CHAPTER 12 ~ BAHASA ISYARAT

1009 Kata
"Kok, malah bengong? Kamu udah makan?" Lingga terkesiap mendengar suara Aruna. Ia melirik sejenak wanita yang tengah menatapnya dari kejauhan, lalu mengalihkan kembali fokusnya ke arah lain. Diletakkannya gelas minum itu ke atas meja seolah-olah sengaja ingin terlihat sibuk. Padahal ia sangat bingung harus menerima ajakan Aruna untuk makan malam atau tidak. 'Males banget makan sama dia, tapi kalau nggak makan perut gue lapar juga,' bisiknya dalam hati. "Oh ... jadi nggak mau makan, nih? Aku kasih ke tetangga sebelah nggak apa-apa, kan? Sayang banget kalau nggak ada yang makan," celetuk Aruna sebelum Lingga membuat keputusan. Wanita itu bangkit dengan menenteng paper bag coklat seolah-olah sedang serius dengan ucapannya. Namun, baru saja kakinya akan melangkah, tiba-tiba Lingga pun mengambil celah dengan bergerak menghampirinya. Aruna sedikit kaget saat Lingga tiba-tiba berdiri di depannya, bahkan sampai napasnya sedikit tertahan. Namun, kemudian ia mengembuskannya perlahan. Ah, pria itu bergerak cepat sekali. Tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir mungil berwarna merah jambu itu. Ia hanya mengangkat kedua alisnya seolah-olah sedang bertanya melalui bahasa tubuh. Tidak hanya Aruna. Lingga pun membalas dengan bahasa isyaratnya. Ia melirik paper bag di tangan Aruna sejenak, lalu melirik ke arah meja. Hal itu membuat Aruna langsung mengerti. Wanita itu pun langsung duduk kembali, lalu meletakkan paper bag di tangannya ke atas meja. Tidak sampai satu menit, Lingga pun menyusulnya untuk duduk di sofa yang berseberangan dengannya. 'Finally ... kena juga, kan? Setidaknya usaha gue nggak sia-sia,' gumam Aruna sambil tersenyum penuh kemenangan. Tidak ingin Lingga menyadari ekspresi wajahnya, ia pun segera mengakhiri senyumannya dan memilih untuk menyibukkan diri dengan membuka dan menyiapkan makanan untuk Lingga. "Kamu yakin mau makan di sini aja?" tanya Aruna basa-basi, padahal bahasa isyarat Lingga tadi harusnya sudah jelas dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Mendapat tatapan tajam dari Lingga, Aruna langsung paham dan mengangguk pelan. "Okay," ucapnya lirih. "Silakan." Aruna menyodorkan makanan itu ke hadapan Lingga yang sampai detik ini masih enggan membuka suara. Suasana hening seketika. Tidak ada yang mereka bicarakan lagi. Keduanya tampak fokus dengan kegiatan masing-masing. Lingga sibuk dengan kegiatan makan malam, sementara Aruna sibuk memainkan ponselnya sambil sesekali memperhatikan pria di depannya. Aruna masih belum percaya jika pria yang kini sedang duduk berhadapan dengannya adalah suaminya sendiri. Ini seperti mimpi baginya. Di tengah kesibukannya, Lingga mulai merasa tidak nyaman saat menyadari Aruna yang tengah memperhatikannya. Ia pun menghentikan kegiatannya sejenak, lalu mendongak menatap Aruna. "Kamu nggak makan?" tanyanya datar, tetapi berhasil membuat Aruna mengerjap kaget. "Hah?" Aruna memasang ekspresi bingung, tetapi secepat kilat ia menetralkan perasaannya. "Ng-Nggak. Aku nggak lapar," imbuhnya sedikit terbata-bata. Tampak tidak peduli, Lingga kembali melanjutkan kegiatannya. Dalam hati, ia ingin sekali meminta Aruna untuk tidak menatapnya seperti tadi, tetapi untuk apa mempermasalahkan hal sekecil itu. Lagi pula, ia tidak ingin jika Aruna justru menganggapnya terlalu percaya diri. Namun, sial. Di tengah rasa tidak nyamannya, Lingga justru menyadari kembali bahwa Aruna tengah mengulangi hal yang sama. Hal itu sontak membuatnya sedikit salah tingkah, tetapi sebisa mungkin ia tetap bersikap santai dan tidak peduli. 'Ngapain coba dia lihatin gue kayak gitu?' gerutu Lingga dalam hati sambil sibuk melahap makanannya. 'Jangan sampai dia jatuh cinta sama gue,' sambungnya sambil bergidik geli. "Aku harap kamu lupain masalah tadi. Anggap aja nggak terjadi apa pun di antara kita," celetuk Aruna di tengah keresahan Lingga. Mendengar pernyataan itu, Lingga langsung menghentikan kembali kegiatannya. Dahinya mengerut, menatap Aruna penuh tanya. "Emangnya apa yang udah terjadi antara kita?" sarkas Lingga seolah-olah tidak terima dengan pernyataan Aruna. Bukankah memang tidak terjadi apa pun di antara mereka? Begitu pikirnya. "Ah, maksudku ... a-aku cuma nggak mau kamu mengingat kejadian tadi." Aruna menjadi salah tingkah lantaran melihat tatapan Lingga yang terkesan sedang mengintimidasinya. Alih-alih menanggapi, Lingga justru tersenyum smirk seolah-olah sedang meremehkan Aruna. Ah, entah apa yang salah dengan perkataan wanita itu. "Kok, malah senyum? Aku lagi serius, loh!" protes Aruna menatap kesal. "Dan kamu pikir aku peduli?" Lagi-lagi pertanyaan sarkas Lingga berhasil membuat Aruna bungkam dan kebingungan. Entah bagaiamana caranya agar ia bisa memahami sikap Lingga. Ia merasa tidak bisa berkomunikasi dengan baik saat dengan pria itu. Sial. "Nggak usah berlebihan. Even kalau aku lihat kamu nggak pakai baju pun, itu nggak akan membuat aku tertarik untuk mengingatnya!" Aruna membeliak mendengar pernyataan itu. Entah mengapa kali ini dia merasa sangat terhina karena ucapan Lingga. Sejelek itukah dirinya sampai pria itu berpikir demikian? 'What? Berani banget dia hina gue!' bisik Aruna dalam hati sambil menatap sinis wajah Lingga. Tidak ingin memperpanjang masalah. Aruna pun memilih untuk diam dan tidak melanjutkan perdebatan itu. Berdebat dengan pria menyebalkan seperti Lingga hanya akan membuat mentalnya menjadi buruk. Itulah mengapa ia memilih untuk mengakhiri perdebatan itu dan membiarkan Lingga melanjutkan makan malam kembali. Selang beberapa menit, suara dering ponsel mengalihkan perhatian Aruna dan Lingga. Mereka menatap ke arah lemari nakas yang terletak tepat di depan kamar. Aruna kemudian menoleh ke arah Lingga. "HP kamu bunyi," ucapnya memberi tahu, meski sadar bahwa Lingga juga sudah pasti mengetahui hal tersebut. Lingga yang sudah selesai dengan kegiatannya, secepat kilat meletakkan tisu yang baru saja ia gunakan untuk menyeka mulutnya. Tanpa menanggapi ucapan Aruna, ia kemudian bangkit dan menghampiri lemari nakas itu. Disambarnya sebuah hanphone cerdas yang masih berdering, lalu ia menerima panggilan itu sambil masuk ke kamar. "Hallo," ucap Lingga yang samar-samar terdengar oleh Aruna. Setelah itu, Aruna tidak mendengar suara Lingga lagi. Entah apa yang sedang dibahas pria itu dengan seseorang di seberang sana. Ia hanya berpikir jika Lingga tengah membicarakan urusan pekerjaan. Aruna lebih memilih untuk merapikan piring kotor dan sisa makan malam daripada terlalu ingin tahu dengan urusan suaminya. Sememtara tidak ada asisten rumah tangga, ia pun terpaksa harus melakukan pekerjaan rumah sendiri. Baru saja Aruna menyelesaikan pekerjaannya. Ia melihat Lingga keluar dari kamar dengan ponsel yang masih menempel di telinga. "Tunggu! Saya akan segera ke sana!" Lingga berkata sangat antusias sambil sibuk memakai jaket yang sudah tersampir di pundaknya. Tanpa berkata apa pun pada Aruna, Lingga beranjak menghampiri pintu sesaat setelah mengakhiri teleponnya. Entah apa yang terjadi sehingga ia terlihat sangat terburu-buru dan panik. Hal itu tentu membuat Aruna menjadi bertanya-tanya. "Kamu mau ke mana?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN