“Pacar?!” Aska mengatakannya cukup keras.
“Iya! Kenapa?!” Si pria terlihat cukup jengkel dengan pertanyaan Aska.
“Nggak mungkin! Lita nggak segampang itu suka sama orang.”
Si pria melotot, heran dengan ucapan Aska yang terdengar menyepelekan ucapannya. “Lah! Situ pikir tembak langsung dapat? Aku nggak perlu juga ‘kan, ngasih penjelasan yang detail gimana kita bisa ke tahap ini.”
Aska menyunggingkan senyumnya, cukup panas juga mendengar pernyataan pria rese yang sudah mengklaim miliknya. “Aku nggak perlu penjelasan, intinya … aku nggak percaya sebelum Lita ngomong sendiri, dari dulu banyak yang suka ngaku-ngaku pacar Lita, mungkin sampai sekarang juga masih ada.” Aska melirik ke arah pria tadi, sengaja menyindir pria tersebut.
Si pria menghela nafas, ternyata cukup menjengkelkan berdebat dengan pria di depannya. “Nggak usah banyak protes, di mana Lita skarang?”
“Cari aja sendiri!” Benar-benar bukan jawaban seorang CEO yang selalu disegani anak buahnya, tingkah Aska cenderung kekanak-kanakan.
“Ngapa nggak ngomong dari tadi, bikin emosi!” Si pria tak kalah kertusnya.
“Hei! Mau ke mana kamu? Jangan sembarangan masuk rumah orang!” Begitu si pria mau melangkah, Aska buru-buru mencegahnya, intinya tidak rela jika pria itu sampai bertemu Talita, padahal dia sendiri yang nyuruh.
“Lo lama-lama rese ya! Gue ke sini datang baik-baik mau jemput cewek gue, kenapa lo ribet banget!” Kesabaran si pria benar-benar diuji oleh sikap Aska.
“Lo yang rese! Pergi dari sini!” usir Aska, benar-benar seperti anak kecil.
“Enak aja, gue akan pergi sama Lita, ngerti!” ucap si pria.
Aska maju, emosinya langsung meluap, dia tidak akan pernah terima jika Lita-nya bersama pria lain. “Jangan salahkan gue kalau lo sampai bonyok keluar dari sini,” ancam Aska.
Si pria ikut maju, dia mana terima diperlakukan seperti itu. “Lo pikir gue takut, lo jual gue beli.”
“Oke!” Aska semakin emosi, langsung menarik kerah baju sip ria.
“Stop! Apa-apaan ini!” Adel yang baru memasuki ruangan itu menghentikan aksi Aska yang hampir saja memukul pria asing tadi.
“Ada apa ini?!” Aron yang berjalan di belakang Adel ikut bersuara.
Aska berhenti, melepaskan si pria. “Untung saja ada mama gue.”
Si pria mendengus kesal, mengusap kasar kerah bajunya yang baru saja dilepaskan oleh Aska, tersenyum manis ke arah Adel. “Tante ini … Tante Adel ya!” tebak si pria sok kenal, membuat Aska semakin muak.
Adel terlihat cukup heran. “Eh, i—iya! Kamu siapa?”
Si pria mendekati Adel, mengulurkan tangannya ke arah Adel, langsung disambut hangat oleh Adel. Aron yang melihat adegan itu menatap Aska, memberi pertanyaan ke Aska lewat gerakan kepalanya. Aska pura-pura tidak tau, mengangkat kedua bahunya tanda tidak tau.
“Perkenalkan Tante, saya Panca—“
“Pacarnya Lita ya!” tebak Adel.
Aron dan Aska sama-sama terkejut, seperti tidak percaya dengan pernyataan Adel.
Si pria tersenyum, melirik sinis ke arah Aska. “Benar, Tante! Maaf sebelumnya, Litanya mana ya? Tadi dia suruh jemput aku ke sini.”
Adel tersenyum manis, tentu saja dia tau siapa Panca karena Lita memang dekat dengannya dan dia sering curhat dengan Adel meskipun hanya lewat sebuah chat WA. “Litanya ada, dia cuman agak nggak enak badan. ”Adel terpaksa berbohong, tidak mungkin juga dia berkata yang sejujurnya.”
Panca terlihat cukup cemas. “Terus sekarang di mana, Tan?” tanya Panca cemas.
“Ada, di dalam. Dokter baru aja meriksa dia, tolong jagain Lita ya,” ucap Adel.
Aska terlihat cukup kecewa dengan perkataan mamanya, dia kecewa juga kenapa mamanya sampai tidak jujur padanya soal Talita dan kedekatannya dengan pria lain.
“Lo mau ke mana?” tanya Aron begitu melihat Aska hendak pergi dari tempat itu.
“Pergi, gua masih banyak urusan,” ucap Aska kecewa,
Meskipun cukup kecewa dengan mamanya, Aska tetap pamit ke Adel saat dia ingin meninggalkan tempat itu. “Aska pergi dulu, Ma.” Adel hanya mengangguk, kelihatan sekali dia kesal dengan Aska.
“Entar gue susul ke apartenmen lo!” seru Aron, dia hanya ingin menyaksikan reaksi Talita ke pria tadi.
Aska hanya mengangguk, sumpah demi apapun hatinya sakit sekali mengetahui fakta jika Lita-nya sudah mempunyai pria idaman lain, antara percaya dan tidak, tapi itu semua faktanya. Aska yang memang tidak ingin membuat Talita kembali histeris, dia buru-buru pergi dari kediaman kedua orang tuanya sebelum gadis itu kembali siuman.
Adel kembali menoleh ke arah Panca. “Oh, ya! Nak Panca. Ayo tante anterin ke dalam,” ucap Adel.
Panca mengangguk. “Iya, Tante,” jawab Panca, berjalan mengikuti Adel ke tempat Talita terbaring.
Aron sebenarnya kesal juga dengan sikap Adel, tapi mau bagaimana lagi, lebih baik dia diam daripada harus berdebat dengan mamanya. Aron hanya bisa pasrah, berjalan mengikuti keduanya meskipun hatinya gondok.
Adel tersenyum saat memasuki ruangan tempat Talita terbaring, ternyata gadis itu sudah siuman bahkan dia terlihat sedang mengobrol dengan seorang dokter yang memeriksanya. Mata Talita langsung tertuju pada sosok pria tampan yang datang bersama Adel dan Aron. “Sayang …,” lirih Talita.
Panca tidak tinggal diam, dia terlihat khawatir melihat wajah kekasihnya yang terlihat pucat, pria itu maju, mendekati Talita, memeluk gadis itu saat dia hendak bangun. “Kamu kenapa? Kamu sakit?!” tanya Panca khawatir.
Aron melotot, demi apapun dia tidak akan rela Talita dipeluk pria lain di depan mata kepalanya, dia relanya gadis itu dipeluk Aska atau setidaknya dia, ternyata diam-diam dia masih mengharapkan Talita juga. “Ih! Lebay banget! Main seruduk aja anak orang!” Suara Aron cukup keras, Adel menyubit lengan Aron.
“Jaga bicara kamu …,” lirih Adel.
“Lah, Ma! Dianggapnya kita ini nyamuk! Main pelak-peluk gitu aja!”
Dokter yang melihat kekesalan Aron tersenyum, lucu juga melihat ekspresi Aron seperti itu. “Sepertinya keadaan pasien sudah membaik, saya pamit dulu Nyonya Adel,” ucap Dokter.
“Oh, ya! Terima kasih banyak, Dok. Bisa bicara sebentar?” tanya Adel.
Dokter mengangguk. “Silahkan ….” Ujar Dokter.
“Mari,” ucap Adel, menoleh ke arah Talita yang masih dalam pelukan Panca. “Sayang, Tante bicara dulu sama dokter ya ….”
Talita mengurai pelukan Panca, dia mengangguk. “Iya, Tan. Jangan khawatir, Lita baik-baik aja.”
Adel menganguk, cukup lega juga mendengar jawaban gadis itu. “Syukurlah ….” Sebelum pergi dari tempat itu Adel memberi tatapan maut ke arah Aron, dia tahu betul gimana sikap Aron. “Awas!” ancam Adel, Aron pura-pura melihat ke arah lain, anggap saja dia tidak dengar ancaman mamanya. Tanpa berpikir lama, Adel mengajak dokter keluar dari ruangan itu, ada banyak hal yang ingin dia tanyakan ke dokter itu.
Hanya tinggal bertiga di ruangan itu, Aron menatap sinis Panca yang kelihatannya masih nempel saja sama Talita. “Gimana keadaan lo, Lit?” tanya Aron yang memang terlihat cukup khawatir.
Talita tersenyum, ini adalah pertemuan pertamanya dengan Aron setelah tujuh tahun, meskipun kadang Aron cukup menjengkelkan, jujur saja dia juga merindukan anak itu. “Baik, lo apa kabar?”
“Ya gini, masih aja jomblo! Betah banget lo ngumpet!” Dasar Aron, tidak ada sesnsor disetiap omongannya.
Talita kembali tersenyum. “Ini bocah masih sama.” batin Talita. “Oh, ya Ron. Kenalin, ini Panca—“
“Nggak nanya!” Benar-benar si Aron, dia tidak mau tau tentang Panca.
“Ini Aron ya,” celetuk Panca.
“Idih! Nggak usah sok dekat! Nyebut nama gue mahal!” ketus Aron.
“Maafin Aron, ya Sayang … dia emang kek gitu, tapi aslinya baik.” Panca tersenyum, memaklumi sikap Aron kepadanya.
“Nggak masalah,” ucap Panca..
“Masalah buat gue sama abang gue!” Talita langsung terdiam mendengar ucapan Aron, dalam hati dia bertanya, “Sejak kapan Aron akrab dengan pembunuh itu.”
Aron yang memang sudah tidak menyukai Panca sejak awal pergi begitu saja dari tempat itu, dia memang sengaja menunjukkan sikapnya ke pria itu biar dia sadar diri kalau kehadirannya sangat ditolak oleh dirinya dan juga Aska.
“Siapa yang dimaksud abangnya?” tanya Panca penasaran.
Talita terlihat gugup. “I—itu ….”