8. Air Mata Aisyah

2019 Kata
8. Air Mata Aisyah Ammar tanpa sadar memperhatikan langkah dan polah Aisyah. Gadis itu masih memberengut, menandakan jika ia kesal. Pak Hanif memiliki pamit dua puluh menit yang lalu, dan menyerahkan tanggung jawab kepada Amis. Karena ulahnya sendiri, Aisyah harus drop out dari kampus. Hal tersebut membuat kedua orangtuanya meradang. Pak Hanif sudah habis akal, siap berbicara, untuk itu dia mengirim Aisyah ke pesantren ini agar bisa lebih bertanggung jawab dengan baik untuk hidup. "kita sudah sampai, ini asrama putri," ucap Ammar melangkah di depan pagar besi bertuliskan asrama putri pada akhirnya. Aisyah tidak merespons. Gadis itu tetap dalam permata. Ammar membuka pintu pagar kemudian dibuka masuk dibuka Aisyah. "Assalamualaikum Ustaz, perlu apa sampai datang ke asrama putri?" di koridor Ammar berpapasan dengan salah satu pengawas asrama santri putri. Perempuan dengan gamis berwarna hitam serta memakai purda itu menegur Ammar. "Wa'alaikumsalam, Ustadza Rosita, mohon ketemu di sini, bisa saya minta tolong," ucap Ammar mengutarakan niat. Aisyah menjadi muak sendiri. Dia tidak mengharap bantuan apa pun dari Ammar. Sejak tadi lelaki itu dianggap mempertimbangkan tawanan yang harus selalu diawasi. " Tafaddhol Ustazd, kalau bisa akan aku bantu," sahut Ustadzah bernama Rosita itu. "Tolong antarkan Aisyah menuju kamar santri putri. Oh iya, ini Aisyah, santri baru. Aisyah, ini Uztadza Rosita, shalat satu pengajar dan pengawas di asrama putri." Ammar memperkenalkan Aisyah pada Uztadza, begitu juga sebaliknya. Namun Aisyah hanya membuang muka, tanpa menyambut uluran tangan Ustazda Rosita. "Letakkan, mari aku antar Aisyah," ucap menyanyikan ustadzah. "Terima kasih Ustadzah Rosita, kalau begitu aku mohon pamit. Aisyah, semoga betah di sini," ujar Ammar akan melangkah pergi. Aisyah mengekori ketipak langkah Ustadza Rosita. Sepanjang mereka berjalan, tidak ada suara yang keluar dari gabungan. Sama-sama setia dalam geming masing-masing. Aisyah pindah kamar yang disetujui ustadzah Rosita. Baru satu langkah, gadis itu berdecak. Sebal dan seperti jijik dengan tempat di dalam sana. "Ini kamar gue! Yang benar-benar aja, sumpek, sempit, bau lagi!" cibir Aisyah dengan tangan menutup hidung bangirnya. Ustadza Rosita tersenyum. "Sabar ya, semua santri di sini memilih sama rata. Kamar kamu ini dihuni empat orang, selain kamu, nanti ada Sekar, Dewi dan Leyla." Penjelasan ustadza tidak menarik untuk Aisyah. Mata Aisyah masih pemantauan sekeliling kamar. Ranjang susun dua dengan kasur biasa. Hampir saja teriakan gadis itu menggema saking kagetnya dengan suasana asrama. Lebih lagi tidak ada pendingin ruangan atau kipas angin. Lemari pun cuma ada dua. Aisyah tidak siap dengan keadaan seperti ini. "Ini tuh becanda ya? Mana bisa gue hidup kayak gini, tolong ya Ustadza, gue enggak mau tidur di sini!" "Maaf Aisyah, tapi mulai dari sekarang kamu harus membiasakan dirimu. Dan satu lagi, mohon ganti ucapan kamu, ini di pesantren, bukan di rumah kamu. Ada aturan yang harus ditaati. Paham, kan?" "Siapa sih Lo! Sok-sok-an ngatur hidup gue!" "Aisyah! Hormati dan hargai Ustadzah Rosita. Dia salah satu guru di sini." Belum sempat ustadza Rosita menjawab cercaan Aisyah, tetapi Ammar kembali datang dengan tangan penuh dengan tas plastik. Ammar kembali bukan tanpa alasan. Kecuali membawakan Aisyah beberapa buku dan buku, juga peralatan tulis. Melihat kedatangan Ammar, Aisyah hanya diam. " Afwan, Ustadzah Rosita, bisakah aku berbincang sebentar dengan Aisyah." Ammar perlu dibicarakan dengan Aisyah. Ustadzah Rosita yang paham segera melipir agak jauh dari mereka. Setelah itu Ammar menitahkan agar Aisyah duduk di balai bambu yang ada di depan santri putri. "Aisyah, aku tahu dan sangat paham sekali, kamu mungkin kaget dengan tempat ini. Tapi kamu tidak terlalu mengerti, jika kamu ingin memberontak, lebih baik urungkan saja niat itu, apa kamu tidak mau melihat orangtuamu setuju?" Ammar mengakui agak susah mengendalikan Aisyah. Ternyata ucapan Pak Hanif beberapa waktu lalu kini terbukti nyata di hadapannya. Aisyah itu suka sekali berontak. Tidak ada cara lain untuk menghadapi gadis itu selain dengan memaparkan kesedihan kedua orangtuanya sendiri. Aisyah tidak menyahut. Namun setitik bening lolos dari kedua sudut mata. Aisyah menggigiti bibir sendiri. Dia tidak paham harus menangis karena apa? Entah tidak setuju dengan keadaan di sini, atau benar-benar-benar-benar-benar-benar-suka-suka-sudah-sudah-mama-papanya. "Aisyah, aku mohon ya, untuk kali ini kamu jangan kecewakan Pak Hanif. Dia itu orang baik, dia sangat menyayangi kamu, makanya kamu dikirim ke sini agar bisa diubah jadi pribadi yang lebih baik." Ammar menasihati Penuh lemah lembut. Aisyah refleksi kepala ke bahu Ammar. Ammar juga reflek segera menghindar diiringi rapalan istighfar. Jantungnya menalu sangat keras. Sebelum ini tidak ada yang menantang. "Aisyah, astagfirullah, jangan suka itu, kita bukan mahram!" Ammar mencerca Aisyah, tapi agak menyesal saat kata-katanya suka bentakan, meminta persetujuan wajah gadis yang penuh dengan linangan udara. Aisyah terisak. "Aisyah," sambung Ammar. "Lo jahat banget! Enggak bisa gitu, biarin gue nyender segera aja. Kenapa sih, semuanya jahat sama gue, semua selalu memikirkan gue!" Aisyah meradang. Gadis itu aktif "Aisyah, tunggu!" Ammarutkan, tapi Aisyah tak acuh dan melangkah pergi. "Ustaz Ammar, ada apa?" Ustadzah Rosita yang awalnya hanya pergi dari jauh, akhirnya pergi saat tahun Aisyah kabur. "Salah paham saja, biar saja yang mencari Aisyah." "Jangan Ustaz," Ammar menatap Rosita bingung. "Kenapa Ustadzah?" "Maksud saya, jangan Ustaz Ammar sendiri, nanti bisa timbul fitnah, ditambah Ustaz ini salah satu pimpinan di sini. Biar teman saya mencari Aisyah." Ammar mengangguk. setuju dengan perkataan Rosita. Tidak percaya salah, jika Ammar mencari Aisyah sendiri, takutnya akan timbul fitnah, lalu reputasi dan juga pesantren ini sangat dipertaruhkan. **** "Ayah ..." Shaqi menangis dalam pelukan Ammi Ilham. Tadi sempat mengira kalau dikeluarkan ini benar-benar tidak mau merestui. "Sudah, jangan nangis terus. Ayok keluar, terima kasih yang lain udah pada nunggu." Ammi Ilham menyimpan sisa airmata Shaqila. "Gendong Ayaaah," rengek Shaqi manja. Ammi Ilham mencubit pipi Shaqi, kemudian berjongkok di depan Shaqila, agar putrinya naik di gendongan punggungnya. "Dasar manja, yakin ini anak ayah mau nikah?" godanya pada Shaqi. "Ih, Ayah. Shaqi mau manja-manjaan dulu sama Ayah, sebelum nanti Shaqi jadi bicara Mas Azra." Ammi Ilham menghela napas lega. Kali ini lebih ikhlas dan merelakan Shaqila untuk dipinang Azra. Dulu abi Fariz selalu menasihati, itu pun yang ada di dunia yang bukan merupakan kepunyaan kita. Hartamu, pasangamu, anak-anakmu, semua itu perhiasaan dunia. Abi selalu mengatakan ini jangan perlu memiliki apapun di dunia ini. Tersebab jika hati ingin tentram maka jangan harus memiliki apapun. Hati akan tenang, tidak dicemaskan oleh rasa kalah yang berlebihan. "Ini dia Tuan Putri kita sudah datang," ucap Ammi Ilham saat sudah kembali ke ruang tengah. Shaqila langsung meluncur turun. Kedua pipi membias merah. Malu dan salah tingkah. Apalagi saat Azra mengulum senyum dan meminjamkan dilihat. "Nah, Zra, * kita sudah matang! Piye karepe," Ammi Ilham kembali yang membuka suara. "cepat dinilai maunya gimana " Nggeh Ammi, nuwunsewu.Dek Shaqi, seperti yang sudah Abi dan Ummi jelaskan tadi, maksudkan Mas Azra kesini adalah untuk khawatiritbah Dek Shaqila. Mas Azra meminta maaf jika telah diminta merancang hari pada Shaqi, sekiranya rasa itu Mas simpan rapat, tidak berhasil meminta bantuan langsung, karena Mas paham posisi kita. Jika bukan karena Bang Ammar, mungkin sampai sekarang Mas Azra enggak akan berani ngungkapin ke Dek Shaqi. "Azra yang biasanya lebih banyak diam, sekarang mulai berbicara dengan keseriusan pada Shaqi." Gimana Dek? Jawabannya Dek Shaqi sangat menunggu, apa pun itu, Mas sudah siap. Sekali lagi Mas Din, maukah Dek Shaqi menikah sama Mas, dihabiskan hari-hari bersama Mas, mulai dari pagi sampai ke pagi lagi, menerima semua kekurangan Mas, dan membuat Mas satu-satunya pelabuhan hati? " Shaqila tertegun. Azra yang biasanya pendiam, tampak punya sisi romantis. Jauh di luar ekspetasinya selama ini. Shaqi kira, Azra tidak akan bisa memgungkapkan isi hati. Lain dengan Ammar yang suka sekali diambil atau dipenjara. Sejenak Shaqi terdiam. Meresapi setiap tanggapan hati Azra. d**a Shaqi berdegub kencang. "Ciyeeee, ditembak langsung pake pinangan." Ammi Ilham sengaja melontarkan godaan saat tahu Shaqi sangat gugup. "Ayah, diem ih! Jangan merusak suasana." Fazha menegur Ammi Ilham saat lelaki itu memindahkan Shaqi. Shaqila semakin tak berani mengangkat wajah. "Gimana Shaqi? Apa kamu mau menerima khitbah Mas Azra." Azra kembali bersuara, seolah tidak sabar menunggu jawaban Shaqi. Shaqila mengganguk dalam geming. Pertanda dia menyatakan 'iya' untuk pinangan ini. Sejurus semua orang merapal hamdalah. Lega dan ikut merasai atmosfer bahagia. "Yaudah, langsung aja tentuin tanggalnya Zra. Niat baik enggak boleh ditunda." "Azra terserah Dek Shaqi saja, Bi." "Shaqi terserah Mas Azra saja." "Yabuset! * Ojo mbulet, nyanyikan jelas! Ayo kapan saja Zra," sahut Ammi Ilham. * Jangan ruwet, yang jelas. "Wes begini saja Bang Ilham, gimana kalau masalah tanggal nanti kita bicarain bareng-bareng sama Abi dan Ummi, kita sampaikan dulu kabar selamat ini sama para tetua." usul Abi Ghaly. Ammi Ilham mengangguk setuju. Biar kedua orangtuanya harus ikut andil dalam hal terbesar ini. **** Ammar berjalan mengitari koridor santri putri. Di sebelahnya ada Ustadzah Rosita yang menyusul langkah. Ammar agak cemas dengan keadaan Aisyah. Seharusnya Pak Hanif menitipkan putrinya tersebut, otomatis di sini. "Ustadzah Rosita mari kita berpencar saja, ya. Ustadza cari bagian depan, aku akan cari bagian belakang." usul Ammar. "Na'am Ustazd. Aku akan mencari di sekitar depan." Mereka berpencar, Ammar menuju Arah belakang asrama. Di sana ada taman kecil juga lapangan yang biasanya digunakan para santri putri untuk olahraga pagi. Mata Ammar masih menyelidik setiap sudut yang terlewati. Pemandangan Ammar tiba-tiba memaku pada sosok yang duduk di bangku taman. Meski agak redup karena malam mulai menyapa. Menenggelamkan wajah ke lekukan lutut. Ammar mengikat gamis dan jilbab yang melekat pada orang tersebut. Ammar langsung mendekat. Suasana di sana lumayan agak sepi. Apalagi hari ini jumat. Hari liburnya para santri. Saat jumat begini, mereka bisa keluar pesantren. Biasanya para santri harus kembali ke asrama pukul lima, kecuali yang menerima ijin pulang. Hanya dapat dilihat beberapa santri putri sedang disetujui ta'zir atau hukuman. Lupakan mereka dengan setoran hapalan, atau lompat masuk asrama. Ada yang membersihkan rumput esok hukuman, ada juga yang belajar hapalan sambil berdiri, ada juga yang dilengkapi dengan toilet atau lari keliling lapangan. Ammar sudah tepat di sebelah Aisyah. Diamati bahu gadis itu, naik-turun menggendong isakan. Bingung, harus mulai dari mana berbicara pada Aisyah. "Aisyah ..." Aisyah masih belum menyahut. Ammar jadi disusupi rasa bersalah. Diamati Aisyah yang ada di gambar itu terlihat yang terlihat rapuh. Sangat berbeda dengan arogan yang ditampilkan selama ini gadis itu ditampilkan. Ammar melihat luka dalam tangis Aisyah. Allah, andai saja dia tidak takut pedihnya panas neraka, pasti Ammar akan menengkan Aisyah. Dia paling tidak tega melihat perempuan menangis. Terakhir merasa senang setelah kemarin malam Ummi Illyana menangis karena tahu perasaannya pada Shaqila. "Aisyah, sudah ya, jangan menangis. Aku minta maaf kalau tidak sengaja menyakiti kamu." "Bulshit! Kalian semua itu sama aja. Mau berubah, tapi enggak pernah mikirin gimana sakitnya jadi gue. Gue mau mau diperhatiin sama papa, mama, apa itu salah. Mereka selalu sibuk dengan masing-masing. Di mata mereka, gue ini sama sekali enggak ada! " Aisyah makin meraung. Matanya sembab dan hidungnya memerah. Hampir saja tangan Ammar terulur memperbaiki lelehan air di kedua pipi Aisyah. Urung melakukan dan Ammar menyerahkan sapu tangan untuk gadis itu. "Sudah ya, jangan nangis terus. Kamu yang kedua, kamu sangat menyayangi kamu. Mereka ingin kamu jadi perempuan yang shaliha, yang lemah lembut sesuai fitrah seorang wanita muslim. Menutup aurat dan membuat rasa malu sebagai pakaian." Aisyah mengusap wajah dengan sapu tangan membawakan Ammar. Kemudian dipanggil membenahi letak jilbab yang kusut oleh tangisan tadi. "Mau ya, Aisyah, belajar di sini, untuk jadi lebih baik lagi." Ammar masih membujuk. "Oke, aku akan bertahan di sini, tapi ada syaratnya." "Syarat apa, Aisyah?" "Kalau gue enggak betah di sini, berarti setelah satu bulan gue bebas buat dari tempat ini!" Ammar mempertimbangkan persyaratan yang diajukan Aisyah. Dia menggaguk tanda setuju. "Boleh, tapi aku juga mau kasih kamu syarat." "Apa ...?" Aisyah meradang. "Iya Aisyah, selama satu bulan penuh, kamu harus menerima semua yang saya dan para guru di sini ajarkan. Mulai malam ini, kamu harus bangun tepat jam satu malam nanti, untuk mengambil tahajud rutin. Dan satu lagi, ganti cari kamu dengan kata yang lebih sopan. " "Apa ---" "Tidak ada bantahan Aisyah!" Ammar dengan cepat memotong ucapan Aisyah, saat gadis itu bersiap untuk protes. "Oke, aku setuju! Maksudnya Aku, setuju!" Ammar tersenyum. Aisyah sedikit mulai mentaati yang dia ucapkan. Buktinya gadis itu langsung mengganti pembicaraannya dengan ucapan yang lebih sopan. Maafkan saya Aisyah, sudah membuatmu menangis. Saya Janji, semua airmata yang kamu tumpahkan, kelak akan berbuah manis, Ammar membatin dalam hati. Sedikit lega, akhirnya Aisyah mau dengar saran yang ia sampaikan. ************** *************
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN