CHAPTER 9 ~ MENCARI TAHU

1018 Kata
"Akhirnya, gue sampai juga, huh!" desah Aruna sesaat setelah membuka helm hitam yang menutup bagian kepalanya. Ia kemudian menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan secara bergantian berulang kali, hingga rambutnya yang pendek tampak melambai dengan gaya slow motion. Kemacetan memang bukan hal tabu lagi di kota padat penduduk seperti Jakarta. Namun, beruntung ia bisa melewatinya dengan baik dan tiba di kantor tepat waktu. Ia berjalan santai menghampiri pintu utama kantor perusahaan tempatnya bekerja, setelah selesai memarkir motornya di tempat parkir khusus karyawan. "Si Seno, tuh!" Langkah Aruna terhenti saat mendapati sosok pria yang tak lain adalah sahabatnya, tengah berjalan beberapa meter di depannya. "Sen! Seno, tunggu!" teriak Aruna seraya berlari menghampiri Seno. Pria berjaket hitam pun seketika menghentikan langkah dan menoleh ke arah Aruna. "Baru nyampe lo?" tegur Seno sesaat setelah Aruna berdiri di depannya dengan napas sedikit terengah-engah. "Capek juga ngejar lo segitu doang!" keluh Aruna yang merasa sedikit sesak di dadanya, padahal hanya berlari beberapa meter saja. "Payah lo!" ledek Seno seraya melanjutkan kembali langkahnya. "Eh, bentar!" Aruna berusaha menahan, tetapi Seno tetap tidak menghentikan langkahnya. Pria itu hanya melirik sesekali ke arah Aruna yang berjalan di sampingnya. "Ada apa, sih?" tanya Seno penasaran. "Gue lagi buru-buru, ditunggu Bos soalnya!" imbuhnya memberi tahu. "Bos udah nyampe?" Aruna refleks menghentikan langkah dan menarik tangan Seno. Tatapannya membulat, seolah-olah tidak percaya. "Kenapa sih lo?" Alih-alih menjawab, Seno justru merasa sedikit heran dengan sikap Aruna yang tak biasanya. Ia menatap penuh selidik wanita yang sudah tiga tahun menjadi sahabat dan rekan kerjanya itu. "Ya, nggak apa-apa, sih. Heran aja si Bos udah nyampe jam segini. Biasanya juga siang," balas Aruna sedikit tersenyum canggung, sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jeans yang ia kenakan. Melihat tingkah Aruna, Seno justru semakin heran. Ia merasa ada yang sedang disembunyikan dari wanita itu. "Lo aneh banget hari ini. Apa setelah menikah lo emang jadi aneh begini?" tanya Seno sedikit terkekeh. "Ssst! Lo apaan, sih? Nggak usah kenceng-kenceng ngomongnya!" tegur Aruna seraya menempelkan jari telunjuknya di bibir. "Ups ... sorry!" "Ada yang mau gue omongin sama lo," ucap Aruna to the point. Ia pikir sudah tidak ada waktu lagi untuk berbasa-basi. Lagipula, akhir-akhir ini ia jarang sekali bertemu dengan Seno, yang memang sering kali terlibat dalam dinas luar. Itulah mengapa ia berusaha memanfaatkan kesempatan baik kali ini, karena boleh jadi beberapa saat kemudian Seno akan pergi lagi meninggalkan kantor. "Nanti aja ya, Na. Gue ditunggu Bos, nih ... nggak enak kalau telat," balas Seno sedikit memohon. Aruna langsung menciut mendapat penolakan dari sahabatnya. Lihat saja bibirnya yang mengerucut, pertanda bahwa ia sedang kecewa. "Yah ... lo gitu sekarang sama gue," keluh Aruna. "Gue mau nemuin Bos, Arunaa ... udah entaran aja." Seno berusaha meyakinkan. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan Aruna, tetapi di sisi lain ia juga tidak bisa meninggalkan begitu saja janjinya dengan sang atasan. "Akhir-akhir ini lo sibuk banget. Kapan lagi gue bisa ngobrol sama lo." "Hari ini gue free sampai sore. Lo tenang aja, gue nggak ada jadwal ngeliput!" tegas Seno meyakinkan. "Serius?" Wajah Aruna langsung semringah mendengar pernyataan itu. Jika tahu Seno tidak ada jadwal meliput hari ini, mungkin ia tidak akan menahan pria itu cukup lama. Ah, ia jadi merasa bersalah karena sudah mengganggu waktu Seno. Aruna yang tampak mengenakan celana jeans yang dipadupadankan dengan blouse putih berbalut blazer hitam, tampak melangkahkan kaki menuju ruang kerjanya setelah membuat janji dengan Seno saat makan siang nanti. Ia yang bekerja sebagai seorang redaktur di perusahaan pers ternama, memang kerap kali memakai outfit yang lebih santai dibandingkan pegawai kantor di perusahaan lain. Namun, sesekali ia juga mengenakan seragam untuk waktu yang sudah ditentukan. *** Di tempat lain, Lingga juga sudah berada di tempat kerjanya. Bahkan pria itu sudah berada sejak pukul 06.30 WIB, karena memang berangkat lebih dahulu daripada Aruna. "Gimana ya caranya biar dia nggak betah sama gue dan minta cerai?" gumam Lingga yang kala itu memang tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan, tidak seperti biasanya. Lingga merebahkan punggungnya pada sandaran kursi putar kebanggaan. Terdiam untuk beberapa saat. Ia menopang sebelah tangannya di atas armrest adjustment dengan telunjuk yang menyentuh pipi. Sejak sebelum menikah dengan Aruna, ia memang sangat berpikir keras agar bisa menggagalkan pernikahan itu. Bahkan, sekarang pun ia rasanya sudah tidak sanggup melanjutkan pernikahan dengan wanita yang tidak dicintainya. Sepertinya hal itu cukup sulit baginya. Buktinya saja ia masih gagal membuat Aruna pergi, setelah beberapa kali membuat wanita itu jengkel dan marah. "Sial banget!" umpatnya kesal, sesaat sebelum suara ketukan pintu membuatnya tersadar dan mengakhiri lamunan. Seorang pria berjaket kulit hitam tampak memasuki ruangan, setelah mendapatkan izin dari Lingga. Tanpa basa-basi, Lingga langsung mempersilakan pria itu untuk duduk. Kini mereka tampak duduk berseberangan. Hanya meja kerja yang membatasi keduanya. Lingga memang sengaja memanggil pria itu, satu jam yang lalu. Ia hanya ingin memastikan saja tugas yang sudah ia berikan pada pria tersebut, juga ingin berbicara empat mata saat kantor masih dalam keadaan sepi. "Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Lingga tidak ingin terlalu banyak basa-basi. Sepertinya ia memang sudah mengenal betul siapa pria itu. Berbeda dengan Lingga yang terlihat sangat tenang, meski sedang memikirkan beberapa hal. Pria berambut gondrong itu justru terlihat sedikit gugup dan cemas. Entah apa yang membuatnya seolah-olah terlihat sedikit ketakutan seperti itu. "Ma-maaf, Pak, saya dan teman-masih belum berhasil menumkan Nona Arstla," jawab pria gondrong itu denga nada sangat hati-hati. Raut wajah Lingga mendadak berubah kecut. Ia mencondongkan wajahnya ke depan, sementara kedua tangannya tampak dilipat di atas meja. "Kamu itu bisanya apa? Disuruh cari satu orang cewek aja nggak becus!" umpat Lingga langsung meradang. Tentu saja Lingga kecewa pada pria itu. Padahal ia sudah meminta si Gondrong untuk membantunya sejak Arsyla pertama kali diketahui pergi dari rumah. Bahkan, ia juga sudah membayar mahal tim agency yang bekerja sama dengan pria berambut gondrong itu. Namun, sampai detik ini hasilnya masih nihil. "Maafkan saya dan rekan-rekan yang lainnya. Kami memang belum bisa menemukan Nona Arsyla, tapi kami juga sudah berusaha sangat keras," jelas pria gondrong itu, berbicara apa adanya tanpa ada yang dibebin-lebihkan, apalagi harus membodohi Lingga. Mana mungkin ia berani melakukan itu. "Tolong izinkan kami untuk mencari Nona Arsyla kembali," pinta pria gondrong itu seraya menundukkan kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN