“Lita!” Suara lantang Dion mengagetkan Alea yang sedang duduk di ruang tamu.
Alea berdiri, berjalan menghampiri Dion yang terlihat cukup menakutkan. “Ada apa ini, Pa?” tanya Alea penasaran.
“Di mana anak itu?!” Suara Dion meninggi.
Alea cukup heran, tidak seperti biasanya Suaminya bersikap seperti ini. “Ini ada apa?” tanya Alea sekali lagi.
Dion menghela nafas, mengacak kasar rambutnya, dia terlihat cukup frustasi. “Lea, katakan di mana Lita?” Dion berusaha bersikap tenang, meski sebenarnya hatinya sangat gusar.
“Lita ada di kamarnya, memang kenapa dengan Lita?” Alea masih penasaran.
“Aku jelaskan nanti.” Dion berjalan menuju kamar Talita, putri pertama mereka.
Alea hanya mengangguk, mengikuti Dion dari belakang, berjalan menuju kamar Lita.
“Lita!” Emosi Dion sudah tidak bisa terbendung lagi.
Alea memegang lengan Dion, berusaha menenangkan suaminya. “Pa, sabar …”
Dion tidak peduli. “Lita! Keluar kamu! Atau Papa dobrak pintu ini!”
Tidak butuh waktu lama, suara pintu terbuka dari dalam, memunculkan sosok gadis belia cantik. “A—“
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah cantik Talita, Alea terkejut dengan sikap Dion. “Pa! Ini ada apa? Semua bisa dibicarakan baik-baik,” protes Alea, berusaha menjadi penengah keduanya.
Talita menunduk, bahkanya raut wajahnya terlihat sangat ketakutan, matanya sembab, sepertinya dia baru saja menangis.
“Minggir, Ma!” bentak Dion.
Alea menggeleng, berusaha melindungi Talita. “Enggak … aku nggak akan membiarkan kamu menyakiti putri kita.”
“Putri …?!” Suara Dion kembali meninggi.
“Iya! Kenapa?!” Alea sudah tidak bisa menahan diri lagi.
“Seorang anak tidak akan mungkin mencoreng muka kita dengan aibnya!” Air mata Dion menetes, sepertinya dia sangat terluka.
Alea heran. “Apa maksud kamu?” tanya Alea.
“Tanyakan padanya, apa yang dia perbuat di belakang kita!” Dion menunjuk ke arah Talita.
Talita menangis, berlari ke arah papanya. “Maafin Lita, Pa ….”
Dion mengibaskan tanganya, mendorong tubuh Talita. “Katakan, itu semua bohong …,” ujar Dion.
Talita tertunduk, dia hanya diam dengan deraian air mata.
“Berarti semua benar ….” Dion berusaha meredam amarahnya. Alea masih terlihat bingung.
“Benar kalau kamu hamil!” bentak Dion.
Alea terperanjat, tubuhnya lemas seketika, kata-kata yang dia dengar barusan seperti sebuah sambaran petir disiang bolong . “Nggak mungkin!” seru Alea.
Air mata Talita semakin deras, dari mana papanya tau soal kehamilannya, padahal hanya dia dan kekasihnya yang tau. “Lita bisa jelaskan semuanya, Pa …,” lirih Talita.
“Lita! Jadi apa yang dikatakan papamu barusan benar?!” Alea cukup emosi, dia tidak pernah menyangka, Talita sampai bisa berbuat sejauh itu.
“Ma, Lita bisa jelaskan semuanya, Aska—“
Belum juga Talita selesai bicara, sebuah tamparan keras dari Dion kembali mendarat di pipinya. “Jadi pria b******k itu Aska!” bentak Dion, kali ini Alea tidak membela karena perbuatan Talita sudah di luar batas.
Alea maju, mengguncang-guncang lengan Talita. “Ini balasan kamu ke kita? Kenapa kamu tega Lita ….” Alea terisak, dia merasa gagal sebagai seorang ibu.
Dion menarik paksa lengan Talita, menyeret Talita dari tempat itu. “Pergi dari sini! Aku tidak sudi mempunyai anak seorang pendosa!” teriak Dion.
Alea memegang lengannya, dia tidak ingin keluar dari keluarga yang selama ini mendidiknya dengan penuh kasih. “Enggak, Lita nggak mau. Maafin Lita, Pa … Ma ….” Sekeras apa pun Talita meminta maaf, hati Dion dan Alea sudah terlanjur sakit. “Pa, Lita mohon,” bujuk Talita.
“Jangan panggil aku ‘Papa’! Mulai detik ini, anakku hanya Candra!” seru Dion.
Alea terus menangis, rasanya sakit sekali, anak yang selama ini dia banggakan sampai segitu teganya mencoreng nama keluarga. Alea berjalan masuk ke dalam kamar Talita, sedangkan Dion terus menarik lengan Talita menuju pintu utama. Dia tidak peduli meski Talita memohon untuk tetap tinggal.
“Ini pintu keluarnya, mulai detik ini kamu bukan putri kami lagi,” ucap Dion penuh kekecewaan, hatinya sangat hancur melihat fakta putrinya tega melakukan hal sekeji itu.
“Ini baju kamu ….” Alea yang ternyata mengambil pakaian Talita, menyerahkan sebuah koper ke talita.
Talita menggeleng. “Enggak, Lita nggak mau pergi dari rumah ini, tolong Lita Ma … ke mana Lita harus pergi?”
“Suruh laki-laki itu bertanggung jawab, jika kamu berani berbuat, maka kamu berani mengambil resikonya, Mama nggak akan memaafkan perbuatan kamu, nggak akan!” Alea yang begitu hancur berlari ke dalam rumah, dia tidak akan sanggup melihat adegan selanjutnya.
“Pergi ….” Dion menutup pintu rumah dengan perasaan hancur yang luar biasa, dia merasa gagal sebagai seorang ayah.
Talita terisak, dia sengaja menyembunyikan kehamilannya karena dia tidak ingin terusir dari rumah, dia ingin menunjukkan kepada orang tuanya, jika kekasihnya seorang yang bertanggung jawab, meskipun pada kenyataannya mereka berdua masih berstatus sebagai seorang pelajar. Percuma menyakinkan kedua orang tuanya untuk tetap tinggal karena hati mereka sudah sangat hancur oleh kesalahannya yang sangat fatal. Gadis itu menghapus air matanya, meraih sebuah koper yang berisi pakaiannya, berjalan menuju pintu gerbang rumahnya tanpa menoleh ke arah belakang, dia tau harus melangkahkan kakinya ke mana. Tanpa dia sadari, Dion memperhatikannya dari dalam rumah dengan perasaan yang begitu hancur.
***
Apartemen
Di sinilah Talita berada, di depan pintu apartemen kekasihnya, meskipun masih seorang pelajar tapi kekasih Talita tinggal sendiri di sebuah apartemen mewah, itulah yang membuat Talita yakin jika kekasihnya akan menerimanya untuk tinggal di sana seperti janjinya. Talita menghela nafas, berusaha menekan kode pintu apartemen seperti biasanya.
Wajah gadis itu mulai terlihat panik, rupanya nomer-nomer yang dia tekan tidak bisa membuka pintu apartemen seperti biasanya. “Ini kenapa nggak bisa, apa jangan-jangan ….” Beribu prasangka buruk menyelimuti hati gadis malang itu.
Talita masih berusaha berpikir positif, membunyikan bel yang terletak di samping pintu. Tanpa harus menunggu lama, pintu pun terbuka, menampilkan sosok pemuda tampan yang seumuran dengannya. “Aska …!” Talita langsung berhambur ke pelukan si pemuda yang dia panggil ‘Aska’.
Aska berusaha mengurai pelukan Talita. “Ada apa?” tanya Aska dingin.
Talita sempat terkejut, tapi dia tetap berusaha berpikir positif, tidak tau kenapa air matanya menetes keluar. “Aku boleh tinggal di sini?” tanya Talita pelan.
Aska tersenyum miring, tatapan matanya terasa aneh untuk Talita. “Maksud lo?” tanya Aska cuek.
Talita terkejut, tidak biasanya Aska memanggilnya dengan sebutan ‘lo’. “Kok, kamu gitu.” Talita masih terheran-heran, dihapusnya air mata yang mulai membasahi pipinya.
“Emang gue musti gimana? nggak usah lebay deh!” Suara Aska meninggi.
“Aska! Kenapa kamu berubah kek gini?”
“Terus mau lo gimana?” tanya Aska, dengan tatapan penuh ejekan.
“Mau aku?” Talita tersenyum ketir. Talita yang terlanjur sakit hati maju, sedikit berjinjit, mencengkeram kerah baju Aska. “Kamu lupa? Kalau kamu akan bertanggung jawab terhadap anak yang aku kandung!” Kesabaran Talita hampir habis, otaknya sudah tidak bisa berpikir jernih, antara rasa khawatir dan takut bercampur aduk menjadi satu.
Aska melirik tangan Talita yang mencengkeram kerah bajunya. “Lepasin, jangan memaksa gue berbuat kasar.” Kata-kata Aska terdengar tenang tapi cukup membuat hati gadis itu begitu sakit.
“Lo, gue, lo, gue! Terus saja panggil kek gitu, b******k! Aku hanya ingin kamu bertanggung jawab atas anak ini!” teriak Talita frustasi.
Aska menepis kasar tangan Talita, hampir saja gadis itu tersungkur. “Dengerin gue, Lita.” Aska maju, mendekatkan wajahnya tepat di samping wajah Talita.
“Lo juga menikmati saat kita bersama ‘kan? bahkan lo sering memuji gue.”
“Hentikan!” Talita langsung menampar wajah Aska. Apakah ini tabiat Aska yang sebenarnya?
Aska mengusap pipinya yang cukup panas akibat ulah Talita. “Ha-ha-ha!” Aska tertawa lepas.
“b******k! b******n! Aron memang benar, kamu hanya pria b******k!” Gadis itu maju, berusaha menyerang Aska, dengan sigapnya Aska menangkap tangan Talita, mencengkeramnya dengan kuat.
“Kalau gue b******k kenapa? Lo pikir gue mau nerima anak yang lo kandung? Jangan-jangan Aron ikut andil dengan kehamilan lo.”
“Tutup mulut lo! Gue nggak serendah itu, lo ‘kan yang membocorkan kehamilan gue?!” Wajah Talita memerah, dia berusaha melepas cengkeraman tangan Aska.
Aska tersenyum sinis, mengambil sesuatu di dalam saku celananya, menunjukkan sebuah ponsel kepada Talita. “Oh, ya! Gue lupa, coba dengerin ini.” Aska ternyata merekam pembicaraan mereka saat Talita mengakui kehamilannya ke Aska.
“b******k! lo memang b******k! jadi karena ini papa gue tau.” Talita kembali terisak, kenapa dia begitu bodohnya mempercayai Aska begitu saja.
Aska kembali tersenyum penuh kemenangan. “Bener, bener banget! mungkin saja rekaman ini sudah tersebar kemana-mana.” Dengan santainya Aska berkata seperti itu.
“Lo emang b******k, apa salah gue ke lo, jawab!” teriak Talita.
“Lo nggak bersalah Talita, Sayang.” Aska tiba-tiba membekap mulutnya sendiri.
“Ups! bukan ‘Sayang’ lebih tepatnya ‘Jalang’. Cewek murahan yang mau disentuh sana sini.” Aska mengucapkannya dengan nada penuh ejekan.
“Diam!” seru Talita.
“Sayang, ini kenapa berisik banget.”
Talita menoleh, seorang gadis cantik tiba-tiba saja keluar dari dalam ruangan apartemen.