenyum ketir, bohong jika dia baik-baik saja saat menyebut nama Aska. “Sudahlah, Tante nggak bersalah. Aku nggak ingin mengingatnya, biarkan saja itu menjadi masa laluku,” ucap Talita.
Adel memeluk Talita. “Percayalah, Tante akan selalu ada untukmu,” ucap Adel tulus.
“Lita ….”
Seketika tubuh Talita membeku, gadis itu masih hafal betul siapa pemilik suara itu, wajah Talita pucat seketika, air mata jatuh begitu saja membasahi pipinya yang mulus. Adel melepaskan pelukannya begitu tau siapa yang memanggil Talita.
“Aska …,” lirih Adel.
Talita membalikkan badannya, emosinya langsung memuncak, kejadian malam itu kembali terekam. “Pembunuh!” teriak Talita, dia benar-benar hilang kendali, Talita melempar apapun yang ada di hadapannya ke arah Aska.
“Kembalikan anakku!” teriak Talita kencang.