Talita yang baru saja masuk kembali ke ruangan itu, tanpa sengaja mendengar ucapan mamanya, buru-buru dia menyela ucapan mamanya, jujur dia belum siap dengan konsekuensinya. “Ih, Mama ini ngomong apa sih?”
Alea menoleh, heran dengan putrinya yang tiba-tiba saja menyela pembicaraannya. “Sayang, kamu—“
Talita duduk di samping Alea, memegang erat tangan Alea, memberi isyarat kepada mamanya untuk tidak membicarakan masa lalunya. “Iya, tadi bibi udah bikinin minuman buat Panca.” Gadis itu berusaha mengalihkan pembicaraan.
Panca masih terlihat penasaran dengan ucapan Alea. “Eh, maaf. Tadi maksud ucapan Tante apa ya?”
“Eh, itu maksud mama masa lalu aku yang terpaksa ngelanjutin pendidikan kejar paket, maklum … dulu aku malas aja buat pergi ke sekolah.” Talita melirik ke arah mamanya yang terlihat masih bengong. “Iya ‘kan, Ma?!”
“Eh, i—iya!” Alea seperti terhipnotis dengan kata-kata putrinya. Kata-kata Talita ada benarnya juga, memang pada kenyataannya dia tida melanjutkan pendidikannya.
Panca tersenyum lega. “Oh cuman itu, nggak masalah buat saya Tan, toh pada kenyataannya sekarang Lita sudah sukses dengan karirnya,” ucap Panca tulus.
Talita tersenyum lega, sedangkan Alea masih belum puas dengan situasi saat ini, sebagai seorang ibu dia hanya ingin memastikan putrinya tidak salah pilih pasangan, Alea hanya ingin melihat Lita hidup bahagia bersama seseorang yang benar-benar mau menerimanya apa adanya, seseorang yang tulus mencintainya tanpa bayangan masa lalu gadis itu.
“Permisi, ini minumannya, Non.” Seorang asisten rumah tangga masuk dengan sebuah nampan yang berisi tiga minuman.
Talita tersenyum. “Terima kasih, Bi.” Membantu asisten rumah tangganya meletakkan minuman di atas meja.
“Sama-sama, Non!” jawab perempuan yang dipanggil ‘bibi’, kembali masuk ke dalam setelah mengatar minuman untuk ketiganya.
Alea memaksakan senyumnya, berusaha bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa. “Silahkan minumnya, nak Panca.”
Panca tersenyum. “Terima kasih, Tan.”
“Kamu mau kembali lagi ke kantor?” tanya Talita tiba-tiba.
“Kayaknya iya, memang ada apa Sayang?” Panca balik bertanya.
Talita tersenyum. “Nggak ada, cuman nanya doang.”
“Atau kamu mau dianterin ke mana gitu?” Panca hanya memastikan.
“Enggak, aku capek. Nanti sore aku ada jadwal, jadi aku mau istirahat dulu.”
“Mau dianterin?” tawar Panca.
“Enggak! Aku kerja Sayang, nggak tau juga selesai jam berapa, nggak perlu dianterin,” ucap Talita.
“Sayang, bukannya kamu masih capek, masa udah ada jadwal hari ini?” Alea ikut menimpali, sepetinya dia tidak rela jika Talita buru-buru mengambil jadwal pemotretan.
Talita tersenyum, menoleh ke arah mamanya. “Nggak pa-pa, Ma. Lita malah seneng, jadi nggak bosen di rumah mulu.”
“Ya ampun, kamu itu baru di rumah satu hari, masa udah bosen. Emang sama Mama ngebosenin ya?!” Alea menunjukkan wajah sedihnya.
Talita kembali meraih tangan mamanya. “Eh, bukan gitu maksudnya Lita, ‘kan itu pekerjaan Lita, masa rejeki harus ditolak, Ma.” Talita memang sengaja menyibukkan dirinya, karena dia yakin sekali bukannya tidak mungkin jik Aska akan datang ke rumahnya, membayangkan saja membuatnya sangat benci dan muak.
“Kata-kata Tante ada benernya Sayang, kamu harusnya istirahat dulu,” ucap Panca.
Talita menoleh ke arah Panca, baru teringat kalau jam istirahat siang kekasihnya hampir habis. “Eh, kamu ‘kan harus balik lagi ke kantor,” ucap Talita.
Panca tersenyum. “Nggak masalah, mau masuk jam berapapun itu nggak masalah buat aku.”
Talita terlihat tidak setuju dengan ucapan kekasihnya. “Eh nggak boleh gitu, meskipun kamu CEO-nya kerja tetep harus tepat waktu.”
Panca tersenyum. “Iya Nyonya, bentar lagi aku kembali ke kantor,” goda Panca.
Alea tersenyum melihat interaksi keduanya. “Nak Panca nggak di sini dulu lebih lama?” tanya Alea.
Panca melirik ke arah Talita. “Lain kali saja, Tan. Nanti dimarahi Bu Boss kalau nggak tepat waktu.”
Talita memonyongkan bibirnya. “Itu ‘kan sebuah tanggung jawab.”
“Iya, Sayang.” Panca berdiri, bersiap-siap untuk kembali lagi ke kantornya.
Alea ikut berdiri. “Eh ini beneran mau pergi?” tanya Alea.
Panca tersenyum, mengulurkan tangannya ke arah Alea. “Lain kali aja, Tan. Terima kasih untuk waktunya.”
Alea tersenyum, menyambut uluran tangan Panca. “Jangan kapok main ke sini ya,” ucap Alea.
“Tentu saja tidak, saya pamit dulu, Tan.” Panca menoleh ke arah Talita. “Sayang, aku pergi dulu ya ….”
Talita mengangguk, bahkan sepertinya dia tidak ingin mengantar Panca keluar dari rumahnya. “Hati-hati, ya ….” Hanya itu yang Talita ucapkan.
Setelah berpamitan dengan Alea dan kekasihnya, Panca pergi meninggalkan kediaman itu. Kini hanya tinggal berdua di ruangan itu. Talita yang tau jika sang mama gelisah sepertinya ingin segera menghindar dari tempat itu. “Ma, aku ke atas dulu ya ….”
“Tunggu!” Alea menghentikan langkah Talita, gadis itu menoleh, terpaksa tidak jadi pergi dari tempat itu.
“Ada apa?” Talita bersikap seolah-olah tidak tau apa-apa.
“Jangan mengelak. Ini soal pembicaraan kita tadi.”
“Pembicaraan yag mana, Ma?” Kembali Talita berpura-pura.
“Sayang, jangan seperti ini. Kamu harusnya jujur sama Panca soal masa lalu kamu.”
Talita menghela nafas, ada rasa sesak di dadanya jika mengingat malam kelam itu. “Kenapa, Ma? Itu adalah aib yang harus Lita jaga, Lita nggak ingin kehilangan Panca karena masa lalu Lita.”
“Kalau Panca benar-benar mencintaimu, dia akan menerima kekurangan dan masa lalumu.” Alea berusaha memberi penjelasan kepada putrinya.
“Pria mana yang akan menerima cewek rusak seperti aku ini Ma?! Ayo jawab! Sedangkan dulu waktu aku hamil tidak ada yang mau nerima aku, termasuk ayahnya!” Air mata Talita menetes begitu saja, rasanya perih sekali jika ingat masa-masa sulit dulu.
“Sayang, itu sudah berlalu, bahkan Aska sudah menyadari semua kesalahannya, dia tidak pernah berhenti meminta maaf kepada kami.”
Darah Talita langsung mendidih ketika Alea menyebut nama seorang pria yang paling dia benci. “Hanya minta maaf?! Dia itu pembunuh anakku! Harusnya dia membusuk di penjara, bukan kalian terima keberadaannya seperti saat ini!” Emosi Talita kembali meluap.
“Sayang, mengertilah … Aska hanya korban dari kekejama Andre dan teman-temannya, dia tidak bersalah.” Alea masih berusaha membujuk Talita.
“Korban ….?” Talita membekap mulutnya sendiri, seolah-olah tidak percaya dengan kata-kata mamanya barusan. “Ha-ha-ha … lucu sekali, Ma! Lalu aku ini apa? Hanya kelinci percobaan? Begitu?!”
Alea menggeleng. “Bukan, bukan seperti itu maksud mama. Tolonglah, mama hanya ingin kamu berdamai dengan masa lalumu, ikhlaskan semua,” bujuk Alea.
“Ikhlas …? Mama tidak mengalaminya, mereka menginjak perutku dengan sadisnya, Ma … bahkan seorang malaikat kecil tidak berdosa harus kehilangan nyawanya, pria itu menghinaku, dan yang lebih parahnya dia tega membunuh anaknya sendiri!” Talita benar-benar seperti kerasukan, bahkan dia tidak ingat lagi dia sedang bicara dengan siapa.
“Enggak, Aska nggak seperti itu, dia anak yang baik. Coba kamu bayangkan, dia diculik sejak baru lahir, dia diasuh oleh seseorang yang menjadikannya sebagai alat balas dendam ke keluarga kita, dia tidak tau apa-apa, Sayang … tolong maafkan Aska!” pinta Alea.
Talita menggeleng, tidak percaya dengan ucapan mamanya. “Hebat!” Talita bertepuk tangan. “Ternyata dia hebat sekali, bahkan orang yang harusnya berdiri di pihak aku, sekarang mati-matian mendukung b******n itu!” Bibir Talita bergetar, dadanya terasa sesak sekali, jika tau akan seperti ini, dia tidak akan pernah lagi menginjakkan kakinya di negara ini. “Apa Mama tau gimana penderitaan aku selama ini? Kenapa, Ma? Kenapa harus aku yang jadi sasarannya, kenapa?! Kenapa bukan yang lainnya! Aku kehilangan masa remajaku, aku kehilangan impianku, apa itu belum cukup?! Aku capek, Ma!”
“Sayang, Mama hanya ingin kamu menjalani kehidupan ini dengan damai, tanpa menoleh ke masa lalumu, anggap ini semua mimpi buruk untuk keluarga kita, Mama hanya ingin kamu hidup bahagia dengan pilihanmu, dan biarkan Aska menjadi bagian dari keluarga kita, karena memang dia bukan orang lain.” Bagi Alea, Adel bukan hanya seorang teman, Adel adalah keluarganya di saat dia senang maupun susah.
“Tante Adel dan semuanya memang keluargaku, tapi bukan b******n itu! Aku nggak akan sudi menerima keberdaannya, sampai kapanpun ‘nggak akan’!” Kebencian Talita ke Aska memang sudah mendarah daging. Jangankan untuk memaafkannya, menyebut namanya saja Talita tidak sudi.
“Ingat, kebencian itu hanya akan merusak dirimu. Jika Tuhan saja Maha Pengampun, kenapa kita sebagai manusia biasa tidak bisa?” Alea terus berusaha menyadarkan Talita.
Talita tersenyum ketir. “Sayangnya, aku bukan Tuhan, Ma! Hatiku tidak selembut itu, bahkan mungkin keberadaanku tidak layak di keluarga ini, aku nggak pernah pantas berada di sini.” Tanpa Alea duga, Talita meraih tas yang tadi dia bawa, gadis itu pergi begitu saja dari hadapan mamanya.
Alea panik, berusaha mencegah kepergian Talita. “Sayang! Jangan seperti ini, kamu mau ke mana?”
Talita mengibaskan tangan mamanya. “Keberadaanku tidak pernah diinginkan, mungkin lebih baik aku kembali ke Paris.”
Alea menggeleng. “Enggak! Kamu nggak akan kemana-mana.” Air mata Alea menetes bigitu saja, ada rasa takut yang luar biasa di dalam hatinya sana.
“Lepasin, Ma!” Talita tidak peduli, dia berhasil mengibaskan tangan Alea, hingga membuat mamanya hampir terjatuh, gadis itu tidak peduli, bahkan dia berlari menuju pintu gerbang, hatinya benar-benar sangat kacau.
“Lita …!” panggil Alea dengan perasaan hancurnya, haruskah dia kehilangan putrinya lagi?